Menerka Silsilah Ewe Deet yang Dulu Sohor di Priangan Timur

Menerka Silsilah Ewe Deet yang Dulu Sohor di Priangan Timur

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Senin, 29 Sep 2025 19:30 WIB
Ilustrasi ewe deet.
Ilustrasi ewe deet, camilan berupa daging kelapa dan gula merah atau gula aren. (Foto: Gemini AI)
Bandung -

Telinga orang Sunda akan pindah ke mode fokus saat mendengar nama camilan ini, yaitu ewe deet. Dua kata yang menjadi nama camilan sohor di wilayah Priangan Timur, seperti Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut ini memang punya konotasi.

Dari segi kata, Γ©wΓ© berarti hubungan senggama suami istri. Sementara deet merujuk kepada makna dangkal. Namun, meski 'dangkal', kegiatan suami-istri tersebut tetap mengandung unsur kenikmatan, seperti hal nikmatnya camilan ewe deet.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memang nama itu cukup cawokah (vulgar), tetapi penamaannya bisa ditelusur sebagai ungkapan eksprΓ©sif atas kenikmatan yang dirasakan saat mengunyah camilan itu.

Ewe deet adalah camilan yang tersusun atas daging buah kelapa dipotong kecil memanjang, lalu disiram dengan peueut, yakni air nira dalam godokan yang sudah menuju kental dan sebentar lagi akan mencapai tekstur gula merah siap cetak. Pada praktiknya, ada yang cukup disiram, ada yang dilumuri hingga merata dengan cara diaduk.

ADVERTISEMENT

Masih Ditemukan di Kampung Adat Kuta

Di era kekinian, ewe deet sudah jarang dikonsumsi masyarakat secara umum. Di Ciamis, ewe deet di antaranya masih bisa ditemukan, meski sangat jarang, di Kampung Adat Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari. Khusus di Kampung Kuta, camilan ini biasanya dimakan perajin gula aren saat sedang membuat gula.

Dilansir detikJabar, Kepala Dusun Kuta, Didi Sardi, mengatakan hal itu tidak terlepas dari kondisi pada zaman dulu yang makanannya tidak sebanyak dan variatif seperti sekarang. Sehingga, kelapa pun oleh masyarakat dijadikan camilan.

Di Kampung Kuta, warga perajin gula mencoba memadukan kelapa muda dengan disiram nira yang direbus sudah mendekati jadi gula sebelum dicetak. Setelah dicoba, ternyata rasanya enak.

"Rasanya gurih, manis, kelapanya tidak tua, juga tidak terlalu muda, teksturnya nyakrek (renyah)," ucap Didi, Jumat (26/9/2025).

Silsilah Nama Ewe Deet

Bahasa adalah suatu lambang bunyi yang arbitrer, yaitu bersifat manasuka. Camilan berupa potongan daging kelapa setengah tua disiram gula merah cair dinamakan ewe deet pun bersifat demikian.

Penamaannya muncul dari rasa yang sangat enak. Rasa enak yang teramat sangat di mulut, serupa dengan rasa enak ketika senggama. Dalam kaitan antara manusia dan makanan, urusan rasa adalah urusan yang paling intim.

Studi dalam jurnal Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, volume 5 Nomor 3 (2022) mengungkapkan hubungan manusia dan rasa tersebut.

"Berbagai ragam makanan dapat dinikmati berdasarkan rasa nikmat saat mengonsumsinya. Rasa nikmat tersebut dapat meliputi cita rasa, tekstur, hingga bahan dasar. Ketiga rasa nikmat tersebut diperoleh melalui proses yang melibatkan beberapa tahap, yakni melihat, mencium, dan mengecap (Coff, 2006, p. 6). Relasi antara manusia dan makanan akan menjadi sangat intim apabila berbicara tentang kenikmatan, terutama saat makanan tersebut dicicipi," tulis jurnal tersebut.

Menariknya, makanan yang betul-betul diresapi rasa nikmatnya, bukan makanan yang mengenyangkan, melainkan makanan ringan semata. Camilan ewe deet adalah salah satu dari camilan yang punya fungsi kenikmatan itu.

Jurnal LOKABASA Vol.7, No.1, April 2016 mengungkapkan ada 7 kelompok penamaan makanan, dari yang berdasarkan onomatope atau peniruan bunyi hingga yang manasuka:

1. Nama berdasarkan peniruan bunyi, seperti camilan keremes karena bunyi camilan itu ketika dikunyah.

2. Nama berdasarkan persamaan, seperti bola-bola, gemblong kancing, ketan uli, kue saroja, dan putri noong. Penamaan ini karena makanan-makanan tersebut ada persamaannya dengan benda lain. Bola-bola, ya makanan bentuknya seperti bola.

3. Nama berdasarkan bahan, yaitu nama makanan disebutkan dengan bahannya, seperti keripik singkong, kulub hui, dodol nangka, dsb.

4. Nama berdasarkan tempat asal, seperti dodol Garut, wajit Cililin, opak Linggar, dsb.

5. Nama berdasarkan sifat yang menonjol, di antaranya bisa memuat proses pembuatannya, warna, dan bentuk. Misalnya, opak bakar, bolu ungu, papais monyong, dsb.

6. Nama berdasarkan sebagian anggapan, misalnya bubur kemplang, yaitu bubur yang cara pembuatannya dipukul sampai menjadi bubuk.

7. Nama manasuka, ini bertalian dengan kondisi lokal setiap penutur nama makanan ini. Misalnya, nama ades, ampyang, bongko, rarawuan, wiwingka, dsb.

Merujuk pada paparan tersebut, penamaan ewe deet bersifat manasuka. Penamaan itu berdasarkan pada ekspresi kenikmatan ketika camilan tersebut dikunyah. Rasa manis dari gula cair dan gurih kelapa membuat pengunyahnya merasakan nikmat luar biasa.



Ada Juga Ewe Jero

Selain 'ewe deet' ada pula 'ewe jero'. Rupanya, keduanya adalah ekspresi orang Sunda ketika mendapatkan kenikmatan yang luar biasa saat mengecap camilan. Selain ewe deet ternyata juga ada ewe jero. Ewe adalah aktivitas senggama, sementara jero adalah kebalikan dari 'deet', artinya dalam.

Mbludus, situs yang dikelola Dapoer Sastra Tjisaoek memuat tulisan tentang ewe deet dan ewe jero. Jika ewe deet adalah camilan berupa paduan antara kelapa dan gula merah cair yang tentunya rasanya manis, maka ewe jero adalah makanan yang rasanya asin.

Menurut situs itu, ewe jero adalah camilan yang memadukan mentimun dan kerupuk. Cara memakannya tidak perlu proses yang jelimet. Mentimun muda yang menimbulkan kesan manis di lidah ketika dikunyah, dimakan bersamaan dengan kerupuk yang gurih.

Sensasinya sangat luar biasa, dan orang yang menikmati itu sulit untuk mengungkapkan rasa nikmat itu sehingga mencari padanan rasa dengan menggunakan ungkapan vulgar, ewe jero.

Mengapa camilan bernuansa asin dinamakan ewe jero, yang berarti kenikmatannya melebihi ewe deet? Orang Sunda tidak terlalu biasa menikmati makanan yang manis-manis. Dari sisi masakan pun, lidah orang Sunda lebih berterima kepada makanan yang tidak menonjol rasa manisnya. Sehingga, camilan asin menghadirkan rasa nikmat lebih.

'Ewe Randa Dihiasan'

Kata 'ewe' menarik untuk disimak, sebab maknanya bisa ganda. Pertama, merujuk kepada hubungan senggama. Kedua, merujuk kepada perempuan. Untuk makna pertama, tidak ada yang perlu diperjelas.

Makna kedua bisa terlihat dalam contoh. Jika ada orang berkata: Ewe-laki. Apa artinya? Ungkapan itu merujuk pada sepasang suami istri. "Kamari mitoha datang ewe laki", artinya kemarin ibu dan bapak mertua datang.

Perempuan dalam bahasa Sunda disebut juga 'Awewe' yang pada kata itu memuat penggalan kata 'ewe'. Pada dialek Sunda Banten, ewe lebih besar kecenderungannya bermakna perempuan.

Ewe juga muncul dalam ungkapan (babasan) untuk menyebutkan sesuatu barang yang bekas tetapi dibagus-baguskan, boleh jadi dicat ulang, dipercantik, supaya nilai jualnya menjadi lebih mahal. Kelakuan seperti itu disebut 'Ewe Randa Dihiasan' (seperti perempuan janda dirias).

Halaman 2 dari 2
(orb/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads