Kisah Lengkap Yayak Yatmaka, Dampingi Warga Wadas hingga Ditangkap Aparat

Kisah Lengkap Yayak Yatmaka, Dampingi Warga Wadas hingga Ditangkap Aparat

Jalu Rahman Dewantara - detikJateng
Minggu, 20 Feb 2022 09:10 WIB
Yayak Yatmaka di Desa Wadas, Purworejo, Sabtu (19/2/2020).
Yayak Yatmaka di Desa Wadas, Purworejo, Sabtu (19/2/2020). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng
Purworejo -

Konflik antara warga penolak penambangan batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dengan pemerintah memicu aksi penangkapan terhadap 64 orang oleh aparat kepolisian. Salah satu yang jadi tawanan adalah seniman sekaligus aktivis Bambang Adyatmata atau biasa disapa Yayak Yatmaka.

Penangkapan itu berlangsung pada Selasa (8/2/2022) pagi menjelang siang di sekitar Masjid Al-Huda, Kompleks Madrasah Diniyah Hidayatul Islamiyah (MHI) Wadas. Pemicunya adalah penolakan warga terhadap rencana pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purworejo terhadap lahan seluas 146 hektare milik warga yang akan dibebaskan untuk penambangan batu andesit.

Yayak Yatmaka sudah mencium gelagat yang kurang baik pada sehari sebelumnya, Senin (7/2/2022). Dia mendengar kabar ada ribuan aparat dari polisi dan TNI berkumpul di Lapangan Kaliboto, Kecamatan Bener.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lapangan itu hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari Desa Wadas yang selama beberapa waktu terakhir didampinginya. Saat itu, Yayak bersama beberapa kawannya masih berada di Jogja.

"Di hari yang sama (Senin), pada sore hingga malam, mulai berdatangan polisi-polisi. Kita masih belum yakin dengan info yang menyebut bahwa penyerangan di hari Selasa atau besoknya (Rabu). Tapi dilihat dari model kesiapannya dan adanya apel, ini pasti temponya sudah dekat," ungkap Yayak saat berbincang dengan detikJateng di salah satu rumah warga di Wadas, Sabtu (19/2/2022).

ADVERTISEMENT

"Nah dari pihak pendamping termasuk Solidaritas Wadas Nasional waktu itu terus melakukan koordinasi, membahas kesiapan menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi jika polisi benar-benar memasuki Wadas dengan kompi besar," sambungnya.

Adapun koordinasi banyak dilakukan lewat telepon. Warga dilatih mitigasi menghadapi potensi kericuhan dengan fokus utamanya adalah mengevakuasi anak-anak untuk menjauh dari lokasi rawan konflik secepat mungkin. Asrama siswa MHI di belakang Masjid Al-Huda dipilih jadi lokasi evakuasi sementara.

"Kami lakukan pelatihan mitigasi, untuk menghadapi kericuhan. Kita tentukan dalam tempo berapa waktu secepatnya bisa kumpulan anak-anak. Waktu itu setengah jam bisa kumpul di asrama belakang masjid, Kemudian evakuasi ke tempat jauh biar enggak dengar dan lihat kericuhan," kata aktivis yang telah aktif dalam gerakan sosial sejak tahun 1978 itu.

Namun koordinasi ini menjadi kacau setelah secara tiba-tiba listrik di Wadas padam pada Senin malam. Akses internet juga mendadak tidak bisa diakses.

"Nah Senin malam pas siap-siap itu tiba-tiba listrik dipadamkan. Internet dikacaukan. Itu jadi menyulitkan komunikasi kami yang masih di Jogja dengan warga di Wadas. Ini kalau gini mesti secepatnya berangkat ke sini. Tapi waktu itu pertimbangannya macam-macam lah dari kawan-kawan LBH dan WALHI," ucapnya.

Esok harinya Wadas benar-benar dikepung aparat. Puluhan warga bahkan ditangkap oleh polisi dengan alasan melakukan provokasi dan penolakan terhadap pengukuran lahan.

Mendengar kabar itu, Yayak dan rombongan bergegas ke lokasi. Mereka bertolak menggunakan mobil pada siang hari.

Selama perjalanan, tim ini intens berkomunikasi dengan Komnas HAM. Dari pihak Komnas HAM kemudian menghubungi Polda Jateng agar bisa memudahkan rombongan ini bisa cepat sampai ke Wadas.

"Selama jalan menuju sini, kita kontak Komnas HAM. Pihak Komnas HAM minta Kapolda agar rombongan bisa masuk Wadas lewat jalur utama, ini mengingat LBH Jogja adalah kuasa hukum warga di sini," ucapnya.

Yayak Ditangkap Aparat

Sekitar dua jam kemudian, rombongan akhirnya sampai di lokasi. Di sini sudah banyak polisi yang berjaga hingga menutupi akses menuju masjid Al-Huda. Menurut Yayak, aparat menggunakan peralatan lengkap seperti hendak perang.

"Nah masuk sini, kita lihat jalan masuk masjid tertutup rombongan polisi. Mereka bawa tameng dan pentungan. Mode siap tempur. Pos-pos jaga yang didirikan warga di sejumlah titik di Wadas juga diduduki polisi," ujar Yayak.

Selain itu, Yayak yang merupakan pencipta kalender Tanah Untuk Rakyat ini juga menyaksikan belasan warga sudah ditangkap. Mereka didudukkan di sekitar lokasi tersebut.

"Saat itu sudah terlihat ada belasan orang ditangkap. Orang-orang ini duduk. Kita lewat, di depan masjid penuh mobil polisi. Kita diarahkan masuk ke dalam. Nah waktu itu ketemu koordinator lapangan operasi yang diketahui adalah Kasat Serse (Kasat Reskrim) Polres Purworejo. Dia minta fotokopi surat kuasa (Kuasa Hukum untuk warga)," ujarnya.

Di saat itu pula sempat terjadi kericuhan. Yayak menuding ada sejumlah orang yang mengaku sebagai warga pro penambangan mencoba memanaskan suasana. Sempat ada aksi dorong tetapi tak berlangsung lama.

"Saat itu sempat terjadi kericuhan. Ada yang ngaku orang desa ini yang bilang kubu pro. Tapi orang-orang itu terlihat asing. Padahal kami tahu siapa saja yang pro, apalagi kontra," ujarnya.

Setelah kericuhan itu, Yayak meninggalkan rombongan yang tengah bernegosiasi dengan korlap operasi untuk mencari keberadaan anak-anak Wadas. Sesuai rencana sebelumnya, anak-anak seharusnya sudah berada di asrama, belakang Masjid Al-Huda.

TNI-Polisi kawal pengukuran lahan proyek Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Selasa (8/2/2022).TNI-Polisi kawal pengukuran lahan proyek Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Selasa (8/2/2022). Foto: Rinto Heksantoro/detikcom

Ia pun berjalan kaki menuju ke tempat evakuasi itu sembari menjauhi kerumunan. Namun ia justru mendapati bahwa asrama dalam kondisi kosong.

"Saya masuk ke madrasah lewat jalan alternatif. Tapi sampai asrama yang harusnya jadi tempat evakuasi anak-anak justru kosong. Hanya ada satu orang yang katanya petugas kebersihan asrama. Dia bilang kalau anak-anak tidak di sini. Saya percaya aja, karena orang itu ngaku suruhannya kiai di sini," ujar Yayak.

Di saat bersamaan, Yayak didatangi oleh lima aparat berpakaian preman yang ternyata sudah mengintai gerak-geriknya. Yayak sempat ditanya kenapa meninggalkan rombongan, lalu kemudian ia ditangkap.

"Pada saat yang sama datang lima aparat berpakaian preman mau tangkap saya. Mereka bilang kenapa pisah rombongan. Dia bilang 'aku petugas polisi'. Saya bilang juga petugas, saya petugas kemanusiaan. Itu bentuk kesiagaan," ucap Yayak sembari terkekeh.

"Saat itu satu orang dorong saya dan berteriak amankan itu HP-nya. Saya lalu digandeng keluar. Kemudian bergabung dengan yang berkumpul di pinggir jalan (warga yang ditangkap)," sambungnya sembari berujar bahwa ia kemudian diangkut ke Polsek Bener menggunakan sebuah mobil.

Sesampainya di Polsek Bener, Yayak melihat sudah banyak warga kontra penambangan yang ditangkap. Saking banyaknya sampai memenuhi Mapolsek, sehingga dirinya terpaksa duduk di tangga menuju lantai atas. Di situ pula, polisi menyita seluruh KTP mereka.

"Di Polsek saya lihat sudah banyak tangkapan di sini. Penuh sampai saya duduk di tangga menuju lantai atas Polsek. Beberapa polisi berpakaian sipil juga keliatan sibuk wara-wiri," ucapnya.

