Lahan yang tandus dan kering kerontang, terutama di kawasan Wonogiri bagian selatan, membuat warga di kabupaten itu memilih merantau. Mereka mencoba mengadu nasib di kota besar, terutama di Jakarta dan sekitarnya.
Belum diketahui dengan pasti sejak kapan animo masyarakat Wonogiri untuk merantau sedemikian besar. Namun, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Wonogiri, Dennys Pradita, mengatakan fenomena merantau semakin masif pada awal pemerintahan Orde Baru.
Dennys menyebut, pemerintahan Orde Baru melakukan pembangunan besar-besaran di perkotaan pada awal pemerintahannya. Kondisi itu membuat kebutuhan tenaga kerja cukup tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya itu warga Wonogiri banyak yang bekerja di bidang konstruksi pembangunan. Kemudian merambah ke perdagangan dan sektor lainnya. Hingga sekarang masih banyak pekerja Wonogiri yang bekerja di ibu kota," kata Dennys kepada detikJateng, beberapa waktu lalu.
Rata-rata dari mereka merantau untuk bekerja menjadi pegawai maupun buruh bangunan. Sebagian lagi bekerja di sektor informal seperti pedagang bakso dan mie ayam.
Menurut Dennys, animo untuk pergi merantau juga dipengaruhi masalah gengsi. Mereka memilih mengadu nasib di kota besar lantaran kehilangan minat untuk menjadi petani maupun nelayan.
"Jadi yang penting orang itu keluar dulu, tidak mau menerima nasib yang ada, karena kan Wonogiri itu kawasan agraris. Sehingga mereka lebih memilih ke ibu kota untuk bekerja. Padahal di perantauan belum tentu nasibnya lebih baik," ungkapnya.
Warga Wonogiri yang merantau tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Namun, sebagian besar berada di wilayah Jabodetabek. Seiring berkembangnya waktu, perantau Wonogiri mulai menampakkan identitasnya sebagai pedagang mie ayam dan bakso.
"Biasanya mereka akan memberi nama warungnya dengan sebutan Bakso Wonogiri atau Bakso Gajah Mungkur. Saat saya di Sumbawa juga ada warung Bakso Wonogiri yang cukup besar. Saya tanya asalnya dari Sidoharjo, Wonogiri," ujarnya.
Para perantau, terutama yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, memiliki ikatan kekeluargaan yang cukup erat. Mereka mengikatkan diri dalam sejumlah paguyuban, seperti Paguyuban Paseduluran Mudo-Mudi Wonogiri (Pandowo), Paguyuban Wonogiri Manunggal Sedyo (Pawonmas) dan lain-lain.
"Secara garis besar, kaum boro (perantau) dari Wonogiri muncul karena terseret arus pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Di sisi lain memang banyak pedagang sukses yang berawal dari ikut orang terlebih dahulu kemudian membuka usaha sendiri," kata Dennys.
Sebenarnya, lanjut dia, tidak semua perantau memperoleh keberuntungan. Ada banyak perantau yang gagal dan akhirnya memilih pulang kampung dan bekerja sebagai petani di Wonogiri.
(ahr/dil)