Ewe Deet di Tengah Budaya Cawokah Orang Sunda

Faizal Amiruddin - detikJabar
Jumat, 03 Okt 2025 20:00 WIB
Ilustrasi ew deet, camilan berupa kelapa dan gula aren atau gula merah. (Foto: Gemini AI)
Tasikmalaya -

Eksistensi camilan khas Sunda dengan nama ewe deet, sudah relatif sulit ditemukan, terutama di Tasikmalaya. Bahkan mayoritas masyarakat boleh jadi tidak mengetahui adanya makanan dengan nama sevulgar itu.

Namun dari beberapa keterangan warga di Tasikmalaya, ewe deet itu merujuk kepada makanan yang terbuat dari kelapa muda yang dimasukkan ke dalam air godokan saat pembuatan gula aren.

"Ya memang ada, jadi buah kelapanya itu yang tanggung. Bukan dawegan (kelapa muda) bukan juga kelapa tua," kata Jeje Zaenal Mustopa (63), warga Kampung Cilenga, Desa Selawangi, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya, kepada detikJabar belum lama ini.

Menurut Jeje, kelapa dengan tingkat kematangan tanggung itu, sulit jika dikeruk dengan sendok seperti dawegan. Untuk dijadikan santan pun belum bisa karena belum terlalu matang. Akhirnya, oleh masyarakat sering dijadikan camilan, salah satunya dijadikan ewe deet.

"Setahu saya buah kelapa setengah tua itu dimasukkan ke dalam cai peueut, ikut digodok sambil membuat gula. Rasa daging kelapa itu jadinya empuk, manis dan gurih khas kelapa, " ujar Jeje.

Cai peueut adalah istilah untuk nira (air sadapan) aren atau kelapa yang dimasak untuk dijadikan gula. Jeje mengaku terkenang dengan legitnya camilan itu, tapi tak mudah untuk mendapatkannya, karena menurut dia tak ada yang menjual.

"Harus main ke pembuat gula kalau ingin mencicipi. Makanan barudak baheula (anak zaman dulu) itu mah," jelasnyaJeje.

Terkait namanya yang vulgar, Jeje mengatakan nama itu disematkan karena rasanya yang legit. "Namanya memang ewe deet, tapi kan itu sebutan orang tua dulu. Kalau sekarang kan rasanya nggak pantas menyebut itu. Kebayang nggak kalau ada anak minta makanan itu ke ibunya. Mamah hoyong (mau) ewe deet, kan kacau," tutur Jeje diiringi derai tawa.

Penyadap nira aren sedang tekun bekerja di Kampung Kuta Ciamis. (Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar)

Dia mengatakan budaya atau bahasa cawokah (ucapan/obrolan/guyonan berbau porno) di masyarakat Sunda, pada zaman dulu masih bisa ditoleransi.

"Candaan cawokah, obrolan jorang, kalau zaman dulu kan biasa. Ya, masih dimaklumi, dianggap guyonan. Tapi kalau sekarang kan zamannya sudah beda. Dianggap nggak sopan, salah-salah bisa kena pasal pelecehan atau dikira otak mesum," kata Jeje.

Sementara itu, salah seorang perajin gula kawung, Karnen (70) alias Mang Anen warga Kampung Cidugaleun Kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya, mengatakan ewe deet tidak hanya dialamatkan pada camilan buah kelapa yang dicelupkan pada cai peueut.




(orb/orb)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork