Di bagian dalam kompleks Ksiti Hinggil, keraton Kanoman Cirebon, terdapat lapak penjual berbagai macam kebutuhan adat istiadat, seperti kembang tujuh rupa, kemenyan, dupa, minyak, ukupuri, padi gepruk, padi gedeng, dan kalung suwuk. Penjualnya bernama Uus Nurwati.
Wanita berusia 40 tahun itu langganan berjualan berbagai macam kebutuhan ritual saat tradisi muludan di Keraton Kanoman Kota Cirebon. "Memang ciri khasnya Muludan di Keraton Kanoman ya ada penjual kayak gini, itu sudah lama, kalau di tempat lain itu nggak ada, bahkan pas Corona juga saya masih jualan di sini, biasanya, orang menyebutnya jualan kembang tujuh rupa," tutur Uus, Kamis (12/9/2024).
Sudah lintas generasi keluarga Uus menjual kembang tujuh rupa di salah satu kawasan bersejarah di Kota Cirebon itu. Usu mengaku tak tahu alasan orang tuanya memilih berjualan kembang tujuh rupa sebagai mata pencaharian keluarga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Uus mengetahui apa yang dijualnya itu dibutuhkan saat Muludan. Ia mengatakan mayoritas penjual kembang tujuh rupa berasal dari Desa Battembat, Kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon.
"Kalau saya sendiri sudah tiga puluhan tahun berjualan, memang sejak kecil oleh orang tua itu sudah diajak untuk berjualan seperti ini. Dimulai dari kakek buyut saya itu sudah jualan, ada sekitar lima generasi mah. Kebanyakan yang jualan itu orang Battembat, di Blok Canggong," tutur Uus.
Uus memaparkan meski zaman sudah semakin maju, masih banyak pembeli yang mampir ke lapaknya. "Meski zaman sudah modern juga, masih banyak orang yang percaya sama barang adat terdahulu, kayak misal kalung suwuk, dipercaya bisa bantu anak kecil yang suka tantrum agar anteng," tutur Uus.
Uus sendiri tidak mengetahui secara pasti untuk apa barang-barang tersebut digunakan. Karena menurutnya, hal tersebut kembali pada keyakinan dan tujuan orang masing-masing.
"Cuman yah emang tujuanya berbeda-beda. Misal, ada yang beli padi, tujuanya untuk penangkal di rumah, atau untuk ditabur ke sawah, biar sawahnya panen banyak. Tapi yang pasti barang-barang seperti ini mah hanya perantara, mintanya tetap kepada Allah," tutur Uus.
Lapak kebutuhan adat istiadat milik Uus, buka dari jam 08.00 WIB hingga 21.00 WIB. Uus sendiri memiliki lima orang anak, dengan suami yang sudah meninggal. Di luar bulan Maulid, untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari, ia bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART).
"Sehari bisa dapat Rp 200.000, kalau untuk harganya itu berbeda-beda, mulai dari Rp 5.000. Untuk kebutuhan sehari-hari mah dibuat cukup saja. Jualan nya kalau bulan Maulid saja, jadi kalau hari biasa itu paling jadi pembantu," pungkas Uus.
(sud/sud)