Seniman sekaligus aktivis Yayak Yatmaka menjadi salah satu yang ditangkap aparat keamanan dalam konflik agraria di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah. Jauh sebelum peristiwa penangkapan di Wadas itu terjadi, Yayak sudah malang melintang dalam berbagai aksi serupa. Seperti apa kisahnya?
"Selama mahasiswa, aku kuliah di ITB pada tahun 1977, dan saat itu sudah mulai dewan mahasiswa ITB gencar mengkritisi pemerintahan Orba (Orde Baru) Soeharto," ungkap Yayak saat membuka obrolan dengan detikJateng, di salah satu rumah warga di Wadas, Sabtu (19/2/2022).
Pria bernama lengkap Bambang Adyatmata ini terlibat dalam demo besar-besaran yang digelar mahasiswa dan muda mudi Bandung di depan kampus ITB dalam Gerakan Mahasiswa 1977/1978. Demo ini untuk menuntut Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden kala itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di 10 tahun masa pemerintahan itu sudah ada indikasi bahwa dia (Soeharto) atau sekelompok Orba berkuasa melakukan tindakan yang tidak sesuai konstitusi. Pertama mereka tak persoalkan SDA, contohnya hadirnya Freeport di Papua dan banyak praktik pelanggaran HAM," ucap pria kelahiran Yogya 66 tahun silam tersebut.
"Untuk itu dewan mahasiswa ITB dan seluruh Indonesia di kongres 77, mencari presiden baru. Yang paling kenceng mahasiswa se-Bandung terutama ITB tidak menghendaki Soeharto jadi presiden lagi pada tahun 78, yang saat itu ada sidang umum MPR," sambungnya.
Aksi itu jadi awal kiprah Yayak dalam dunia aktivis. Sejak aksi tersebut, hingga berujung pembubaran dewan mahasiswa, Yayak memutuskan untuk bergabung dalam Non Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia memilih LSM yang fokus pada upaya mencerdaskan bangsa dan gerakan antikebodohan.
"Sesudah ada pembubaran dewan mahasiswa se-Indonesia, kita sepakat langsung berinteraksi atau menangani rakyat. Aku sendiri gabung ke LSM atau NGO, memilih itu karena dari awal ingin melaksanakan konsep gerakan anti kebodohan. Kita kritisi sistem pendidikan Orba yang pada waktu itu hanya menciptakan rakyat pecundang untuk kemudian sekolah ke pendidikan tinggi yang hanya sedikit dibandingkan di bawahnya," ucapnya
Fokus Yayak saat itu adalah bagaimana meningkatkan kualitas anak-anak Indonesia, dalam hal pendidikan. Ia juga ingin agar anak-anak Indonesia bisa benar-benar merasakan kemerdekaan. Merdeka dalam berekspresi dan mendapatkan hak-haknya.
![]() |
"Jadi kita harus tanamkan semenjak dasar tentang kemerdekaan jiwa, kemanusiaan, kebangsaan di mana ini mengusung prinsip-prinsip Taman Siswa, karena kebetulan sejak saya kecil sampai SD itu lekat dengan ajaran Taman Siswa. Nah dari sini lalu membangun jaringan nasional pendampingan anak-anak menjadikan mereka anak merdeka," jelasnya.
Pada tahun 1985, seluruh NGO di Indonesia sepakat tidak hanya mendampingi upaya pengembangan SDM saja, tapi juga ikut melawan ketidakadilan. Fokus sasarannya adalah masyarakat di wilayah konflik.
Di situ Yayak coba membantu masyarakat yang jadi korban konflik vertikal agar mengetahui biang persoalan tersebut, yakni para penentu kebijakan.
"Kita kenalkan biang masalah yaitu penentu sistem kebijakan politik, yang membuat mereka kena masalah di bawah, misal kekurangan pangan, tidak bisa sekolah dan sejenisnya," jelasnya.
"Sementara kita berikan dasar-dasar ajaran ke anak, kita juga organisir rakyat yang ada di dalam wilayah konflik itu untuk mau memperjuangkan hak-haknya," ujarnya.
Yayak aktif membela kaum marginal terutama yang jadi korban konflik agraria. Tercatat ia ikut dalam sejumlah aksi mulai dari kasus Kedung Ombo, Pembangunan Bandara YIA Kulon Progo, dan yang terbaru adalah penolakan tambang andesit di Wadas.
Selain pendampingan anak-anak dan warga korban konflik, Yayak juga menyuarakan aksinya lewat karya gambar. Yang paling diingat adalah ketika Yayak membuat kalender-berformat poster berjudul: Tanah Untuk Rakyat untuk memprotes Orde Baru. Karyanya ini muncul pada tahun 1991.
Dalam kalender poster itu Yayak menggambarkan 14 dosa Orde Baru yang seenaknya memaksa rakyat meninggalkan lahannya. Mulai pembangunan peternakan dan kandang kuda di Gunung Salak, pembangunan lapangan golf di Cimacan, Jawa Barat, sampai kasus Talang Sari di Lampung.
Gambar itu membuat panas pemerintah Orde Baru karena dibuat vulgar dan berani. Salah satunya terdapat gambar pejabat sedang membawa pundi harta sembari menginjak puluhan rakyat kecil. Lalu tentara berwajah monyet, babi, dan serigala membunuh anak-anak dan warga.
Terdapat pula gambar laki-laki mirip Soeharto sedang memangku perempuan seksi. Sosok itu menduduki kaum jelata bertubuh kurus kering. Di depan sosok tersebut, Yayak menggambar seorang perempuan mirip Ibu Tien, istri Soeharto, tengah mengenakan bikini dan bermain golf.
Poster sindiran itu dicetak sebanyak 25 ribu lembar untuk kemudian didistribusikan ke kelompok-kelompok pergerakan. Namun tak lama setelah poster ini mencuat, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa karya bikinan Yayak adalah subversif dan dilarang. Yayak pun diburu aparat, dan akhirnya memutuskan tinggal di Jerman.
Ancaman yang menyertai hidup Yayak tak membuatnya bungkam. Ia tetap melawan lewat lukisan bernada kritik yang konsisten dibuatnya hingga kini.
(rih/ahr)