Di Balik Mesin Jahit yang Menyulam Harapan dan Kebaikan

Serba-serbi Warga

Di Balik Mesin Jahit yang Menyulam Harapan dan Kebaikan

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Sabtu, 04 Jan 2025 14:00 WIB
Ikin, tukang permak pakaian di Cirebon.
Ikin, tukang permak pakaian di Cirebon. (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar)
Cirebon -

Pasar Perumnas, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, menjadi tempat yang tak hanya dikenal dengan keramaian pasar, tetapi juga sebagai lokasi bagi para tukang permak pakaian. Salah satu dari mereka adalah Ikin, seorang tukang permak berusia 43 tahun yang telah menggeluti profesi ini sejak tahun 1990-an. Dari belakang lapaknya, Ikin mengungkapkan kisah perjalanan panjangnya dalam dunia permak pakaian, yang dimulai sejak masa muda hingga kini.

"Sudah lama, dari tahun 1990-an sudah jadi tukang permak, tapi kalau mangkal di sini mah sejak dari tahun 2000. Pas itu jahit masih pakai kaki, sekarang mah sudah pakai dinamo, kalau pakai kaki cape, sama susah buat mengejar omzet juga," tutur Ikin, Jumat (3/1/2024).

Ikin menuturkan, profesi tukang permak ini merupakan warisan dari ayahnya, Ibrahim, yang sudah menjadi penjahit sejak tahun 1950-an. Ibrahim dulu menjahit menggunakan tangan sebelum beralih ke mesin jahit manual.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Turun temurun, saya juga belajar sama bapak saya, pas itu bapak masih jahit pakai tangan, bukan pakai mesin. Dulu bapak saya mangkalnya di Pasar Kanoman," tutur Ikin.

Pada masa awal, terutama di era Presiden Soeharto, usaha permak pakaian sangat ramai. Dalam sehari, Ikin bisa menerima hingga 20 orderan jahitan. "Sehari bisa masuk 20 orderan jahit, apalagi kalau mau bulan puasa. Sehari itu bisa dapat Rp 25.000, segitu masih gede, soalnya harga buat jahit aja masih Rp 1.500," tutur Ikin.

ADVERTISEMENT

Namun, situasi mulai berubah di tengah perkembangan zaman, dan penurunan terbesar terjadi saat pandemi COVID-19. "Mulai sepi tuh turunnya bisa sampai 40 persen, sehari paling banyak dapat Rp 50.000-Rp100.000, sekarang mah yang penting bisa makan saja lah," tutur Ikin.

Selama menjadi tukang permak pakaian, ada banyak suka duka yang Ikin alami, salah satunya ketika orang hanya sekedar menaruh pakaiannya saja untuk dijahit tetapi, setelah selesai dijahit tidak diambil lagi. Hal ini, lanjut Ikin, membuat dirinya merugi, karena pekerjaan yang sudah ia lakukan tidak dibayar.

Meski merugi, Ikin sudah terbiasa, baginya, hal tersebut merupakan bagian dari risiko pekerjaan. Jika pakaian yang tidak ambil sudah banyak, Ikin tidak akan menjual atau membuang pakaian tersebut, tetapi akan membagikannya kepada orang yang membutuhkan di jalan.

"Banyak yang sudah dijahit tapi nggak diambil, cuman yah itu sudah risiko, sampai satu karung itu ada yang nggak diambil, kan sayang. Kalau nggak diambil-ambil gitu, saya bagikan ke tukang becak, tukang bangunan, yah siapa saja yang mau. Nggak dijual, tapi diamalkan, ibaratnya kalau diamalkan bisa sampai akhirat," tutur Ikin.

Lapak Ikin yang terletak di Jalan Gunung Guntur 1, belakang Pasar Perumnas, beroperasi dari pukul 09.00 hingga 15.30 WIB. Meskipun penghasilannya menurun, Ikin tetap bersyukur karena masih cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

"Yah kalau buat makan, sehari-hari mah masih cukup alhamdulillah, anaknya empat, yang paling gede sudah menikah, kalau yang paling kecilnya masih SMP," pungkas Ikin.

(iqk/iqk)


Hide Ads