Para tawanan termasuk Yayak kemudian diberi makan, untuk selanjutnya menjalani interogasi. Ada yang diinterogasi bareng-bareng ada pula yang sendiri. Yayak termasuk yang disendirikan.

"Saya yang disendirikan. Nggak tahu kenapa, apa karena tampangnya beda gitu," ucapnya

Yayak menuturkan bahwa dirinya diinterogasi oleh dua orang polisi. Namun ia tidak mau menjalani proses itu tanpa didampingi pengacara.

"Nah saat interogasi ada dua polisi datang dengan mata liar. Mereka bertanya dengan nada tinggi. Saya jawab, gausah kencang-kencang lah pak, telinga saya masih bisa dengar. Kemudian saya bilang tidak mau diinterogasi. Kalau diinterogasi maunya didampingi pengacara," ucapnya.

Pihak kepolisian lalu memutuskan hanya melakukan interview kepada Yayak. Jika ada pertanyaan yang kurang berkenan, Yayak dipersilakan untuk tidak menjawab. Namun Yayak merasa bahwa ada beberapa pertanyaan yang menjurus ke arah interogasi sehingga ia memutuskan tak menjawab.

"Ada macam-macam pertanyaan, terkait kenapa saya bisa sampai Wadas. Ada pertanyaan pancingan dan menjurus interogasi. Saya jawab, wah interogasi nih. Nggak mau jawab," ujarnya.

"Kemudian saya bilang bahwa kehadiran saya itu untuk menyembuhkan trauma anak-anak dan mencegah anak-anak mengalami trauma akibat ulah polisi," sambungannya.

Setelah proses itu selesai, Yayak kemudian menandatangani BAP. KTP yang sebelumnya disita juga sudah dikembalikan. Pada saat itu pula, interogator mempersilakan Yayak untuk pulang. Dengan kata lain ia bebas. Namun belakangan ia justru diangkut ke Mapolres Purworejo.

"Saya sudah diminta keluar. Katanya dibebaskan boleh pulang Jogja. Sampai luar ternyata dicegat petugas, suruh masuk dalam Polsek lagi. Saya pertanyakan kenapa disuruh masuk, dia dengan nada tinggi minta saya masuk dan ternyata enggak jadi bebas. Kemudian saya diangkut ke Polres Purworejo malam harinya," ungkapnya.

Sampai di Mapolres Purworejo, Yayak beserta tawanan yang jumlahnya mencapai 64 orang dibariskan untuk dipotret satu per satu. Di sini pula, seluruh telepon genggam milik tawanan disita petugas. Selanjutnya mereka diminta mengisi formulir data diri lengkap disertai cap 10 jari. Namun Yayak memutuskan tidak mengisi formulir tersebut.

"Ada pembagian kartu, yang harus dicap 10 jari. Isinya data lengkap sampai nama orang tua, istri, dan anak. Jadi tidak hanya data KTP tapi data-data lain. Nggak tahu maksudnya apa, tapi tertulis di situ kalau dari Satreskrim. Kemudian ada tulisan tersangka. Wah ini pegangan untuk mengkriminalisasi kita. Nah kami sepakat tidak mengisi formulir itu," ucapnya.

Yayak menuturkan, saat di Mapolres, ia melihat banyak tawanan terkapar karena kelelahan. Ada yang sampai kerokan, hingga muntah-muntah. Menurutnya itu adalah efek sakit imbas dihajar petugas ketika proses penangkapan di Wadas.

"Saat itu ada yang terkapar, kerokan, muntah-muntah. Karena kesakitan abis dihajar waktu penangkapan," ungkapnya.

Hingga Selasa malam, Yayak dan tawanan lain masih ditahan di Mapolres Purworejo. Mereka menjalani proses interogasi lanjutan yang belum kelar hingga lewat tengah malam. Kali ini interogasi dilakukan oleh petugas yang berbeda dari saat interogasi di Polsek Bener.

"Sekitar pukul 01.00 hingga 02.00 WIB itu ada pergerakan, ternyata datang rombongan intel khusus, mereka berparas tampan, rambut panjang, tinggi dan gagah. Ini perwira kayaknya, nah mereka ini melakukan interogasi lagi. Tapi mainnya polisi baik dan polisi buruk. Selama itu tawanan disuruh pindah-pindah sampai capek," ucapnya.

