Pada tahun 1937 beberapa koran Koran Hindia Belanda seperti Bataviaasch nieuwsblad, De Sumatra post, De Locomotif dan Deli Courant mengabarkan tentang kebakaran besar yang pernah terjadi di Pekalangan, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon.
"Cheribon, 16 Juli. Kemarin, 200 rumah terbakar di Kampung- Pekalangan . Para tunawisma ditampung di halaman bupati dan di pendopo," tulis koran De Sumatra post edisi (16/07/1937).
Kronologinya secara jelas dipaparkan dalam koran Bataviaasch nieuwsblad edisi 16 Juli 1937. Tertulis, kebakaran mulai terjadi pada hari Kamis pukul 3 sore. Dr Tan Ping Li yang rumahnya tepat di belakang lokasi kebakaran, langsung memberitahu pemadam kebakaran. Tapi api sudah menyebar, pemadam kebakaran baru datang sekitar pukul 15:30.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi ada beberapa kendala yang dialami oleh pemadam kebakaran, seperti jarak menuju sambungan air yang jauh dan serta selang air yang bocor. Ini menyebabkan gerak pemadam kebakaran menjadi terbatas.
Masih pada jam 15:30, terjadi kekhawatiran. Ditakutkan api akan menyebar di dekat lahan jalan utama. Terdapat pula rumah Dr Pan Ping Le di Pangongan, dan bangunan pabrik genteng yang saat itu terancam kebakaran parah. Kondisi mencekam saat kebakaran juga tertulis dalam koran Deli Courant edisi (19/07/1937).
"Semua orang membantu memadamkan api, karena wajar saja jika warga kompleks berlarian panik. Ibu-ibu yang menangis tersedu-sedu mencari anaknya, anak-anak berteriak sekuat tenaga mencari orang tuanya, sementara warga laki-laki masih berusaha menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan dari kebakaran yang semakin mengancam," tulis Deli Courant edisi (19/07/1937).
![]() |
Api menyebar dengan cepat membakar makanan, rumah bambu dan barang-barang rumah tangga yang mudah terbakar. Baru, pada pukul setengah lima, pemadam kebakaran sudah mulai menguasai api. Tetapi, seluruh komplek kampung Pekalangan telah habis terbakar, sehingga api sudah tidak bisa melahap apa-apa lagi.
Kondisi setelah kebakaran sangat menyedihkan. Penduduk yang jadi korban, diberi kesempatan untuk mencari sisa-sisa harta benda yang hilang di reruntuhan bangunan. Tertulis juga mengenai jumlah rumah yang terbakar dan total korban yang terdampak akibat kebakaran.
"Lebih dari seratus rumah terbakar, menyebabkan lebih dari 800 orang kehilangan tempat tinggal. Kabarnya, beberapa anak kecil tewas dalam kebakaran tersebut," tulis koran Bataviaasch nieuwsblad edisi 16 Juli 1937 sebagaimana dikutip detikJabar.
Untuk total korban tewas dari anak-anak,masih belum bisa dipastikan, menurut koran tersebut, korban tewas anak-anak masih belum bisa dikonfirmasi. Karena ada kemungkinan anak-anak tersebut ada yang dibawa oleh kerabatnya ke tempat yang lebih aman.
Dibeberkan pula, mengenai penyebab kebakaran, yakni berasal dari dapur yang terbuat dari bambu, lalu ada hembusan angin kumbang yang kencang, menyebabkan api lebih cepat menyebar.
"Lebih dari seratus rumah terbakar, menyebabkan lebih dari 800 orang kehilangan tempat tinggal. Kabarnya, ada beberapa anak kecil yang tewas dalam kebakaran tersebut, namun laporan ini harus diterima dengan hati-hati, karena kami belum dapat memperoleh konfirmasi mengenai hal tersebut, dan besar kemungkinan anak-anak tersebut dibawa ke tempat lain oleh kerabatnya telah diangkut dan dibawa ke tempat yang aman . Kebakaran kemungkinan besar terjadi karena kecerobohan di dapur bambu, sehingga angin Koembang yang kencang menyebabkan api cepat menyebar.," tulis koran Bataviaasch nieuwsblad edisi (16/7/1937) dalam redaksi yang telah diterjemahkan dari Bahasa Belanda.
Tidak lama setelah kebakaran, wali kota, bupati, komisaris polisi beberapa anggota dewan datang ke lokasi kebakaran. Polisi kota sebisa mungkin menjaga jarak dari kerumunan agar tidak menghalangi proses pekerjaan pemadam kebakaran.
Taryi (74) sesepuh warga yang tinggal di Pekalangan sekaligus juru kunci pedati gede, juga membenarkan terjadinya kebakaran di masa Hindia Belanda. Menurut Taryi kebakaran terjadi di 2 RW yang ada di Pekalangan. "Kebakaran terjadi di 2 RW, kemungkinan gara-gara ada yang menanak nasi lalu ngebakar bambu, dulu kan gentingnya pake daun kelapa, sama masih banyak pagar yang dibuat dari bambu," kata Taryi.
Taryi menuturkan, akibat kebakaran tersebut Pedati Gede Pekalangan juga ikut terbakar, menyebabkan 4 roda lain tidak bisa dipasang. Walaupun sudah terbakar, sisa kayu yang terbakar masih disimpan Taryi di bagian belakang pedati gede. "Jadi ada 4 roda yang tidak bisa dipasang, sepasang roda depan dan sepasang roda belakang," tutur Taryi.
Salah satu pegiat sejarah dari komunitas Cirebon History Subhan menuturkan, Pedati Gede Pekalangan memang pernah terbakar. Namun baru direstorasi secara total pada tahun 1993 oleh direktur museum kereta dari Belanda bernama Herman De Vos. " Tadinya belum dibenerin. Baru 1993 Herman itu benerin roda-rodanya, tapi yang 4 roda lain sudah nggak bisa. Jadi 1930 an kebakaran tetapi Herman baru benerin 1993," tutur Subhan.
![]() |
Setelah kebakaran, Pemerintah Hindia Belanda melakukan upaya restorasi di Pekalangan. Disebutkan dalam koran Bataviaasch nieuwsblad edisi 13/01/1938. Upaya restorasi tersebut membutuhkan dana sekitar 9.000 gulden.
"Rekonstruksi Desa Pekalangan akan dilaksanakan sesuai rancangan Departemen Teknis Kotamadya Cheribon dengan berkonsultasi dengan Pemerintah Kabupaten," tulis koran Bataviaasch nieuwsblad edisi (13/01/1938).
Untuk menghibur korban kebakaran, pemerintah Hindia Belanda mengadakan pertunjukan yang diadakan oleh komunitas Phoenix yang dihadiri oleh orang pribumi, Tionghoa dan Arab. Uang hasil pertunjukan akan disumbangkan kepada korban kebakaran di Pekalangan.
"Ada animo yang besar terhadap pertunjukan ini, terutama dari pihak pribumi dan pihak timur. Banyaknya hadirin disambut oleh anggota dewan R. Enoeh. Pendapatan dari pertunjukan ini berjumlah lebih dari 300 gulden," tulis koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië edisi 21/10/1937.
Dinas Pengawasan Pembangunan dan Perumahan Kota, juga sibuk membangun kembali rumah yang hancur akibat kebakaran di Pekalangan. Ada sekitar 77 rumah baru yang akan dibangun, lengkap dengan perabotannya. Untuk membangun rumah diperkirakan membutuhkan biaya sekitar ƒ 100 per rumah.
"Perabotan rumah tersebut adalah sebagai berikut: beranda depan, galeri dalam dan dua kamar tidur, serta area memasak. Beberapa fasilitas pemandian umum dan jamban juga akan dibangun untuk rumah baru tersebut. Rumah baru ini diberikan kepada eks penghuni kampung yang terbakar ini dengan sistem sewa beli 1 gulden per bulan, yang pembayarannya bisa dikatakan sangat adil, karena di kampung kumuh tersebut masih ada biaya sewa bulanan sebesar 2 gulden hingga 3 gulden dibayar," tulis koran De Locomotif edisi (29/01/1938).
Setelah jadi, pemerintah Hindia Belanda mengadakan acara seremonial penyerahan rumah yang telah dibangun, seperti yang dikabarkan dalam koran De Locomotif edisi (20/05/1938).
"Di bawah pimpinan Dinas Teknis Pekerjaan Kota, kampung Pekalangan yang sebagian besar terbakar pada 19 Juli tahun lalu dibangun kembali. Pekerjaan tersebut telah selesai hari ini, sehingga penyerahan kepada masyarakat yang berminat dapat dilakukan kemarin sore yang dilangsungkan dengan semacam upacara. Walikota, dengan dikawal oleh anggota dewan dan direktur pekerjaan kota, pergi ke kampung tersebut untuk tujuan tersebut," tulis koran De Locomotif edisi (20/05/1938).
(yum/yum)