Kilas Balik Tragedi Kemah Santri Ngruki 1987, 16 Meninggal di Gunung Lawu

Kilas Balik Tragedi Kemah Santri Ngruki 1987, 16 Meninggal di Gunung Lawu

Bayu Ardi Isnanto - detikJateng
Minggu, 27 Mar 2022 10:59 WIB
Kilas balik tragedi kemah santri Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo di Gunung Lawu pada 1987.
Kompleks permakaman tempat 9 korban tragedi kemah santri Ponpes Al-Mukmin Ngruki. (Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikJateng)
Sukoharjo -

Tak ada yang menyangka kemah liburan akhir tahun 1987 yang diikuti ratusan santri Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo berakhir tragis. Kegiatan di lereng Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur itu menewaskan 16 santri dan ustaz.

Kegiatan di bumi perkemahan Mojosemi itu dimulai pada Senin, 14 Desember 1987. Dalam buku Kisah Nyata Musibah Gunung Lawu yang diterbitkan Ponpes Al Mukmin, dijelaskan kegiatan tersebut bertujuan mengenalkan santri dengan alam yang merupakan ciptaan Allah SWT.

Mulai berkemah

Rombongan santri dan ustaz Ngruki kala itu sempat bermalam di tenda pada hari pertama. Bekal mereka lengkap, mulai dari peralatan berkemah hingga beras, mi instan dan nasi bungkus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada hari kedua, Selasa, 15 Desember 1987, ustaz dan pembimbing membagi sebanyak 119 santri menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok didampingi 1 ustaz dan 1 pembimbing. Tanpa persiapan yang matang, mereka diberi tugas untuk berjalan ke arah puncak Gunung Lawu via Singolangu.

Salah seorang ustaz bernama Jamaluddin memperingatkan agar seluruh peserta harus kembali lagi ke tenda pukul 15.00 WIB. Tidak ada kewajiban para peserta untuk mencapai puncak.

ADVERTISEMENT

"Karena kegiatan itu hanya bersifat pengenalan. Maka sekali lagi ia benar-benar tekankan kepada seluruh rombongan sampai di manapun di tengah perjalanan, mereka harus balik arah kembali ke perkemahan," demikian tertulis dalam buku tersebut.

Setiap regu sudah dibekali perlengkapan dan makanan yang diperhitungkan cukup untuk sehari itu saja. Karena diperkirakan mereka sudah kembali sebelum magrib. Bahkan sebagian dari mereka hanya menggunakan kaus, tanpa jaket.

Dalam pelaksanaannya, mereka saling berkomunikasi dengan bacaan takbir. Dengan demikian, peserta saling mengetahui keberadaan peserta lain.

Saat magrib, kelompok I, IV dan V sudah tiba di perkemahan Mojosemi. Sedangkan kelompok II dan III tidak juga kembali hingga Selasa malam.

Salah seorang saksi hidup musibah tersebut, Slamet Jafar, menceritakan dirinya termasuk dalam rombongan kelompok II. Pria asal Pemalang ini mengisahkan rombongannya tersesat hingga harus bermalam di alam liar tanpa perlengkapan yang cukup.

"Malam itu cuaca buruk, karena memang bulan Desember, hujan setiap hari. Kebetulan ada tempat yang agak menjorok seperti gua, sehingga bisa agak berteduh dari hujan," kata Jafar saat dijumpai di Ponpes Al Mukmin Ngruki, Kamis (24/3/2022).

Jafar kala itu merupakan siswa kelas 1 SMA yang baru beberapa bulan sekolah di Ponpes Al Mukmin. Sebelumnya, Jafar sempat mengenyam pendidikan keperawatan di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Muhammadiyah di Pekalongan.

Bekal ilmu keperawatan yang dia miliki dapat dimanfaatkan untuk membantu anggota kelompok II yang sakit. Ada anggota yang kram, kejang-kejang meskipun tak parah, sampai menggigil kedinginan.

Perjuangan pulang

Rabu, 16 Desember 1987 pagi, Jafar masih ingat betul dia dan kawan-kawan memiliki semangat baru untuk menyusuri jalan pulang. Akhirnya mereka menemukan pipa air dan menyusurinya hingga sampailah di perkemahan sekitar pukul 10.00 WIB.

"Sebetulnya mereka yang bisa kembali ke perkemahan itu hanya beruntung saja bisa menemukan jalan. Karena kita memang nggak punya persiapan untuk itu," ujar pria yang kini bekerja di Balai Pengobatan Ponpes Al Mukmin itu.

Kemudian tim SAR, TNI dan Polri datang membawa bantuan untuk menyelamatkan mereka. Seluruh korban dievakuasi ke rumah sakit.

Hingga Sabtu, 19 Desember 1987, ada 15 jenazah yang dimakamkan. Sembilan jenazah dimakamkan di dekat Ponpes Al Mukmin Ngruki. Enam jenazah lainnya dibawa oleh keluarga untuk dimakamkan di daerah asalnya masing-masing. Salah satunya ialah Amin Jabir dari Lamongan, keluarga dari Amrozi, Muklas dan Ali Imron yang terlibat Bom Bali I. Seorang korban terakhir dalam kondisi meninggal ditemukan pada 21 Desember 1987.

Jafar mengaku tidak mengetahui secara pasti penyebab kematian para korban, tapi menurutnya mereka meninggal dunia karena kedinginan ditambah dengan cuaca buruk saat itu. Hal yang sama dalam buku Kisah Nyata Musibah Gunung Lawu, tak ditemukan penjelasan rinci kondisi terakhir para korban.




(bai/sip)


Hide Ads