Waktu diinterogasi ini, Yayak bilang bahwa dia sudah di-BAP sewaktu di Mapolsek Bener. Namun tetap saja diinterogasi oleh petugas.

"Saya bilang kalau sudah di-BAP. Saat itu juga ada petugas yang sebelumnya interogasi saya waktu di Polsek. Dia bilang 'Pak Tua ke sini', lalu nanyain kegiatan saya di Wadas, ikut organisasi apa. Tapi akhirnya selesai," ucapnya.

Selesai proses interogasi, Yayak didatangi oleh seorang polisi yang belakangan diketahui sebagai Kasat Reserse Kriminal Polres Purworejo. Ia bilang bahwa bakal menerima kehadiran kuasa hukum untuk warga dan Yayak dengan syarat mengisi formulir lengkap disertai cap 10 jari yang sebelumnya tidak diindahkan para tawanan.

"Dia bilang bahwa kami menerima kehadiran kuasa hukum kalian. Tapi syaratnya kalian harus menyerahkan formulir yang mengarah ke kriminalisasi kami. Otomatis dengan cara itu mau nggak mau kita harus ngisi formulir. Setelah diisi, kami dipotret lagi," ucapnya.

Selepas itu kuasa hukum dari LBH Yogyakarta diperkenankan mendata pada tawanan termasuk Yayak. Proses ini berlangsung hingga jelang subuh, atau sudah berganti hari pada Rabu (9/2/2022).

Sepanjang proses pendataan, tawanan terganggu oleh suara gaduh. Hal ini membuat Yayak tak bisa istirahat. Belakangan diketahui bahwa suara itu bersumber dari tim khusus yang tengah membuat papan dan peta wilayah Desa Wadas untuk ditampilkan menyambut kedatangan Kapolda Jateng, Irjen Polisi Ahmad Luthfi dan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo di Purworejo.

"Ternyata besok ada tamu, Kapolda sama Ganjar. Itu mereka bikin papan atau apalah itu. Nah salah satu warga lihat itu adalah papan peta Wadas dan diketahui wilayah Wadas dikepung tentara dan polisi. Intinya wilayah ini ditutup baik untuk keluar maupun masuk," ucap Yayak.

Dipulangkan Ke Wadas

Pada Rabu pagi, sekitar pukul 06.00 WIB, Yayak beserta tawanan lain diminta oleh polisi untuk keluar dari dalam Mapolres Purworejo. Mereka diarahkan ke sebuah musala yang berlokasi di pojok belakang Mapolres setelah sebelumnya diberi sarapan.

"Kemudian kita keluar baris satu-satu ke bawah. Kita tanya abis ini apa rencananya? Mereka (polisi) bilang nunggu perintah. Ternyata dibawa ke musala di pojok belakang Polres," ucap Yayak.

Tak lama, datang truk polisi ke tempat di mana Yayak dan tawanan menunggu. Truk itu rencananya untuk mengangkut mereka pulang ke Wadas.

"Kemudian truk polisi datang untuk angkut kita balik ke Wadas. Namun tiba-tiba datang salah satu orang katanya asisten Wapres gitu. Dia bilang kalau Ganjar minta kita dikeluarkan secepatnya. Dan pagi itu benar memang Ganjar datang," ucapnya.

Yayak mengatakan petugas (yang diketahui asisten Wapres) lalu menghubungi Ganjar via telepon. Ia lantas bertanya ke para tawanan, apakah mau berbicara dengan Ganjar. Di sinilah para tawanan bisa berkomunikasi dengan Ganjar lalu meminta dipulangkan menggunakan bus.

"Kita minta disediakan bis untuk balik dan Ganjar menyanggupi," ucapnya.

Tidak lama kemudian datang bus yang diminta. Sebelum masuk ke bus dan bertolak ke Wadas, para tawanan diminta kembali masuk Polres untuk mengambil telepon genggam yang sempat disita petugas.

Sejumlah warga yang sempat ditahan polisi tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Sebanyak 64 warga Desa Wadas dibebaskan oleh pihak kepolisian terkait aksi penolakan pembangunan Bendungan Bener. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/wsj.Sejumlah warga yang sempat ditahan polisi tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Sebanyak 64 warga Desa Wadas dibebaskan oleh pihak kepolisian terkait aksi penolakan pembangunan Bendungan Bener. Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Dalam proses pengembalian itu, Yayak beserta tawanan juga diberikan amplop berisi uang. Kemudian diminta berfoto bersama dengan petugas kepolisian.

