Suasana perkampungan dan cuaca sejuk begitu terasa di Desa Cisaat, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Desa yang berada tepat di kaki Gunung Tangkuban Parahu ini dikenal dengan makanan khasnya papais yang manis.
Di sisi rasanya yang manis serta khasnya papais tersebut ternyata menyimpan sejarah panjang hingga mitos yang saat ini tak berani dilakukan oleh warga dari Desa Cisaat itu. detikJabar pun berkesempatan untuk menelusuri asal usul dari makanan cemilan yang dikenal manis tersebut.
Penelusuran detikJabar sendiri dimulai dengan mendatangi tokoh masyarakat yang dikenal dengan nama Aep Sutarya di Kantor Desa Cisaat, Kecamatan Ciater, Subang itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Barangkali ada yang bisa saya bantu Kang?" tanya Aep dengan sopan saat mempersilahkan duduk di kursi yang berada di Kantor Desa Cisaat kepada detikJabar.
Pembahasan menarik tentang asal usul dari Papais Cisaat Subang yang terkenal pun akan segera dimulai. Namun, sebelum memulai dengan pembahasan yang cukup panjang Aep menyiapkan sedikit hidangan kopi di meja untuk menemaninya saat hendak membahas sejarah dari Papais Cisaat Subang.
"Kopi dulu Kang santai saja, soalnya kalau membahas tentang sejarah dari Papais Cisaat ngabisin waktu yang lumayan lama," tawar Aep sambil tersenyum.
Setelah itu, Aep pun mulai bercerita tentang sejarah atau asal-usul dari Papais Cisaat Subang ini. Kepada detikJabar, Aep mengatakan bahwa zaman dahulu di wilayah Desa Cisaat ini sering digelar acara dengan nama syukuran lembur atau yang saat ini dikenal dengan nama ruwat bumi.
"Jadi awalnya dulu itu di Desa Cisaat setiap tiga bulan sekali diadakan namanya syukuran lembur atau kalau sekarang mah dikenal sama ruwat kalau nggak salah. Jadi setiap ada acara tersebut warga iuran tapi bukan uang melainkan makanan seperti padi atau buah-buahan buat acara syukuran itu," katanya.
Dari syukuran lembur itu, kata Aep, tentunya juga disuguhi dengan kue-kue ringan. Biasanya, untuk camilan itu untuk disajikan kepada kalangan bangsawan.
Setelah itu, awalnya warga dari Desa Cisaat pun yang berniat ingin membuat dodol. Namun karena keterbatasan bahan-bahan, dodol yang biasanya dibuat dengan berbahan dasar beras ketan digantikan oleh masyarakat sekitar dengan beras saja.
"Nah ketika mau bikin dodol tersebut karena memang hasil dari iuran masyarakat ternyata bukan dari bahan beras ketan tapi beras biasa. Dan hasilnya semuanya nggak jadi dodol tapi tidak lengket juga. Terus biar nggak mubazir diapakan gitu ya sudah dibungkus pakai daun bamban yang biasanya itu ada di pagar-pagar setelah dicoba itu hasilnya ternyata bagus nggak lengket," ujarnya.
Singkat cerita, Aep menuturkan disaat acara syukuran lembur tiba, makanan yang biasa ada untuk disuguhkan kepada para tamu undangan tak lain dodol pun diganti oleh makanan yang terbuat dari beras biasa yang sudah dicampur dengan gula aren tersebut.
Aep menyebut saat itu terdapat tamu undangan kehormatan, yakni Raden Wangsa Sanjaya yang berasal dari Sagalaherang menanyakan terkait makanan yang dibungkus dengan daun bamban tersebut. Warga pun sontak menjawab bahwa makanan tersebut bernama mapaes yang artinya menghias.
"Karena dodolnya nggak ada jadi ya itu papaes aja papaes namanya. Ternyata setelah dimakan itu tamu-tamu pada suka. Nah karena kuenya itu baru dilihat ketika tamu kehormatan mau pulang baru dibuatlah oleh-oleh lah. Kejadian itu terjadi sekitar abad 19 tepatnya tahun 1829," katanya.
"Setiap ada acara lainnya di wilayah lain itu suka pada pesen jadinya ke warga Desa Cisaat sama kue papaes itu. Dan ternyata sewaktu-waktu dari penguasa perkebunan teh yang berdomisili di Kota Bandung itu ada tamu orang Belanda namanya Park Lodhen berkunjung ke Sagalaherang tempatnya sari Raden Wangsa Sanjaya dijamu pakai makanan papaes tersebut. Ternyata waktu dia mencoba dan makan juga suka nanya kalau itu kue apa namanya, terus dijawab kue papaes nah berhubung dia orang Belanda yang bahasanya e bisa menjadi i jadinya nyebut papais. Nah jadi papais itu sebutan atau ejaan orang Belanda," ucap Aep.
