Catatan SETARA Institute soal Penolakan Pendirian Gereja di Cirebon

Catatan SETARA Institute soal Penolakan Pendirian Gereja di Cirebon

Ony Syahroni - detikJabar
Rabu, 06 Nov 2024 15:30 WIB
Spanduk penolakan gereja yang sempat terpasang di sekitar kantor Kecamatan Lemahwungkuk
Spanduk penolakan gereja yang sempat terpasang di sekitar kantor Kecamatan Lemahwungkuk. Foto: Istimewa
Cirebon -

Pendirian Gereja di Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon mendapat penolakan dari sejumlah warga setempat. SETARA Institute memberikan catatan terkait penolakan pendirian rumah ibadah, termasuk yang sedang terjadi di Kota Cirebon.

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan mengatakan setiap penolakan terhadap pendirian rumah ibadah merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional bagi setiap warga negara. Begitu pun yang terjadi di Kota Cirebon.

"Setiap penolakan itu, termasuk penolakan di Cirebon, merupakan pelanggaran atas hak konstitusional setiap warga negara. Konstitusi kita, melalui Pasal 28D ayat (1) dan 28 ayat (2) memberikan jaminan kepada perorangan untuk memeluk agama dan beribadah," kata Halili Hasan kepada detikJabar, Rabu (6/11/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Hasan, selama ini penolakan terhadap pendirian tempat ibadah selalu didasarkan pada ketentuan Peraturan Bersama Menteri (PBM) No 9 dan 8 tahun 2006. Terutama ketentuan mengenai syarat pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang dan harus mendapatkan dukungan dari minimal 60 orang warga setempat.

"Alasan penolakan terhadap pendirian tempat ibadah selama ini selalu didasarkan pada ketentuan PBM No 9 dan 8 tahun 2006 yang restriktif terhadap kelompok minoritas, khususnya ketentuan mengenai syarat 90/60," kata dia.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut, Halili menyebut faktor paling pokok dari terjadinya berbagai penolakan atas pendirian rumah ibadah minoritas tersebut adalah intoleransi dan mayoritarianisme.

"Meskipun syarat-syarat administratif terpenuhi, kerapkali penolakan tetap dilakukan dengan alasan yang tidak sesuai dengan kebhinekaan Indonesia, misal mayoritas setempat yang terganggu dan lain-lain," tukasnya.

Pelanggaran KBB Tahun 2023 di Indonesia

Pada tahun 2023, SETARA Institute mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Angka peristiwa ini naik signifikan dibandingkan dengan temuan pemantauan pada tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan.

Dari 329 tindakan pelanggaran tersebut, 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara, dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.

Temuan jumlah peristiwa dan tindakan pada tahun 2023 menunjukkan angka yang relatif konstan dan kembali menuju peningkatan angka peristiwa seperti pada tahun 2019, yang membukukan angka 200 peristiwa dengan 327 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Berdasarkan catatan SETARA Institute, tren pelanggaran pada 2023 menunjukkan kasus gangguan tempat ibadah mengalami kenaikan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang tahun 2023, terdapat 65 gangguan tempat ibadah.

Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan gangguan yang terjadi dalam lima tahun terakhir, yaitu 50 tempat ibadah (2023) 44 tempat ibadah (2021), 24 tempat ibadah (2020), 31 tempat ibadah (2019), 20 tempat ibadah (2018) dan 16 tempat ibadah (2017).

Dari 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan pada tahun 2023, sebanyak 40 gangguan menimpa gereja, 17 menimpa masjid, 5 menyasar pura, dan 3 menimpa Vihara.

SETARA Institute menyebut mayoritas penolakan pendirian tempat ibadah didasarkan pada belum terpenuhinya syarat pendirian tempat ibadah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006, yang mensyaratkan 90 pengguna tempat ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat.

(sud/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads