Momen panen raya tengah dihadapi para petambak garam di Cirebon. Namun harapan untuk mendulang cuan sirna saat harga garam anjlok.
Bulan Agustus hingga September 2024 ini menjadi momen para petambak garam untuk memanen. Sebab, terik matahari menjadi anugerah bagi mereka.
Namun para petambak yang berada di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon justru menghadapi kondisi yang berbeda. Meski memasuki panen raya, mereka justru dihadapkan pada harga garam yang anjlok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wawan (49) misalnya. Salah seorang petambak garam di desa itu mengungkapkan jika harga garam saat ini anjlok di kisaran Rp 400 per kilogram. Bahkan, dia mendengar harganya akan terus-terusan turun.
"Harganya terus-terusan anjlok, sekarang hanya Rp 400 per kilogram," ungkapnya saat berbincang dengan detikJabar, Selasa (3/9/2024).
Terlebih lagi, harga ini belum termasuk biaya upah tenaga angkut (pocok), yang mencapai Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per karung, tergantung jarak dari lahan ke tempat penimbangan.
Senada dengan Wawan, Sulaeman (41) juga merasakan getirnya nasib sebagai petambak garam. Ia menyebutkan bahwa harga garam sepenuhnya ditentukan oleh para tengkulak.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena harga yang menentukan penimbang (tengkulak). Sudah biasa kalau panen raya, harga langsung turun," kata Sulaeman.
Sulaeman mengingat, beberapa tahun lalu harga garam sempat mencapai Rp 4.000 hingga Rp 6.000 per kilogram, tetapi hanya ketika musim hujan tiba dan stok garam sangat sedikit. Ketika musim kemarau datang dan produksi kembali normal, harga kembali terjun bebas.
Ketergantungan pada Tengkulak
Para petambak garam di Kabupaten Cirebon terjebak dalam siklus ketergantungan dengan para tengkulak. Mereka terpaksa menjual hasil panen kepada tengkulak dengan harga yang ditentukan sepihak, seringkali sangat rendah, terutama saat panen raya.
"Kita sudah punya utang dengan tengkulak, jadi tidak bisa jual ke yang lain," ujar Sulaeman.
Meski Cirebon dikenal sebagai salah satu produsen garam terbesar di Indonesia, kesejahteraan petambaknya masih terabaikan. Pemerintah belum menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk komoditas ini, sehingga harga sepenuhnya dikendalikan tengkulak. Alih-alih mendapatkan keuntungan, para petambak justru sering merugi.
Kabupaten Cirebon memiliki luas lahan garam sebesar 1.557,75 hektare, tersebar di beberapa kecamatan seperti Pangenan, Kapetakan, Gebang, Suranenggala, Losari, Astanajapura, Mundu, dan Gunungjati. Dalam kondisi cuaca kemarau yang normal, kabupaten ini mampu menghasilkan ratusan ribu ton garam per musim.
Namun, tanpa adanya kebijakan yang melindungi para petambak, mereka akan terus terpuruk. Mereka tak pernah merasakan harga garam semanis gula, dan nasib mereka terus terombang-ambing oleh cuaca dan permainan harga para tengkulak. Harapan para petambak akan perhatian dan perlindungan dari pemerintah terus menggantung, menunggu hari yang lebih baik.
(dir/dir)