Kasus korupsi yang menjerat 2 petinggi BUMN yaitu Direktur dan Direktur Keuangan PT Amarta Karya (AMKA) Catur Prabowo serta Trisna Sutisna, kembali bergulir di persidangan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK sedang membidik dugaan keterlibatan istri Catur, Amelia Riniyanti, di kasus korupsi proyek fiktif yang merugikan negara hingga Rp 46 miliar tersebut.
Dugaan ini ditelusuri KPK usai menghadirkan 4 saksi di Pengadilan Tipikor Bandung, Senin (9/10/2023). Keempat saksi tersebut adalah Permadi Indrayoga, Ivan Ginardi dan Santi Megawati dari PT Inti Griya Perdana yang merupakan pengembang perumahan di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, hingga driver keluarga Catur, Suparyanto.
Usai persidangan, JPU KPK Gina Saraswati mengatakan, dugaan keterlibatan istri Catur itu terendus dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang petinggi BUMN itu lakukan. Sebab diketahui, Catur membeli satu perumahan elit di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang disinyalir berasal dari korupsi proyek fiktif itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hari ini pemeriksaan saksi terkait objek dari TPPU Pak Catur. Karena selama menjadi direksi, ternyata Pak Catur ini telah melakukan pembelian rumah. Nah untuk pembuktian saksi, kita ingin membuktikan memang benar yang membeli itu adalah Pak Catur dari uang hasil korupsi," kata Gina saat dikonfirmasi detikJabar.
Mengenai dugaan keterlibatan istri Catur, Gina mengungkap ada dugaan Amelia Riniyanti sudah menerima uang hasil korupsi dari petinggi BUMN AMKA tersebut. Di persidangan juga terungkap bahwa Amelia disinyalir terlibat menyamarkan harta korupsi ratusan juta yang sudah Catur lakukan dengan cara membeli rumah mewah.
"Jadi dia modusnya menggunakan Teknik smurfing, memecah transaksi secara bertahap supaya tidak terlihat mencurigakan (suspicious transaction atau STR). Karena kalau transaksi tunai di atas Rp 500 juta itu bisa dikategorikan transaksi yang mencurigakan," ungkapnya.
JPU KPK pun berencana memanggil istri Catur untuk dihadirkan sebagai saksi di persidangan. Meski secara regulasi Amelia Riniyanti tidak bisa digali keterangannya dalam perkara korupsi Catur, namun Jaksa berencana memanggil Amelia pada perkara yang menjerat rekan Catur yaitu Trisna Sutisna.
"Istri kan kalau jadi saksi dia tidak bisa, kita akan dimajukan di perkaranya Pak Trisna karena untuk perkaranya Pak Catur itu tidak bisa. Tapi kalau di TPPU, itu tidak berlaku perkaranya. Bisa kita panggil. Terus kalau dalam pemeriksaan dia ada motifnya sepeti itu, nanti bisa kita kembangkan kembali," pungkasnya.
Sekedar diketahui, Catur Prabowo dan Trisna Sutisna telah didakwa menilap duit negara hingga Rp 46 miliar. Direktur serta Direktur Keuangan PT AMKA itu ditengarai memperkaya diri dengan cara meloloskan proyek fiktif di sejumlah daerah di Indonesia.
Adapun modusnya, dilakukan dengan cara menunjuk 3 perusahaan, yaitu CV Perjuangan, CV Cahaya Gemilang dan CV Guntur Gemilang yang sudah keduanya rekayasa untuk menampung uang proyek fiktif tersebut. Catur dan Trisna turut dibantu sejumlah koleganya seperti Pandhit Seno Aji dan stafnya, Deden Prayoga.
Dari hasil proyek fiktif yang telah dijalankan, CV Guntur Gemilang lalu tercatat menyetorkan uang sebesar Rp 17.460.348.357 atau Rp 17,4 miliar. CV Cahaya Gemilang Rp 13.844.907.543 atau Rp 13,8 miliar dan CV Perjuangan Rp 12.760.002.423 atau Rp 12,7 miliar.
Selain itu, Catur dan Trisna juga mengatur transfer kepada sejumlah kerabat Deden Prayoga yang seolah-olah ditunjuk menjadi vendor penyedia alat proyek konstruksi. Mulai dari Abdul Kadir Rp 146 juta, Desi Hariyanti Rp 730 juta, Fajar Bagus Setio Rp 103 juta, M Bangkit Hutama Rp 316 juta dan Triani Arista Rp 490 juta.
Dari setoran proyek fiktif itu, Catur mendapat jatah hingga Rp 30 miliar dan Trisna Rp 1,3 miliar. Sedangkan sisanya yaitu Rp 14,2 miliar, dibagi untuk Royaldi Rp 938 juta, I Wayan Rp 8,4 miliar, Firman Sri Sugiharto selaku Kepala Divisi Operasi I Rp 870 juta, Runsa Reinaldi Rp 273 juta, dan dipergunakan Pandit serta Deden hingga Rp 4,1 miliar.
Keduanya pun didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahhun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama.
Serta Pasal Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama.
Khusus untuk Catur, JPU KPK mendakwa Direktur PT AMKA itu dengan pasal pencucian uang sebesar Rp 10 miliar. Dalam salinan dakwaan tersebut, Catur disinyalir menggelapkan duit hasil korupsinya dengan cara membeli sejumlah aset hingga membawanya kabur ke luar negeri.
Di antaranya untuk membeli tanah seluas 307,4 meter persegi di Perumahan Serenia Hils, Lebak Bulus, Jakarta Selatan Rp 8 miliar, 2 unit apartemen di Grand Taman Melati Margonda dan di Sky House BSD Tower senilai Rp 710 juta dan Rp 1,1 miliar, serta sepeda merk brompton 129 juta. Hingga menempatkan harta kekayaannya di saham Indo Premiere Sekuritas sebesar Rp 394 juta.
Catur pun didakwa bersama melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan kedua.
(ral/dir)