"Tujuan puisi bukanlah untuk membuat kita terpesona dengan pemikiran yang mencengangkan, tetapi untuk membuat satu momen keberadaan tak terlupakan dan layak untuk nostalgia yang tak tertahankan."
(Milan Kundera)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kadang saya membayangkan kekuasaan itu merasuk hangat ke dalam tubuh orang layaknya pesona kata yang dicarik dalam diksi sebuah puisi. Secara ritmis dan imagis, pesona kata-kata itu menyusupi pikiran, hati, dan bahkan hingga ke tulang sungsum.
Tapi bukan! Bisa jadi memang proses merasukkan daya pesona kata, dan pengaruh kuasa, sama-sama pelan meresap. Setetes demi setetes, sehirup demi sehirup. Namun pendar resonansi yang diciptakan bisa jadi berlawanan.
Bukan! Kekuasaan pasti bukan sama dengan puisi. Puisi membawa kesadaran kemanusiaan, bukan melenakan. Puisi adalah kedalaman samudra pengetahuan, bukan air laut permukaan yang semakin dicecap semakin membuat dahaga.
Daya dorong pesona puisi bisa jadi adalah yang mendukung penuh semangat perjuangan kesetaraan nasib yang dikobarkan Bung Karno agar kita berangkat dengan kesadaran sebagai bangsa merdeka; menuju jembatan emas yang akan mengantarkan tercapainya cita-cita luhur kehidupan berbangsa.
Namun daya puisi pastilah bukan yang menyusunkan bangunan mimpi singgasana abadi pemimpin seumur hidup bagi Bung Karno pada beberapa babak penceritaan kemudian.
Puisi mungkin yang menemani malam-malam pergulatan para mahasiswa, yang sedang memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai upaya perbaikan moral bangsa dan mengembalikan arah, dan tujuan bernegara.
Tapi bahkan mungkin ide puisi paling mentah sekalipun pastilah bukan yang mengamini, dan ikut berduyun-duyun merekayasa kebulatan tekad ketika Soeharto dengan senyum manisnya menikmati perpanjangan demi perpanjangan kekuasaannya.
Puisi juga yang menyemangati rakyat berjejal turun jalan ketika menemukan saluran demokrasi yang mampat, kebuntuan demi kebuntuan didapati saat upaya-upaya dialog anak bangsa berupaya dilakukan.
Lalu apakah pula daya puisi yang kini mendorong pamrih perpanjangan kuasa dengan dalih penyelesaian pandemi? Tak! Pasti bukan puisi! Puisi kehidupan mengabarkan tentang empati dan kepedulian, yang dengannya si buta menjadi bisa melihat, dan yang tuli bisa mendengar.
Puisi juga yang membuat nurani selalu berjaga dalam batas kesadaran untuk sepenuhnya menjaga ingatan dan senantiasa berupaya menetakkan perjuangan melawan lupa.
Dia adalah yang menuntun Ibrahim bin Adham, raja Balkh yang melepas mahkota untuk menjadi tukang kayu hingga penguras kamar mandi umum demi melayani sesama. Dia pula yang menemani Umbu Landu Paranggi meninggalkan takhta kerajaan leluhurnya di Sumba, untuk berkelana demi menebar asa kehidupan dan pemandu jalan bagi anak-anak bimbingannya.
Ibrahim dan Umbu percaya batas ingatan manusia betapa pendeknya, batas pamrih nikmat betapa tak terbatas setelahnya.
Saya membuka obrolan ini dengan kutipan pendapat Kundera, pemikir merdeka yang sangat kuat memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kemerdekaan bersikap. Saya pun ingin menutupnya dengan pendapat lain dari Kundera yang tak kalah pentingnya untuk selalu kita ingat:
"Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa."
Solo, 6 Maret 2022
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi.
(mbr/ams)