Jemparingan merupakan salah satu bentuk olahraga panahan tradisional. Olahraga ini bukan hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.
Sekilas, jemparingan ini mungkin terlihat sama dengan olahraga panahan modern pada umumnya. Namun, jika ditelisik lebih jauh, terdapat beberapa perbedaan mencolok. Baik dalam hal teknis bermainnya maupun peralatan yang digunakan.
Di Kota Cirebon, olahraga jemparingan boleh dibilang cukup diminati oleh masyarakat, terutama jemparingan gaya mataraman. Di daerah berjuluk Kota Udang ini, terdapat sebuah komunitas yang menekuni olahraga jemparingan gaya mataraman, yakni Paseduluran Jemparingan Cirebon (PJC).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didin Kamsudin, salah seorang pengurus PJC menjelaskan mengenai perbedaan antara jemparingan gaya mataraman dengan olahraga panahan modern.
Menurut Didin, perbedaan antarkeduanya pertama dapat dilihat dari teknis bermainnya. Untuk jemparingan gaya mataraman, para pemainnya dalam posisi duduk bersila saat membidik target sasaran. Sedangkan olahraga panahan modern dalam posisi berdiri ketika akan melesatkan anak panah dan menarget sasaran.
"Dari cara memanahnya sudah berbeda. Kalau jemparingan posisinya duduk bersila, kalau panahan modern berdiri," kata Didin di Kota Cirebon, Minggu (16/2/2025).
"Kemudian sasaran targetnya juga berbeda. Kalau panah modern menggunakan target face, sedangkan jemparingan menggunakan bandulan," kata Didin menambahkan.
Selanjutnya, lanjut Didin, perbedaan lainnya dapat dilihat dari peralatan yang digunakan. Menurutnya, untuk panahan modern, peralatannya dilengkapi dengan berbagai aksesoris pendukung.
Sedangkan jemparingan gaya mataraman hanya menggunakan peralatan tradisional yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan sederhana. Baik busur maupun anak panahnya.
![]() |
"Kalau yang panahan modern, dari busur panah bahannya sudah berbeda, mereka pabrikan. Terus ada dudukan anak panahnya dan lain-lain. Kalau di kita kan polos, berbahan dasar bambu," ucap Didin.
Menurut Didin, penting bagi para pemain jemparingan untuk betul-betul mengenali peralatan yang mereka gunakan. Terutama anak panah yang dibuat dengan bahan dasar bambu.
"Kita harus memiliki keterampilan dalam mengendalikan anak panah. Karena berbahan dasar bambu kan tidak semua sama," jelas Didin.
"Kalaupun ditimbang beratnya sama, itu larinya bisa berbeda-beda. Tergantung serat bambunya, tingkat kekeringannya dan tingkat kelurusannya. Itu berpengaruh sekali," sambung dia.
Selain itu, yang menjadi ciri khas dan keunikan dari jemparingan gaya mataraman ini adalah dari sisi busananya. Sebab, para pemain olahraga tradisional ini diharuskan menggunakan pakaian tradisional yang khas dari daerah masing-masing.
"Untuk busananya, masing-masing daerah punya ciri khas busananya. Untuk event gladhen, syaratnya utamanya harus berbusana daerah. Ngga mesti batik sebenarnya, karena setiap daerah kan punya pakaian khasnya masing-masing," ucap Didin.
Didin menambahkan, jemparingan gaya mataraman ini berasal dari lingkungan keraton, dalam hal ini yaitu Keraton Yogyakarta. Awalnya, kata dia, jemparingan ini biasa dilakukan oleh orang-orang keraton. Namun, seiring berjalannya jemparingan kemudian turut digemari oleh masyarakat luas.
"Untuk asal usulnya, jemparingan gaya Mataraman ini berasal dari Keraton Yogyakarta. Pertama memang dari penggede-penggede keraton, tapi lama-lama banyak masyarakat yang ingin terlibat," kata Didin.
(dir/dir)