Seiringberjalannya waktu, makanan atau kue khas dari DesaCisaat itulah menjadiPapaisCisaat dan terkenal hingga sekarang.
Mitos Warga Jika Menjual Papais Cisaat Subang
Di balik sejarahnya munculnya makanan dari Papais Cisaat itu, Aep menuturkan bahwa terdapat mitos yang sebagian masyarakat Desa Cisaat masih mempercayai akan mitos tersebut.
Aep mengatakan, sesepuh dari Desa Cisaat saat itu melarang untuk memperjual belikan dari Papais Cisaat ke pasar-pasar. Alasannya sendiri, menurutnya bahwa makanan atau kue dari papais sendiri merupakan makanan kesukaan dari bangsawan atau orang terpandang saat itu.
"Sesepuh dulu itu melarang untuk menjual makanan ini khususnya itu papais jual ke pasar, sesepuh bilang kalau bahasa sundanya mah 'ieu teh pangabeuki para menak' (ini tuh makanan kesukaan para tokoh atau petinggi-petinggi) soalnya kalau sampai dijual dinilai tidak menghargai, soalnya kan dulu mah ada tingkatan makanan rakyat biasa sama petinggi itu beda," katanya.
Jika ada masyarakat yang melanggar akan ketentuan dari sesepuh dahulu itu, Aep mengungkapkan bahwa akan terjadi sesuatu yang membahayakan bagi yang menjualnya. Maka dari itu, sebagian masyarakat yang berada di Desa Cisaat masih mempercayai akan mitos tersebut.
"Hampir semuanya sampai sekarang tidak ada yang berani menjual ya karena itu ada mitosnya kalau berani menjual suka ada apalah tapi tidak disebutkan apa yang akan terjadi kedepannya bisa dibilang pamali. Kalau yang melanggar ada saja gangguan gangguan yang diterima," katanya.
"Saya pikir semuanya warga sini bisa membuat Papais Cisaat, cuman kalau yang masih percaya akan mitos itu paling bikin kalau misalkan ada acara saja di sini kayak ruwat bumi itu," sambungnya.
Bukan hanya itu, lanjut Aep, alasan para leluhur melarang Papais Cisaat diperjualbelikan cenderung dirahasiakan cara pembuatannya, karena saat itu Papais Cisaat sangat digemari oleh para gegeden atau para penguasa yang berkuasa.
"Yang ditakuti, kalau ada yang punya niat jahat terhadap para penguasa bisa saja papais dijadikan alat untuk membunuh penguasa tersebut, dengan cara memasukan zat racun yang mematikan ke dalam papais. Itu juga kan akan berimbas langsung ke warga Cisaatnya juga dampaknya lah. Makannya warga Cisaat tidak menjual itu," katanya.
Dibangun Tugu Papais Sebagai Identitas Desa Cisaat
Untuk menandakan suatu identitas dari Desa Cisaat, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang ini, masyarakat membangun Tugu Papais yang berada tepat saat akan memasuki wilayah Desa Cisaat.
Aep mengatakan, sebelum dibangunkan Tugu Papais untuk identitasnya dari Desa Cisaat sendiri pada tahun 1984 hanya berbentuk gapura dari pintu masuk Desa Cisaat.
"Karena identitas dari Cisaat ini harus diabadikan lah awalnya itu tahun 1984 dibentuk di gapura, gapura dulu awalnya itu kan ada papaisnya," ujarnya.
Masih kata Aep, pada tahun 1989 lah baru Tugu Papais Cisaat tersebut berdiri dengan bentuk yang terbilang masih sederhana. Seiring berjalannya waktu pada tahun 2008 hingga 2009 terbentuklah Tugu Papais Cisaat yang terkenal hingga sekarang.
"Baru dibentuk tugu itu tahun 1989 terus tapi gapuranya masih ada cuman tugunya sederhana tihangnya nggak pakai tembok jadi cuman pakai besi saja dan papaisnya digantung. Nah baru-baru ini tahun 2008 sampai 2009 terbentuklah kayak yang sekarang setelah direnovasi beberapa kali," ungkapnya.
"Hadirnya Tugu Papais Cisaat itu untuk ikonik dari daerah Cisaat sampai dengan saat ini," tutup Aep.