"Sebelum naik ke bus, kami diminta ke dalam Polres bawa pulang HP. Di situ kita duduk lagi. Ternyata HP dikembalikan di dalam amplop, lalu dikasih amplop lain. Kemudian tanda tangan bahwa kita sudah terima barang rampasan. Kami juga terima kotak besar. Lalu difoto wartawan sambil salaman dengan Satserse," ujarnya.

Anak-anak Wadas Trauma

Selepas bebas dari Mapolres Purworejo, Yayak mendapati bahwa aparat kepolisian masih tetap bersiaga di Wadas. Diketahui bahwa hari di mana Yayak dan rombongan tawanan dipulangkan, polisi mendatangi setiap rumah warga dan meminta telepon genggam mereka. Sasarannya adalah warga yang kontra dengan penambangan. Yayak menyebutnya sebagai teror terhadap warga.

"Habis kita balik ke Wadas, sampai sini kita tahu polisi melakukan operasi lagi. Mereka minta HP di setiap warga penolak. Mereka masuk dan meneror warga di setiap dusun. Warga yang takut akhirnya pilih tutup pintu. Ada juga yang ngungsi," ujarnya.

Di samping itu, polisi kata Yayak juga membawa daftar pencarian orang (DPO) di mana targetnya adalah tokoh-tokoh dan aktivis yang vokal menolak penambangan di Wadas. Hal ini membuat anak-anak di desa tersebut trauma.

"Kami mendata ada 40 kategori anak, mulai dari balita sampai remaja yang trauma parah. Ada yang sampai mimpi buruk, ngigau, teriak, enggak mau ngomong, kalau ngomong lirih, dan mata menunjukkan ketakutan," ujarnya.

Yayak dan tim relawan Wadas kemudian mendata seberapa dalam trauma yang diderita anak-anak. Tim ini juga mengundang psikolog untuk menyembuhkan trauma tersebut.

"Kita undang psikolog melakukan trauma healing di sana. Ini juga berhubungan dengan kegiatan kami yaitu anak merdeka yang kita lakukan. Pendekatan anak merdeka ini terbukti dalam setiap bencana maupun konflik kayak begini, jadi anak-anak enggak terlalu masuk dalam persoalan orang-orang dewasa. Biar terjaga perkembangan jiwanya," ucapnya

Dalam proses trauma healing, anak-anak diajak untuk mengekspresikan emosinya lewat pelbagai media. Antara lain tulisan, gambar, tari, lagi, hingga diajarkan teater. Anak-anak juga diajak jalan-jalan sembari itu bercerita tentang apa yang mereka alami hingga membuat trauma selama ini.

"Cara-cara ini sudah kami lakukan saat kasus Wadas mencuat beberapa waktu lalu hingga mengancam psikologis anak-anak di sini. Dan kami terus berupaya agar hal semacam ini, tidak terjadi lagi, warga hanya ingin penambangan dibatalkan dan dipindahkan ke tempat lain," tegas Yayak.

Yayak di Mata Warga Wadas

Salah satu warga Wadas, Ana (34) mengungkapkan aksi penangkapan puluhan warga beberapa waktu lalu dan konflik berkepanjangan yang sudah bertahun-tahun di Wadas telah berdampak pada psikologi anak-anak di desa ini. Karena itu, upaya penyembuhan trauma yang dilakukan Yayak dan para relawan sangat dibutuhkan.

"Mereka benar-benar trauma, sampai ketakutan. Sehingga adanya Pakde Yayak ini sangat membantu mereka untuk proses penyembuhan," ucap perempuan yang juga jadi salah satu warga yang sempat ditangkap polisi.

Ana menuturkan Yayak yang sudah cukup lama menetap di Wadas sejak konflik pertambangan mencuat adalah penghibur bagi anak-anak. Di matanya, Yayak merupakan sosok yang baik, dan ramah. Karena itu Yayak disenangi semua orang.

"Pakde ini orangnya baik ramah juga. Suka menghibur anak-anak. Yang tadinya murung lama-lama bisa ceria lagi," ucapnya.

Ana pun berharap tindakan aparat yang sempat menangkap Yayak tidak terulang lagi. Sebab sosoknya sangat dibutuhkan warga terutama bagi anak-anak yang mengalami trauma imbas konflik vertikal tersebut.

"Sangat disayangkan dengan adanya penangkapan beberapa waktu lalu. Saya tidak mau itu terjadi lagi," ujarnya.




(ahr/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads