Kisah Budi Kipli, Dijuluki Joki Rp 1 M Berkat Burung Murai Batu

Kisah Budi Kipli, Dijuluki Joki Rp 1 M Berkat Burung Murai Batu

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Kamis, 22 Agu 2024 12:00 WIB
Budi Kipli di depan toko burung miliknya
Budi Kipli di depan toko burung miliknya. (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar)
Cirebon -

Di tengah hiruk-pikuk jalanan Kota Cirebon, di sebuah toko kecil di Jalan Ciremai Raya, tampak seorang pria berusia 43 tahun yang akrab dipanggil Budi Kipli. Lahir di Bengkulu, Sumatra Selatan, Budi menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan burung-bukan hanya sebagai hobi, tetapi juga sebagai jalan hidup.

"Dari kecil saya memang hobi mainan burung, jadi saya tekuni hobinya sampai menghasilkan. Bahkan tau nggak, saya bisa ke Cirebon itu gara-gara burung. Awalnya ada tetangga saya di Bengkulu punya burung bagus, di jual ke orang Cirebon, kan harusnya tetangga saya yang ke Cirebon, tapi karena tidak bisa akhirnya saya yang ke Cirebon, jadi joki burung," tutur Budi belum lama ini.

Budi pun memulai perjalanannya sebagai joki burung, pekerjaan yang mengharuskan dirinya merawat burung milik orang lain. Salah satu kisah paling berkesan yang diceritakan Budi adalah saat ia merawat burung murai batu bernama Gobi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Budi, kala itu burung murai Gobi yang ia rawat, dikenal sebagai burung yang memiliki suara yang bagus, sering ikut lomba dan selalu menang. Bahkan, menurut Budi, karena kepiawaiannya dalam merawat burung, ia sampai dijuluki joki Rp 1 M, gegara burung murai Gobi yang ia rawat ditawar sampai Rp 1 miliar.

"Saya pas merawat burung itu saya tinggal sendirian, cuman sama saya dan burung itu. Pernah waktu itu ditawar Rp 1 miliar, sampai saya dijuluki dengan joki Rp 1 M. Gegara burung itu juga saya merantau dari Sumatera sampai ke Cirebon, punya anak dan istri di sini. Tapi sekarang burungnya (yang harga Rp 1 miliar) sudah nggak ada," tutur Budi.

ADVERTISEMENT

Tahun 2010, Budi memutuskan untuk berhenti menjadi joki burung dan beralih menjadi penjual burung. Di Jalan Ciremai Raya, ia membuka toko burung kecil yang menawarkan berbagai jenis burung, mulai dari burung kenari hingga perkutut.

"Banyak burung yang dijual kayak burung cerukcuk, kutilang, perkutut, kenari. Sekarang burung yang paling laris itu burung perkutut. Untuk harganya dimulai dari harga Rp 25.000 sampai ada yang jutaaan," tutur Budi.

Namun, Budi tak memungkiri bahwa kondisi penjualan burung saat ini berbeda jauh dibandingkan beberapa tahun lalu. Sebelum pandemi COVID-19 melanda, ia bisa mendapatkan puluhan juta rupiah sehari dari penjualan burung, terutama burung impor.

"Perbedaanya jauh, dulu pas 2018 sebelum COVID itu, kan kita jualan burung impor juga, pas itu bisa sampai puluhan juta pendapatnya, tapi sekarang paling banyak dua juta rupiah, standarnya paling lima ratus ribuan, kadang malah sepi, cuman ketolong sama jualan pakan saja. Penurunannya hampir 80 persen, penyebabnya COVID, setelah itu banyak pedagang burung juga," tutur Budi.

Tidak hanya penghasilan yang menurun, risiko lain yang harus dihadapi Budi sebagai penjual burung adalah kerugian akibat burung yang mati. "Saya pesan dari peternak Jawa Timur, tapi pas nyampe burung yang datang jelek, udah beberapa hari malah mati, itu sudah risiko kita, tapi ada juga yang mati di perjalanan, makanya harus punya kenalan belanja sama orang lama lah, biar enak," tutur Budi.

Budi berharap, ke depan pemerintah Kota Cirebon dapat memfasilitasi adanya pasar khusus burung, seperti di kota-kota lain. Karena, menurutnya, selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi, lewat pasar burung juga bisa menjadi pusat pecinta burung di Cirebon.

Selain burung, toko milik Budi juga menjual pakan burung, ulat, jangkrik, dan berbagai macam kebutuhan burung lainnya. Lapaknya buka setiap hari dari pukul 09.00-16.00 WIB. Bagi Budi, meski penghasilan tidak lagi sebesar dulu, berjualan burung masih cukup untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads