Penyiksaan ART Dinilai Perbudakaan di Era Modern

Penyiksaan ART Dinilai Perbudakaan di Era Modern

Wisma Putra - detikJabar
Rabu, 02 Nov 2022 21:30 WIB
Poster
Ilustrasi korban penyiksaan. (Foto: Edi Wahyono/detikcom)
Bandung -

Seorang asisten rumah tangga (ART) bernama Rohimah (29) menjadi korban penyiksaan majikan. Pelaku yang merupakan pasangan suami-istri beranama Yulio Kristiawan (29) dan Loura Francilia (29) sudah ditetapkan tersangka dan harus mempertangungjawabkan perbuatannya.

Kejadian penyiksaan ART seperti itu terus berulang-ulang. Apalagi menurut Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai, Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung disahkan oleh DPR. Sehingga membuat ART bekerja tidak dalam posisi ideal.

"Sampai hari ini undang-undang tentang ART belum berhasil digolkan di parlemen, ini yang mengakibatkan posisi teman-teman ART tidak ada dalam posisi yang ideal dalam bekerja," kata Devie via sambungan telepon, Rabu (2/11/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Devie mengungkapkan, selama ini ART melakukan pekerjaannya hanya berbasis keterikatan atau perjanjian antara mereka dan orang yang mempekerjakannya tanpa ada kewajiban untuk memastikan jaminan kesehatan hingga waktu kerja yang manusiawi.

"Ini sebetulnya merupakan praktik perbudakan modern, gimana ada orang yang bekerja full 8 hari seminggu atau 25 jam sehari. Karena ART itu kalau kita panggil jam berapa pun dia harus dalam kondisi yang siap," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, jika ART tidak selalu siap saat dibutuhkan, sang majikan tak akan terima. Tapi, Devie juga menyinggung apakah kita yang mempekerjakan ART tersebut memperhatikan hak-haknya atau tidak.

"Hak atas kesehatan, hak untuk cuti, nggak nih lho orang kerja delapan hari dalam seminggu, terus-menerus bekerja. Apakah ada jaminan kesehatan atau BPJS kesehatan? Apakah itu diberikan? Itu kewajiban kita," tuturnya.

Devie menyebut, banyak orang tanpa gejala (OTG) yang melakukan perbudakan modern seperti ini. Selain itu, tak heran orang yang mempekerjakan betul-betul tidak manusiawi. Sehingga majikan tak menganggap ART sebagai manusia yang pantas dihargai dan dihormati.

Oleh karena itu, perlu regulasi untuk mengatur banyak hal tentang ART. Hal ini diharapkan mampu digulirkan mereka yang duduk di parlemen.

"Tak mengenal kalangan manapun, semua berpotensi, ini harus diperhatikan secara serius dan mendesak teman-teman di parlemen kemudian segera mengolkan undang-undang ART ini," tegasnya.

Disinggung terkait perlakuan kejam pasutri di Bandung Barat yang tega menyiksa ART-nya, menurut Devie pasutri itu tidak melihat ART ini sebagai orang yang pantas untuk diperlakukan layaknya manusia lain.

"Mereka lihat ART ini levelnya ada di bawah dia dan layak diberlakukan apapaun. Ketika ART ini perempuan akan terjadi double punishment, pofesi sebagai ART tak dihargai ditambah dia perempuan. Perempuan sebagai obyek yang dilihat tidak di hargai, jadi dia dapatkan double punishment atau dua hukuman," jelasnya.

Sementara dalam RUU ART, diharapkan nantinya ada standar khusus bagi para ART. Hal ini diharapkan bisa meminimalisir masalah yang terjadi di kemudian hari.

"Kalau sudah ada Undang-undang tentang ART, maka ART wajib memenuhi syarat-syarat keterampilan disamping orang yang mempekerjakan wajib memenuhi haknya, ini akan jadi solusi yang baik untuk kedua belah pihak," ucap Devie.

(wip/orb)


Hide Ads