Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW Sunah Atau Bid'ah? Ini Penjelasannya

Tya Eka Yulianti - detikJabar
Jumat, 05 Sep 2025 08:22 WIB
Ilustrasi Maulid Nabi (Foto: Getty Images/iStockphoto/Givaga)
Bandung -

Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal. Tahun ini, peringatan Maulid Nabi jatuh pada Jumat (5/9/2025). Untuk mengisi peringatan Maulid Nabis Muhammad SAW ini banyak yang menggelar perayaan.

Perayaan ini menjadi sebuah tradisi yang berawal dari bentuk ungkapan rasa syukur atas hadirnya Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi semesta alam.

Dalam masyarakat muslim, peringatan Maulid Nabi ini biasanya diisi dengan berbagai kegiatan, seperti membaca doa bersama, bershalawat, mendengarkan ceramah tentang sirah Nabi, hingga dzikir bersama. Meski sudah banyak dan sering ditemukan namun masih banyak juga yang mempertanyakan, apakah sebenarnya hukum memperingati Maulid Nabi dalam Islam? Apakah ia sunah, mubah, atau justru bid'ah?

Sunah adalah perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Jika dilakukan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa. Mubah adalah perbuatan yang dibolehkan. Tidak ada pahala atau dosa jika dikerjakan atau ditinggalkan, kecuali ada niat tertentu yang membuatnya bernilai ibadah. Sementara Bid'ah adalah perbuatan baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW maupun para sahabat.

Ilustrasi ceramah ulama tentang Hukum Memperingati Maulid Nabi Foto: Raka Dwi Wicaksana/Unsplash

Pandangan Ulama Tentang Memperingati atau Merayakan Maulid Nabi

Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW diperingati atau dirayakan setiap 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Sebagai tauladan, kita sudah semestinya meneladani Nabi Muhammad. Peringatan Maulid Nabi tidak hanya berkaitan dengan kelahiran beliau, tetapi juga untuk mengenang mukjizat, akhlak, dan perjuangan Rasulullah SAW dalam menyampaikan risalah Islam.

Sebagai uswatun hasanah (teladan terbaik), umat Islam dianjurkan untuk senantiasa meneladani Nabi dalam setiap aspek kehidupan. Peringatan Maulid pun dipandang sebagai momen refleksi agar kecintaan kepada Rasulullah semakin kuat.

Dalam sejarah Islam, Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun para sahabat. Perayaan ini baru muncul beberapa abad setelahnya, sehingga wajar jika ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai hukumnya.

Ilustrasi hukum Maulid Nabi Foto: Istimewa/ Unsplash.com

Pendapat Pertama: Maulid Nabi Adalah Bid'ah

Sebagian ulama berpendapat bahwa Maulid Nabi tidak memiliki dasar syariat karena tidak pernah diperintahkan atau dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW maupun para sahabat.

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas menegaskan bahwa keteladanan Rasulullah seharusnya diamalkan setiap hari, bukan dengan perayaan tahunan.

Dalil yang sering dijadikan sandaran adalah sabda Nabi SAW:

"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dalam agama kami, maka amalan itu tertolak." (HR Muslim).

Selain itu, mereka menilai bahwa memperingati kelahiran Nabi menyerupai tradisi kaum Nasrani yang merayakan kelahiran Isa Al-Masih (Natal). Nabi SAW sendiri telah memperingatkan:

"Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." (HR Abu Daud).

Berdasarkan hal ini, mereka menggolongkan Maulid sebagai bid'ah yang tidak dianjurkan.

s birthday in Arabic Calligraphy style. Islamic architecture cartoon scenery background. Illustration." title="Ilustrasi Maulid Nabi" class="p_img_zoomin" />of Mawlid al-Nabi al-Sharif. translation Arabic- Prophet Muhammad's birthday in Arabic Calligraphy style. Islamic architecture cartoon scenery background. Illustration. Foto: Getty Images/REIMUSS

Pendapat Kedua: Maulid Nabi Dibolehkan

Di sisi lain, sejumlah ulama memperbolehkan bahkan menganjurkan Maulid Nabi selama diisi dengan amalan yang baik.

Pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon, Prof KH Yahya Zainul Ma'arif atau akrab disapa Buya Yahya, menjelaskan bahwa peringatan Maulid Nabi bertujuan agar umat muslim semakin cinta dengan baginda Nabi. Orang yang merayakan Maulid Nabi harus dengan jelas mengangkat syiar, membesarkan, mengagungkan, dan mengenalkan umat Islam dengan Nabi Muhammad.

"Dan ini dianjurkan. Hal ini dimulai dengan kegembiraan kita dengan hadirnya rasulullah, cukup ikuti saja sesuai tujuannya. Harus senang meneladani nabi Muhammad, bersyukur karena Allah SWT mengutus nabi yang agung dari bagian kita. Pengagungan kita caranya banyak, ada membuat buku tentang Rasulullah, mengadakan perkumpulan untuk diingatkan pikiran mereka pada manusia agung, disertai acara yang disertai kegembiraan," kata Buya Yahya dalam kanal YouTube Al Bahjah TV.

"Inilah Makna Maulid Nabi, tidak lebih dari itu. Mencintai Rasul adalah kewajiban, tanamkan kecintaan pada rasul dengan bermacam cara, salah satunya mengadakan gebyar tahunan. Tapi kemudian jika ada contoh kelompok sesat merayakan maulid nabi, ya dengan begini bukan serta merta perayaan maulid nabi jadi sesat," sambungnya.

Buya Yahya menjelaskan bahwa perayaan Maulid adalah sarana untuk menumbuhkan cinta kepada Rasulullah SAW. Kegiatan seperti membaca shalawat, mendengarkan ceramah, atau menulis buku tentang Nabi termasuk bentuk pengagungan yang dianjurkan.

Beliau merujuk pada firman Allah dalam Surah Yunus ayat 58:

"Katakanlah (Nabi Muhammad), 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itulah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.'"

Menurut Buya, kelahiran Rasulullah adalah rahmat terbesar sehingga wajar jika umat Islam bergembira menyambutnya.

Muhammad Mutawalli asy-Sha'rawi dalam bukunya Anda Bertanya Islam Menjawab menyebut hukum Maulid adalah mubah (boleh), selama tujuannya untuk mengambil teladan dari kehidupan Rasulullah.

Catatannya, selama dilakukan dengan mencontoh apa yang disenangi Rasulullah dan dimaksudkan untuk mengambil suri teladan kehidupannya.

"Banyak kaum muslimin yang menyelenggarakan peringatan Maulid, tetapi sedikit sekali yang dapat mengambil manfaat darinya. Padahal di tiap-tiap peringatan umat Islam bila menghidupkan satu saja syiar agama dan melaksanakannya, pasti agama Islam akan jaya," tulisnya dalam buku itu.

Namun, para ulama juga menekankan agar perayaan Maulid tidak keluar dari tuntunan syariat. Jika tercampur dengan kemungkaran, seperti ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), maka yang harus ditinggalkan adalah kemungkarannya, bukan perayaannya.




(tya/tey)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork