.webp)
Salah satu jejak penyebaran Islam di Jawa adalah masjid peninggalan Sunan Muria yang berada di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Uniknya masjid ini terletak di puncak Gunung Muria dengan ketinggian di atas 1.000 meter. Seperti apa penampakannya?
Untuk sampai ke lokasi, jaraknya sekitar 21 kilometer dari pusat Kota Kudus. Butuh waktu sekitar 40 menit dengan berkendara, kemudian sesampainya di Desa Colo pengunjung harus menempuh perjalanan dengan medan ekstrem.
Para peziarah harus naik tangga sejauh 500 meter dari pangkalan ojek. Tapi para peziarah juga bisa menggunakan jasa ojek untuk menuju ke masjid dengan tarif Rp 15 ribu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setibanya di kompleks makam dan masjid Sunan Muria para peziarah akan disuguhi pemandangan Kota Kudus. Memasuki masjid peninggalan Raden Umar Said atau yang dikenal Sunan Muria sudah banyak yang direnovasi.
Namun ada beberapa bangunan yang masih asli. Salah satunya adalah tempat pengimaman atau mihrab yang menjorok ke dalam bukan ke luar. Di mihrab tersebut terdapat ukiran piring keramik kecil yang berjumlah 30 buah dan bagian atas mihrab terdapat tulisan Arab.
Ada empat tiang penyangga atau saka yang terbuat dari kayu. Pada masing-masing tiang terdapat umpak yang terbuat dari batu berukir yang masih asli dan terawat.
Tak hanya itu, beduk yang tersimpan di masjid tersebut juga masih asli. Beduk itu terbuat dari kayu dan terdapat ukiran.
Imam Masjid Sunan Muria, Mastur mengatakan keunikan masjid peninggalan Sunan Muria berada di atas puncak Gunung Muria. Konon disebutkan jika masjid ini seperti berada di atas awan karena letaknya di puncak gunung.
"Untuk kelebihan atau yang membedakan Masjid Sunan Muria ini berada di puncak gunung, gunung yang ketinggiannya sekitar 1.000 meter. Puncak Muria ya ini yang masjid ini," terang Mastur kepada detikJateng, Rabu (30/3/2022).
Mastur mengatakan Sunan Muria mendirikan masjid di tengah hutan dan di atas gunung bukan tanpa sebab. Sunan Muria kala itu sudah menjawab alasan pembangunan masjid di tengah hutan maupun gunung.
"Beliau mendirikan masjid di puncak gunung ternyata dulu juga banyak yang mempertanyakan, kenapa Sunan Muria mendirikan masjid berada di puncak gunung dan tengah hutan. Beliau menjawab kala itu tapi belakangan nanti akan dikunjungi orang dari mana-mana. Ternyata sekarang tidak melulu hanya orang sekitar, dari mana saja, kota-desa datang ke sini," ujar dia.
 Bagian interior dalam masjid di atas awan peninggalan Sunan Muria di Kudus Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng |
Keunikan Masjid Atas Awan Sunan Muria
Mastur menyebut masjid itu dibangun sekitar abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 Masehi. Keunikan lainnya ada tempat pengimaman masjid tersebut bentuknya menjorok ke dalam bukan ke luar. Apa maknanya?
"Masjid ini juga terutama Desa Colo belum ada masjid, ini sudah dimanfaatkan untuk salat Jumat di sini. Yang fisik keunikannya itu pengimaman ini kan bentuknya ke dalam, bukan ke luar. Ini juga konon memberikan pesan bahwa umatnya Sunan Muria diharapkan mementingkan keakhiratan, mementingkan rohani dari pada keduniaan, dianjurkan untuk lebih mementingkan urusan akhirat atau ibadah," jelasnya.
Mastur mengatakan Sunan Muria menyebarkan agama Islam dengan jalan damai. Sunan Muria tidak menggusur budaya masyarakat yang ada di sekitar lereng Gunung Muria, tokoh Wali Sanga ini pun memiliki ajaran tapa ngeli.
"Metode dakwah Sunan Muria, jadi beliau tidak menggusur budaya yang sifatnya duniawi. Masuk dengan tidak menggusur perkumpulan yang ada, beliau masuk dengan mengisi perkumpulan ini dengan kegiatan agama, seperti ada bayi dibacakan kidung, beliau masuk dibacakan berjanjen, mau mendirikan rumah, beliau masuk dibacakan manaqib, kalau ada orang mati konon diadakan sesaji, beliau masuk dibacakan tahlil. Jadi beliau tidak merombak perkumpulan secara fisik, jadi isinya diisi dengan agama," terang dia.
"Tapa ngeli jadi beliau mengikuti jadi mengikuti arus masyarakat tapi tidak mengikuti budaya masyarakat, jadi masyarakat yang diajak mengikuti yang agama itu," sambung Mastur.
Mastur menambahkan ajaran Sunan Muria yang masih dilestarikan masyarakat adalah 'pagar mangkok'. Menurutnya istilah pagar mangkok berarti perbanyak untuk bersedekah.
"Istilah lagi pager mangkok juga, ini berarti perbanyak sedekah, jangan lupa tetangga, dikasih antara agar mereka juga menikmati rezeki yang kita terima," pungkas Mastur.
(ams/ams)
