Di bawah terik matahari siang, Edi Subandi, seorang pria berusia 60 tahun, setia menanti penumpang dengan becaknya. Setiap hari, ia mangkal di depan Kantor PLN UP3 Cirebon Jalan Tuparev, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon.
Sebelum menjadi tukang becak, Subandi bekerja sebagai buruh di pabrik rotan. Namun, karena pabriknya gulung tikar, Subandi berhenti menjadi buruh dan memutuskan untuk menjadi tukang becak sejak tahun 2011.
"Sudah 14 tahun jadi tukang becak di sini, dulunya kerja di rotan, tapi pabriknya bangkrut terus jadi tukang becak, kerja mah apa saja yang penting halal, dulu di sini ada 10 tukang becak, sekarang sisa saya saja," tutur Subandi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Subandi, kala itu, tukang becak masih menjadi profesi yang menjanjikan. Dalam sehari Subandi bisa mendapatkan uang hingga ratusan ribu rupiah, bahkan dari hasil menarik becak, Subandi bisa membangun rumahnya sendiri.
"Dulu pelanggan saya banyak, nyari duit Rp 50.000 itu gampang, sehari bisa dapat Rp 150.000 mah, minimal 10 orang penumpang sehari tuh ada, alhamdulillah sampai rumah bisa kebangun, asal tekun, kerjanya dari pagi sampai malem, " tutur Subandi.
Berbeda dengan dulu, sekarang, pendapatan Subandi dari menarik becak tidak menentu. Bahkan tak jarang Subandi tidak mendapatkan penumpang sama sekali. Menurut Subandi, salah satu penyebabnya adalah karena semakin banyaknya orang yang memiliki kendaraan pribadi ditambah dengan hadirnya moda transportasi online.
"Kalau sekarang langganan nya sudah pada nggak ada, ada juga jarang, paling dapat Rp 50.000, kadang malah nggak dapat sama sekali, sore langsung pulang, untung becaknya punya sendiri bukan nyewa, ditambah sayanya juga nggak ngerokok, kalau ngerokok mah itu sudah habis," tutur Subandi.
Perjuangan Kuliahkan Anak hingga Sarjana
Subandi sendiri memiliki 3 orang anak, salah satu anaknya sukses menyandang gelar sarjana. Menurut Subandi, meski dirinya hanya seorang tukang becak, namun, pendidikan tetap jadi yang terpenting bagi anak-anaknya.
"Anaknya 3, anak yang ke 2 nya alhamdulillah sampai selesai kuliah, untuk yang bungsunya sudah tawarin mau kuliah nggak, katanya nggak mau. Pendidikan penting, zaman sekarang kalau nggak sekolah mau kerja apa, yang SMA saja masih banyak pada nganggur," tutur Subandi.
Bagi dirinya yang seorang tukang becak, tentu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi bukanlah hal yang mudah. Kala itu, lanjut Subandi, untuk membayar biaya kuliah anaknya, ia rela berutang dan menggadaikan sertifikat rumahnya.
"Untuk biaya kuliah yah sampai gali lubang tutup lubang ibaratnya, bahkan demi bisa tetap kuliah sampai gadaikan sertifikat rumah, kalau anaknya siap kuliah, apapun saya lakukan yang penting caranya halal, pasti Allah ngasih jalan keluar, tapi sekarang alhamdulillah anaknya sudah lulus dan kerja," tutur Subandi.
Meskipun penghasilan dari menarik becak sudah tidak menentu. Namun, Subandi tetap akan berprofesi sebagai tukang becak, ia hanya berharap semoga dirinya diberikan kesehatan agar bisa terus bekerja.
"Kalau maunya sih kerja lagi di PT, cuman kan umurnya sudah tua, sekarang mah dicukupin saja, yang penting sehat, anaknya sukses, sesibuk apapun tetap salat jangan ditinggalkan, " pungkas Subandi.
(dir/dir)