Seorang pria paruh baya tampak sibuk mengaduk wajan besar berisi nasi goreng yang mengepul harum di Jalan Pramuka, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Dialah Ali, seorang pedagang nasi goreng yang telah menghabiskan lebih dari 30 tahun hidupnya di dunia kuliner kaki lima.
Ali tidak langsung menekuni usaha ini sejak muda. Perjalanan hidupnya penuh liku, bermula dari pekerjaannya sebagai peternak ayam selepas lulus Sekolah Dasar. Namun, wabah penyakit yang menyerang ternaknya membuat Ali kehilangan sumber penghasilan. Tak ingin berlarut dalam kesulitan, ia memutuskan untuk merantau dari kampung halamannya di Kuningan, Jawa Barat, menuju Jakarta demi mencari peruntungan baru.
"Habis dapat 9 bulan ngurus ayam, ayamnya pada mati kena virus, akhirnya ke Jakarta jualan minyak untuk dijual lagi, sama kerja di tempat rongsok juga," tutur kepada detikJabar belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa tahun di ibu kota, Ali kembali ke tanah kelahirannya dan mencoba peruntungan sebagai penjual nasi goreng. Pengalaman memasak ia dapatkan selama merantau, dan pada tahun 1990-an, ia mulai berjualan dengan cara berkeliling. Saat itu, satu porsi nasi goreng ia jual seharga Rp500, dan dagangannya selalu laris manis.
Menurut Ali, dulu, nasi gorengnya selalu laris pembeli, dalam sehari ia bisa menghabiskan belasan kilo beras untuk dijadikan nasi goreng, dengan omzet mencapai ratusan ribu sampai jutaan rupiah per hari.
"lebih ramai dulu, bisa sampai 10 kilo nasi, kalau lagi ramai bahkan bisa sampai 15 kilo nasi habis. Sehari bisa dapat Rp 800 ribu bahkan setelah Idul Fitri, itu bisa dapat Rp 1 juta lebih," tutur Ali.
Namun, seiring waktu, kondisinya berubah. Kini, dalam sehari, Ali hanya mampu menghabiskan sekitar 6 kilogram beras. Menurutnya, persaingan yang semakin ketat dan daya beli masyarakat yang menurun membuat pendapatannya tidak lagi seperti dulu. Saat ini, ia menjual satu porsi nasi goreng dengan harga Rp15.000, namun penghasilannya rata-rata hanya sekitar Rp500 ribu per hari.
"Sekarang sudah menurun, dari sini ke sana sudah ada 5 orang yang jualan nasi goreng, paling banyak sehari dapatnya Rp 500 ribu. Dari tahun ke tahun naiknya saya sedikit, paling seribu rupiah," tutur Ali.
Demi mencukupi kebutuhan keluarga, Ali tak hanya mengandalkan usaha nasi goreng. Pada siang hari, ia bekerja sebagai kuli bangunan. Meski pekerjaan itu berat, ia tetap menjalaninya dengan penuh keikhlasan.
"Kalau siang itu saya jadi tukang bangunan, alhamdulillah kalau ada yang nyuruh langsung berangkat, sekarang lagi ngebangun nih di Kuningan," tutur Ali.
Di balik perjuangannya, ada satu hal yang selalu ia prioritaskan yaitu pendidikan anak-anaknya. Meski hanya lulusan SD, Ali ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Salah satu anaknya sudah bekerja setelah lulus SMK, sementara anak bungsunya masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
"Anaknya 2 yang satunya sudah menikah, setelah lulus SMK langsung minta kerja. Tapi yang kecil sekarang masih kuliah. Terus terang kalau saya sendiri mah cuma lulus SD," tutur Ali.
Keinginan untuk menyekolahkan anaknya sampai lulus kuliah, serta untuk memenuhi kebutuhan keluarga lah yang membuat Ali tetap semangat untuk terus bekerja siang dan malam. "Pernah jadi tukang minyak, tukang rongsok, kuli sambil jualan nasi goreng. Alasan semangat bekerja yang karena banyak kebutuhan, apalagi anak kuliahnya belum selesai. Untuk makan sehari-hari mah alhamdulillah cukup, kan setiap hari masak nasi," pungkas Ali.
(iqk/iqk)