Belakangan ini, masyarakat sedang dipusingkan dengan kelangkaan liquefied petroleum gas (LPG) 3 kilogram. Kebijakan pemerintah melarang pengecer berjualan elpiji, membuat banyak orang kemudian kesulitan untuk mencari barang yang begitu peting untuk keperluan memasak di rumahnya masing-masing.
Namun, fenomena yang terjadi sepertinya tak berarti di Warung Nasi Mak Eyot. Sejak pertama kali dirintis pada 2009, warung nasi yang terletak di Jalan Kawaluyaan Raya, Buahbatu, Kota Bandung itu selalu menggunakan kayu bakar sebagai bahan baku utama untuk mengolah masakan.
Karena cara mengolahnya yang masih tradisional, cita rasa khas Sunda di Warung Nasi Mak Eyot masih tetap terjaga. Ditambah, semua bumbu hidangan hingga sambalnya diracik tanpa menggunakan mesin-mesin pengolah elektronik yang membuat masakan di sana seolah mengingatkan semua orang akan hidangan di kampung halaman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Enggak, udah enggak penting elpiji di sini mah. Malah di-enggak-adain, semuanya dimasak pakai kayu bakar," kata Yani, menantu Mak Eyot saat berbincang dengan detikJabar di warungnya belum lama ini.
Karena menggunakan kayu bakar, praktis Warung Nasi Mak Eyot bisa menghabiskan bahan baku itu dengan jumlah yang besar. Dalam dua hari sekali, kayu-kayu kering yang sudah dipotong sesuai ukuran dan diangkut ke mobil pikap, akan di-supply ke Warung Nasi Mak Eyot seusai permintaan.
Memang, menggunakan kayu bakar membuat Warung Nasi Mak Eyot tidak terganggu dengan fenomena LPG yang langka di pasaran. Tapi tetap saja, cara pengolahan masakan itu bisa menimbulkan risiko yang berpotensi membahayakan, salah satunya kebakaran.
![]() |
Nah, untuk mengantisipasinya, Warung Nasi Mak Eyot selalu menerapkan aturan yang ketat. Semua kayu yang telah dibakar harus disiram air, supaya tidak menyisakan bara maupun debu-debu panas sisa pembakaran yang bisa saja merembet menjadi lebih besar.
"Sekarang mah mending tempatnya, a, pakai seng sama asbes. Dulu mah cuma pakai triplex dindingnya pas awal-awal buka warung. Makanya, kita mah pas tutup, sebelum pulang semuanya sisa pembakaran kayunya harus disiram pakai air biar aman. Enggak boleh ada yang tersisa, harus aman pokoknya," ucap Yani.
Karena menggunakan kayu bakar, masakan di Warung Nasi Mak Eyot pun tetap terjaga cita rasanya. Hidangannya menjadi otentik, dan membawa para pengunjung yang datang seperti menjelajah kembali ke tahun-tahun 90an hingga 2000-an awal.
Namun kata Yani, karena menggunakan bahan baku kayu bakar, ada saja cerita-cerita menggelitik yang dirasakan pelanggan di Warung Nasi Mak Eyot. Risiko tersebut adalah ketika musim penghujan datang dan tak bisa dihindarkan.
Jika sudah masuk musim penghujan, kayu-kayu bakar itu otomatis akan menjadi lebih basah. Akhirnya, proses kayu itu ketika dinyalakan menjadi lebih sulit dilakukan dan menimbulkan asap hitam pekat yang mengganggu pelanggan di warung nasinya.
"Sampai pedih itu asapnya, yang makan juga jadi pada nangis. Soalnya kan kayunya jadi basah, disimpan di manapun tetap aja susah dinyalainnya. Ya repotnya paling begitu ya, a," tutur Yani.
Meski demikian, Warung Nasi Mak Eyot tak pernah sepi didatangi pelanggan setiap hari. Buka mulai pukul 10.30 WIB pada Senin-Sabtu, Warung Nasi Mak Eyot akan tutup ketika memasuki pukul 17.00 WIB.
Harga di Warung Nasi Mak Eyot juga terbilang amat terjangkau. Cukup dengan mengeluarkan uang Rp 20 ribu, kita bisa mendapat hidangan seperti ikan pindang kuning goreng atau ayam goreng, tahu, tempe, jengkol hingga petai, lengkap dengan sambal dan lalapan plus nasi yang bisa kita minta sesuka hati.
Menutup perbicangan dengan detikJabar, Yani pun tak sungkan membocorkan omset Warung Nasi Mak Eyot. Meski tidak menyebutkan secara detail, tapi dalam sebulan, ia mengaku pendapatannya bisa mencapai angka puluhan juta.
"Alhamdulillah, kalau puluhan sih nyampe. Cuman tergantung ya, kalau satu Sabtu mungkin bisa lebih meledak lagi. Alhamdulillah," kata Yani menutup perbincangannya.
(ral/iqk)