Menikmati Manis Burayot dan Ali Agrem di Saparua Bandung

Menikmati Manis Burayot dan Ali Agrem di Saparua Bandung

Wisma Putra - detikJabar
Sabtu, 15 Feb 2025 16:30 WIB
Pedagang burayot dan ali agrem di Saparua Bandung.
Pedagang burayot dan ali agrem di Saparua Bandung. (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Adonan tepung beras bercampur gula aren tersimpan rapi di sebuah wadah plastik berwarna oranye. Terlihat, seorang wanita dengan cekatan mencuil adonan itu, membentuknya menjadi bola-bola kecil, lalu meletakkannya di atas talenan kayu yang telah dibungkus plastik bening.

Bola-bola kecil itu kemudian dipipihkan hingga berbentuk lingkaran. Setelah siap, adonan tersebut dimasukkan ke dalam wajan berisi minyak panas. Perlahan, adonan mengembang sempurna, lalu diangkat menggunakan sebatang bambu. Hasil akhirnya adalah kue tradisional khas Garut bernama burayot.

Tak hanya burayot, wanita itu juga membuat ali agrem, kue tradisional lainnya yang masih berbahan dasar tepung beras dan gula aren. Bedanya, saat menggoreng, bagian tengah adonan dilubangi hingga menyerupai bentuk cincin atau donat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Burayot dan ali agrem mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Kue tradisional ini lebih dikenal sebagai oleh-oleh khas Kabupaten Garut, khususnya di daerah Kadungora meski di beberapa daerah di Kota Bandung, kudapan ini masih bisa dibeli di pedagang kue di pasar tradisional atau pedagang kaki lima.

Salah satu tempat yang menjual kudapan ini yaitu di pelataran PKL Lapang Saparua. Setiap Sabtu dan Minggu, seorang penjual asal Garut bernama Mujiawati (46) menjajakan burayot dan ali agrem buatannya. Dengan harga Rp25 ribu per porsi, pembeli bisa menikmati 10 buah kue tradisional yang legit dan gurih ini.

ADVERTISEMENT

"Ini bahan bakunya tepung beras dan gula aren, dibentuknya ada yang jadi burayot, ada juga yang dijadikan ali agrem. Prosesnya sama saja digoreng," kata Mujiawati kepada detikJabar di Lapang Saparua, Sabtu (14/2/2025).

"Saya dari Kadungora, sengaja jualan di sini setiap Hari Sabtu dan Minggu. Jualannya tutut, burayot dan ali agrem," tambahnya.

Mujiawati mengaku senang karena dagangannya mendapat sambutan hangat dari warga Bandung dan tak jarang ludes dibeli. "Alhamdulillah antusiasnya banyak, karena belum ada yang sama yang jualan ini, saya baru tiga Minggu antusiasnya alhamdulillah. Antusias Sabtu tidak seperti hari Minggu sih, kalau hari Minggu rame banget. Bisa habis 2-3 kilogram adonan," ungkapnya.

Tak hanya berjualan secara langsung, Mujiawati juga melayani pembelian secara online. "Saya juga jualan online, suami jualan juga, jualan kupat tahu dan lontong kari. Kalau jualan di sini Sabtu-Minggu saja, sehari-hari mah jualan online," tuturnya.

Keahlian membuat burayot dan ali agrem bukanlah hal baru bagi Mujiawati. Ia sudah mempelajari resep turun-temurun dari nenek moyangnya. Baginya, berjualan kue tradisional bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga upaya untuk melestarikan kuliner warisan leluhur.

"Biar melestarikan makanan tradisional dan warga Bandung juga tahu kalau di Bandung ada yang jualan burayot, nggak harus beli ke Garut, jadi dekat," tuturnya.

Dari usaha jualannya, Mujiawati dan suaminya berhasil menyekolahkan keempat anak mereka hingga perguruan tinggi. "Anak ada empat cowok semua, kuliah di UPI dua, satu di Unwim dan satu SMK," pungkasnya.

(wip/iqk)


Hide Ads