Bocah berinisial A berusia 13 tahun asal Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon mengalami depresi usai sang ibu menjual ponsel miliknya karena terdesak kebutuhan ekonomi. Psikolog punya pandangan soal kasus tersebut.
Psikolog Klinis Rumah Sakit Ciremai, Nabilla, M.Psi menjelaskan, definisi depresi sendiri merupakan gangguan suasana hati yang cenderung bersifat sedih secara berkepanjangan dengan gejala seperti kehilangan minat atau demotivasi dengan kondisi fisik yang tidak mendukung seperti merasa mudah lelah.
"Dapat dikatakan depresi di saat merasakan kesedihan secara berkepanjangan lebih dari 2 minggu dengan kondisi fisik yang mudah lelah,"ujar Nabilla kepada detikJabar, Rabu (15/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengungkapkan, mengacu pada kasus anak berinisial A yang mengalami depresi harus terlebih dahulu melihat track record untuk bisa menemukan beberapa faktor. Karena depresi itu sendiri muncul bukan hanya dikarenakan satu faktor melainkan beberapa faktor.
"Melihat kasus A ini, seharusnya dilakukan pendalaman dengan cara menarik mundur untuk mencari track recordnya, karena depresi tidak hanya terjadi pada satu faktor melainkan faktor-faktor lainnya juga," terangnya.
Sehingga ia menyimpulkan, perilaku depresi yang dialami oleh A ini tidak bisa dikatakan oleh satu faktor usai sang ibu menjual ponsel milik A dari uang yang ditabungnya.
"Tidak dapat dikatakan depresi yang dialami oleh A hanya karena Hp yang dijual maka perlu dicari tahu penyebab lainnya," ujarnya.
Pasalnya diketahui, bila ayah dari anak tersebut sempat tidak memberikan nafkah selama 8 bulan yang tentunya berdampak pada kondisi keluarga yang tidak sehat.
Tentunya ini akan berdampak pada psikologis ibu dari A, yang mengharuskan memenuhi kebutuhan dari anak-anaknya selama 8 bulan karena tidak dinafkahi oleh suaminya.
"Faktor 8 bulan ayah ya yang tidak menafkahi bisa jadi faktor lain yang berimbas pada psikologis ibu yang tidak stabil. Tentu ini akan berdampak pada gaya pengasuhan pada anak-anaknya," tegasnya.
Ia menegaskan, 8 bulan bukanlah waktu yang sebentar. Sehingga selama fase waktu tersebut dapat menimbulkan emosi negatif pada sang ibu yang berimbas pada anak-anaknya dan terjadi secara berulang-ulang.
"8 bulan kan bukan waktu yang sebentar, sehingga kemungkinan anak mengalami banyak tekanan dari kondisi keluarga," tuturnya.
"Hingga klimaksnya pada saat ibu menjual Hp milik A dari hasil menabung selama beberapa bulan. Terlebih lagi juga Hp itu merupakan benda yang diharapkan oleh A sampai rela menabung untuk bisa mendapatkannya," terangnya.
Secara umum, ia menjelaskan ada beberapa faktor depresi mulai dari faktor genetik, faktor peristiwa dan faktor lingkungan.
"Ketika salah satu dari keluarga memiliki kesehatan mental yang kurang baik maka akan menurun pada keturunan selanjutnya. Kalau untuk faktor peristiwa biasanya dari rasa traumatis yang tidak menyenangkan pada masa lalu. Terakhir faktor lingkungan yang biasanya dari keluarga sebagai lingkungan terdekat, ketika lingkungan keluarga tidak sehat tentu ini bisa menjadi penyebab salah satu faktor seseorang mengalami depresi," bebernya.
Diketahui bocah A yang kini berusia 13 tahun ini ada dalam fase peralihan dari anak-anak menuju masa remaja. Dari beberapa teori menjelaskan pada fase ini merupakan fase masa ketekunan rendah diri.
"Biasanya dalam fase ini anak bisa mendapatkan lingkungan sosial yang support maka akan sangat semangat dan berenergi untuk mendapatkan sesuatu yang disukai. Namun ketika berada dalam lingkungan yang tidak support maka anak akan merasakan kegagalan atau rendah diri," jelasnya.
Jika melihat dari kasus ini A, ia menerangkan bila A sempat mengalami fase ketekunan dimana rela menabung untuk bisa mendapatkan ponsel. Saat harapannya tercapai maka muncul rasa kebanggaan dan ponsel menjadi sesuatu yang berharga baginya.
"A ini sebenarnya sudah masuk dalam rasa ketekunan dimana rela menabung sampai akhirnya bisa memiliki Hp. Biasanya setelah bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan muncul rasa bangga," kata dia.
Akan tetapi, secara tiba-tiba tanpa diinginkannya ponsel tersebut harus dijual bukan atas dasar keinginan dirinya sendiri. Maka saat itu juga timbul perasaan kecewa, marah dan memberontak karena merasa lingkungan keluarga tidak support.
"Disaat itu juga muncul perasaan rendah diri yang berkepanjangan dari A muncul hingga mengakibatkan depresi," terangnya.
Ia memastikan kondisi A bisa normal kembali, hanya saja membutuhkan waktu yang cukup lama sembari mendapatkan pengawasan dari tenaga profesional dengan dukungan suasana lingkungan keluarga yang positif.
"Bisa kok bisa normal lagi, selain ada pengawasan dari tenaga profesional. Faktor keluarga juga penting karena sebagai lingkungan terdekat A, jadi harus bisa menciptakan suasana yang positif didalam keluarga," pungkasnya.
Sekadar diketahui, Ibu dari Arya yakni Siti Anita (48) mengatakan awal mula anaknya mengalami depresi setelah ponsel milik anaknya dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Pasalnya saat itu suaminya tidak memberikan nafkah selama 8 bulan saat bekerja di luar kota.
"Awalnya sih setelah hp punya Arya saya jual buat kebutuhan sehari-hari. Waktu itu kan suami nggak ngirim uang 8 bulan waktu kerja di luar kota," ungkapnya, Senin (13/5).
Usai kejadian itu, ia melanjutkan kondisi Arya lebih sering melamun dan kondisi emosinya sudah tidak terkontrol.
"Setelah itu Arya emosinya nggak ke kontrol sering ngamuk-ngamuk lemparin barang," ujarnya.
Gejala ini muncul ketika Arya duduk di kelas 6 sekolah dasar tepatnya setahun yang lalu. Sehingga ia memutuskan Arya berhenti sekolah karena sering mengamuk ketika belajar di dalam kelas.
"Gejalanya muncul pas Arya kelas 6 SD, jadi waktu itu di kelas suka gebrak meja dan buat teman-temannya takut. Jadi saya putuskan Arya berhenti sekolah sampai sekarang," tuturnya.
(dir/dir)