Sebuah video yang memperlihatkan aksi protes seorang pria di Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati, Kota Cirebon, viral di media sosial. Dalam video tersebut, pria itu memprotes pihak rumah sakit yang diduga menelantarkan seorang pasien karena tidak mampu membayar biaya perawatan.
Pria yang memprotes RSD Gunung Jati diketahui bernama Ibnu Saechu. Dalam video yang beredar, ia terlihat marah-marah kepada petugas rumah sakit karena ada pasien yang diduga ditelantarkan.
Pria itu mempertanyakan sikap pihak rumah sakit yang membiarkan jarum infus tetap terpasang meski cairannya sudah habis. Ia juga memprotes pihak rumah sakit yang diduga tidak memberi makan pasien yang dimaksud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya mau tau alasannya infus tiga hari nggak dicabut apa alasannya? Ngga ada air nggak ada apa. Asupan dari infus nggak ada, dari makan nggak ada," kata dia seperti dilihat dalam video, Selasa (15/7/2025).
Saat dikonfirmasi, Ibnu Saechu, pria yang memprotes pihak RSD Gunung Jati membenarkan adanya kejadian tersebut. Ia mengatakan bahwa pasien yang diduga ditelantarkan bernama Ranu Jaya.
"Pasiennya namanya Ranu Jaya, usianya sekitar 17 tahun atau 18 tahun," kata Ibnu Saechu.
Ia kemudian menjelaskan kronologi kejadian tersebut. Menurutnya, pemuda bernama Ranu itu awalnya dipatuk ular saat berada di area persawahan Desa Jagapura, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon.
"Ceritanya anak yang dirawat ini awalnya kena patuk ular di sawah. Si anak ini langsung lemes, kemudian langsung muntah-muntah," kata dia.
Ia kemudian sempat dibawa oleh kerabatnya ke Puskesmas setempat, namun karena keterbatasan fasilitas, ia lalu dibawa ke RSD Gunung Jati, Kota Cirebon. Pemuda itu kemudian mendapat perawatan di rumah sakit tersebut.
"Sempat tidak sadarkan diri. Setelah dua hari, baru kemudian pulih. Diperbolehkan pulang itu hari Kamis tanggal 7 (Juli). Cuma karena ada biaya yang harus dibayar yaitu sekitar Rp14 juta, maka keluarga si anak ini mencari-cari uang," kata dia.
"Sudah berusaha mencari, tapi hanya terkumpul Rp1 juta dan pihak rumah sakit menolak, padahal pihak keluarga sudah membawa SKTM. Alasan pihak rumah sakit karena minimal harus masuk 80 persen atau sekitar Rp12 juta," kata dia.
"Karena keluarganya tidak mampu, akhirnya pasien tertahan tiga hari. Sementara pihak rumah sakit menyetop suplai makanan, infus. Jarum infus sendiri masih tertancap dengan kondisi botol infus sudah kosong," sambung dia.
Klarifikasi RSD Gunung Jati
Menanggapi hal tersebut, Direktur RSD Gunung Jati, Katibi buka suara. Katibi mengatakan, pasien tersebut pertama kali masuk ke IGD rumah sakit pada Kamis (3/7). Pasien tersebut menjalani perawatan akibat terpatuk ular. "Di IGD, walaupun yang bersangkutan sudah teridentifikasi bukan pasien peserta BPJS, tapi kami memberikan pelayanan," kata dia
Setelah dianggap stabil usai mendapat penanganan di IGD, pasien kemudian dipindahkan ke ruangan lain untuk menjalani perawatan. "Dipindahnya ke ruang High Care Unit (HCU), ruang semi intensif," kata dia.
Di ruangan tersebut, pasien menjalani perawatan dan diberi serum antibisa ular yang kedua. "Sekali pemberian itu dua vial. Sehingga total dengan yang pertama jadi 4 vial. Di IGD 2 vial dan di HCU 2 vial. Harganya lebih dari Rp2 juta per vialnya," kata Katibi.
Pada hari Minggu (6/7) sore, kondisi pasien dianggap mulai stabil. Pasien lalu dipindahkan lagi dari ruang HCU ke ruang perawatan lain.
"Setelah dianggap stabil menurut HCU, lalu pindah ke ruang rawat biasa. Kemudian hari Seninnya, dokter penanggungjawab pasien visit. Dari hasil visit itu, kepada yang bersangkutan diperbolehkan pulang besoknya, hari Selasa," kata dia.
Usai perawatan, pihak rumah sakit lalu berkomunikasi dengan keluarga pasien terkait dengan biaya yang nominalnya mencapai sekitar Rp14 juta.
"Mulai dari hari Senin itu juga petugas kami sudah berkomunikasi. Tapi kebetulan yang menunggu pasien tersebut adalah orang tua laki-lakinya. Kepada orang tuanya itu disampaikan tentang pembiayaan yang mungkin relatif besar," kata Katibi.
"Selasa juga diinformasikan dan disampaikan 'Bapak kalau di ruang rawat inap itu nambah hari nambah biaya'. Sampai di hari Rabu tanggal 9, itu diberikan informasi yang sama, dan dari pihak keluarga mengajukan permohonan untuk berhenti pelayanan sebagai pasien rawat inap, dengan belum ada kejelasan soal pembiayaan," sambung dia.
Selama masih berstatus sebagai pasien rawat inap, Katibi mengatakan bahwa pasien tersebut masih mendapatkan pelayanan. Namun, setelah pihak keluarga mengajukan pemberhentian status sebagai pasien rawat inap, pihak rumah sakit pun memberhentikan pelayanan.
"Keluarga mengajukan permohonan berhenti sebagai pasien ruang rawat inap dan rumah sakit tidak keberatan. Maka di hari Rabu atas dasar kedua belah pihak, dinyatakan bahwa pasien tersebut sudah berhenti sebagai pasien ruang rawat inap," kata dia.
"Dari Senin sampai Rabu, pasien mendapatkan pelayanan perawatan, termasuk makan minumnya terpenuhi. Setelah hari Rabu, karena pasien berhenti sebagai pasien rawat inap, yang bersangkutan tidak didaftarkan sebagai pasien yang mendapat pelayanan makan dan minuman sampai hari kamis menjelang yang bersangkutan pulang," kata dia.
Katibi mengatakan, pasien tersebut telah pulang dari rumah sakit setelah membayar sebagian dari total biaya yang ditentukan. "Hari kamis terjadi penyelesaian administrasi, bahwa yang bersangkutan membayar sebagian dari jumlah total yang sudah diinformasikan," kata dia.
Katibi membantah pihak rumah sakit melakukan penelantaran terhadap pasien tersebut. Ia mengaku bahwa pihaknya telah memberikan pelayanan selama pasien tersebut menjalani perawatan sebagai pasien rawat inap.
"Dan Rumah Sakit Gunung Jati tidak menggunakan metode penahanan, tetapi menggunakan komunikasi. Kemudian tidak ada penelantaran dan pembiaran terhadap kebutuhan pasien yang dimaksud," kata dia.
"Jadi tidak mendapatkan makanan itu sejak Rabu sore atau setelah disepakati atau dinyatakan tidak sebagai pasien rawat inap. Jadi dari Senin sampai Rabu itu masih dapat. Jadi kalau dikatakan tidak makan tiga hari itu sepertinya tidak tepat," kata Katibi menambahkan.
(sud/sud)