Cerita Pahit Hasan Basri, Dulu Juragan Kapal Kini Terlilit Utang

Cerita Pahit Hasan Basri, Dulu Juragan Kapal Kini Terlilit Utang

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Jumat, 10 Mei 2024 07:00 WIB
Hasan Basri, nelayan di Cirebon.
Hasan Basri, nelayan di Cirebon. (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar)
Cirebon -

Selama tiga generasi, keluarga Samid telah menjadi nelayan di Pesisir Utara, Panjunan, Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Hasan Basri, anak dari Samid yang kini berusia 35 tahun, menceritakan sejak kecil ia sudah diajak ayahnya pergi ke laut.

Hasan hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMK, meskipun di sekolah ia sering mengikuti lomba olahraga dan paskibra. Dia bercerita faktor ekonomi membuatnya kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah sehingga dia memutuskan untuk menjadi seorang nelayan.

Dia berkisah sebelum situasinya sulit seperti sekarang, Hasan pernah menjadi seorang juragan kapal. Namun, usaha yang ia rintis bangkrut beberapa tahun lalu. Saat itu solar sulit didapatkan. "Jadi juragan cuma 8 tahun, yang punya perahu, bangkrut yah itu gara-gara solar," katanya kepada detikJabar belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hasan mengenang, pada 2017, ia masih memiliki dua perahu. Namun, karena pendapatan menurun, dua perahu tersebut Hasan jual untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan membayar cicilan utang.

"Punya perahu dari 2017, sampai 2022 sudah dijualin semua, karena pendapatan kurang. Namanya juga usaha mikro, harus pinjam dulu ke bank buat beli alat-alat. Kalau sudah tidak memenuhi yah barangnya dijual buat gadai," katanya.

ADVERTISEMENT

Hasan membagikan kisah sulit yang dihadapinya sejak usaha kapalnya bangkrut. Pada tahun 2019, usahanya masih berjalan baik dan memiliki dua buah kapal dan beberapa ABK. "Di 2019 saja yah, itu kalau saya berangkat masih dapat hasil, kadang-kadang Rp 2 jutaan. Itu belum dipotong perbekalan, dua hari tuh dapat Rp 300 ribu. Tapi kalau sekarang kadang cuma Rp 70 ribu atau Rp 100 ribu," tutur Hasan.

Namun, seiring waktu, situasinya mulai memburuk karena berbagai faktor termasuk gegara harga solar yang melambung tinggi dan sulit didapat. Setelah itu pandemi COVID-19 menerjang dan membuat usahanya semakin sulit. "Banyak ABK yang pindah ke kapal besar, terutama karena kondisi musim tenggara yang sepi," jelas Hasan.

Keadaan semakin sulit saat usahanya bangkrut. Meski sudah menjual perahu dan alat-alatnya, Hasan masih memiliki cicilan selama 9 bulan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar cicilan, istri Hasan terpaksa bekerja sebagai TKW di luar negeri.

"Udah 3 bulan terkendala bayar sampai Istri saya keluar negeri, jadi pembantu rumah tangga, baru 3 bulanan," tutur Hasan.

Hasan bukanlah satu-satunya nelayan yang terjebak dalam hutang. Menurutnya, hampir 95 persen nelayan mengalami masalah yang sama. Setelah bangkrut, Hasan hanya bisa bekerja sebagai ABK di kapal milik orang tuanya.

"Sekarang, saya harus menunggu 3 hari untuk mendapat jatah solar sebanyak 60 liter, padahal saya butuh setidaknya 150 liter untuk berangkat. Itu yang menjadi kendala," jelasnya.

Situasi semakin rumit dengan adanya angin tenggara yang membuat banyak nelayan memilih untuk tidak melaut. Selain itu, kehadiran kapal besar juga mengurangi peluang bagi nelayan kecil seperti Hasan.

"Kalau ada kapal besar tuh nyari lapak buat kerja tuh susah. Jaringnya besar hampir kilometeran itu, jauh perbadingannya. Kalau kita paling minimal panjang paling 100 sampai 120 meter lah. Tapi kalau kapal yang besar sih kilometeran," tutur Hasan.

Hasan berharap ke depan, pemerintah bisa lebih memperhatikan nasib nelayan khususnya ketersediaan solar. Dia juga menginginkan nelayan diberi kemudahan atau program ketika ada nelayan yang ingin bekerja di luar negeri sebagai ABK kapal.

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads