Kisah Gerabah Panjunan Cirebon yang Perlahan Punah

Feature Story

Kisah Gerabah Panjunan Cirebon yang Perlahan Punah

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Sabtu, 04 Mei 2024 07:00 WIB
Kampung Panjunan penghasil gerabah di Kota Cirebon.
Kampung Panjunan penghasil gerabah di Kota Cirebon. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar
Cirebon -

Hanya berjarak sekitar satu kilometer dari Alun-alun Kejaksan Kota Cirebon terdapat salah satu wilayah yang pernah menjadi sentra pembuatan gerabah di masa lalu. Nama tempat tersebut adalah Panjunan yang berasal dari kata Anjun, yang berarti gerabah atau tembikar.

"Panjunan berasal dari kata Anjun yang berarti gerabah, juga nama lain dari Syekh Syarif Abdurrahman," tutur budayawan Cirebon Jajat Sudrajat beberapa waktu lalu.

Sementara itu, salah seorang warga bernama Ahmad menceritakan tentang asal-usul gerabah di Kampung Panjunan. Pria berusia 61 tahun itu mendapatkan cerita tentang asal-usul gerabah tersebut dari kakek dan neneknya yang sudah 8 generasi menjadi penjual sekaligus perajin gerabah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, selain Masjid Merah Panjunan yang dibangun oleh Syekh Syarif Abdurrahman atau Pangeran Panjunan. Daerah Panjunan juga tidak bisa lepas dari kerajinan pembuatan gerabah yang sudah ada sejak abad ke 15.

"Gerabah ini asal-usulnya dari 4 saudara anaknya Syekh Datuk Kahfi yang menikah dengan Syarifah Halimah Mudaim Al Baghdadi putri dari raja Irak, datang ke sini untuk mengembangkan agama Islam di pulau Jawa," tutur Ahmad, Kamis (2/5/2024).

ADVERTISEMENT

Ahmad memaparkan Syekh Datuk Kahfi memiliki 4 anak, yakni 3 laki-laki yang bernama Syekh Abdurrahman, Syekh Abdurrahim, dan Syekh Maulana Syarif Idofi. Sedangkan yang perempuan bernama Syarifah Baghdad yang menikah dengan Sunan Gunung Jati.

Seiring berjalanya waktu, Syekh Syarif Abdurrahman mengikuti jejak ayahnya berdakwah di Jawa. Tak hanya sekadar berdakwah, Syekh Abdurrahman juga memikirkan bagaimana nasib anak cucunya dalam mencari penghasilan.

"Akhirnya Syekh Syarif Abdurrahman itu mencari pedukuhan serta bagaimana caranya untuk memberikan jajan kepada anaknya cucunya, " tutur Ahmad.

Sebelum sampai ke Panjunan, menurut Ahmad, Syekh Syarif Abdurrahman datang terlebih dahulu ke daerah Plangon. Di Plangon, Syekh Abdurrahman bertemu dengan siluman monyet.

"Di Plangon Syekh Abdurrahman bertafakur dan bertemu dengan raja monyet. Hingga raja monyet tersebut tunduk pada dia (Syekh Abdurrahman), akhirnya raja monyet dibelenggu oleh adiknya Pangeran Kejaksan dan disuruh mengikuti perintah dari Syekh Abdurrahman dan Syekh Abdurrahim," tutur Ahmad.

Setelah dari Plangon, Syekh Syarif Abdurrahman singgah ke desa Pengarengan untuk mencari tempat salat. "Di Pengarengan yang berbatasan dengan Gebang, membuat masjid kecil namun tidak disetujui oleh Sunan Kalijaga, lalu disarankan untuk ke Nusakambangan. Di sana tuh punya Pangeran Panjunan itu," tutur Ahmad.

Tak lama kemudian, Syekh Syarif Abdurrahman menikah dengan anak Amuk Marugul. Menurut Ahmad, sebelum kedatangan Syekh Syarif Abdurrahman, Panjunan merupakan daerah yang dikenal angker. "Dulu desa Panjunan ini sangat seram sekali, tidak bisa disentuh oleh siapapun meski ilmunya tinggi. Namun karena tekad dan tafakur, ditambah izin dari ayahnya Syekh Datul Kahfi bahwa tanah ini cocok didirikan masjid," tutur Ahmad.

Awal Mula Gerabah dan Syarat Syahadat

Dengan dibantu oleh ayahnya, Syekh Syarif Abdurrahman mulai membabat alas yang ada di Panjunan. Setelah bisa ditinggali, Syekh Abdurrahman mulai mendapatkan petunjuk untuk membuat gerabah. Ahmad menuturkan, pasca mendapatkan petunjuk untuk membuat gerabah Syekh Abdurrahman mulai mencari bahan untuk membuat gerabah.

"Cari lagi, cara bikin gerabah, ambil tanahnya dari mana. Dan ketemulah tanah yang di Kesambi, di situ ada tanah yang sekarang dinamakan dengan tanah Sipung, di situ dulunya gunung itu," tutur Ahmad

Setelah mendapatkan tanah untuk membuat gerabah. Syekh Abdurrahman mulai mencari pasir dan air sebagai bahan tambahan dalam membuat gerabah. "Karena perlu pasir, lalu mencari ke arah selatan ke daerah Jagasatru, di situ ada pasir yang dinamakan dengan pasir segara rampak, di situ ngambil pasir dan air untuk membuat gerabah," tutur Ahmad.

"Jadi tanahnya diambil dari Sipung, air sama pasirnya diambil dari segara rampak yang ada di Jagasatru, dicampur dibuat gerabah," tambah Ahmad.

Menurut Ahmad, tanah yang ada di Sipung Kesambi memiliki kualitas tanah yang bagus, begitupun yang ada di Jagasatru yang juga memiliki pasir dan air yang melimpah. Ahmad juga menuturkan, hingga hari ini di Jagasatru masih ada sebuah kolam yang dinamakan dengan kolam Panjunan.

"Akhirnya bikin-bikin, lalu gerabahnya keinjek sama Pangeran Kejaksan. Lalu loh kang kenapa pecah? Nanti anak cucu saya tidak bisa makan, kata Pangeran Kejaksan tuh. Akhirnya dipanggil anak buahnya yang berasal dari Irak yang berjumlah 300 orang," tutur Ahmad.

Dari 300 orang yang datang, 100 orang diambil oleh Pangeran Panjunan untuk membikin gerabah sambil menyebarkan agama Islam. "Yang 200 orang disimpan, yang 100 (orang) lagi diajak membuat gerabah sambil berdakwah menyebarkan agama Islam. Lalu banyak orang yang mengikuti, namun ada syarat yang harus penuhi," tutur Ahmad.

Untuk syaratnya sendiri, yakni sebelum membuat gerabah harus membaca basmalah terlebih dahulu, jika sudah jadi membaca alhamdulillah, terus ketika dijual dapat rezeki harus bersyukur. "Jadi gerabah sama Masjid Merah Panjunan memang sezaman. Itu kejadianya sebelum para waliyullah berdatangan," ungkap Ahmad.

Ahmad juga mengatakan, hampir semua benda yang dibuat dari tanah liat itu asal usulnya dari Pangeran Panjunan. "Kalau Pangeran Panjunan itu khasnya dari tanah liat, lalu murid-muridnya bikin variasinya kaya keramik dan lain-lain," tutur Ahmad.

Ahmad memaparkan, hingga tahun 90-an pembuatan gerabah masih berlangsung di Panjunan. "Eranya tahun 1980-an masih ada perajin dan penjual gerabah, masih ramai, dari mancanegara juga pada beli di sini, hampir setiap rumah di Panjunan itu usaha gerabah,"tutur Ahmad.

Ahmad mengatakan ada sebuah nasihat dari Pangeran Panjunan yang membuat penduduk Panjunan banyak yang berprofesi sebagai pengrajin gerabah.

"Dikasih amanat sama Pangeran Panjunan, anak cucu saya sudah diberi bekal kerajinan saya, tidak akan kurang sedikit pun makan selama 7 turunan juga. Amanat tersebut Pangeran Panjunan ucapkan pada saat menikahnya Syekh Syarif Hidayatullah dengan Syarifah Baghdad," tutur Ahmad

Menurut Ahmad, setidaknya ada beberapa menjadi alasan kenapa gerabah Panjunan punah, salah satunya akibat penjualan tanah di Pengobongan yang menjadi tempat pembakaran gerabah. "Pengobongan dijual, tanah Sipung dibikin rumah, akhirnya mati kutu atau mati obor, semuanya mati, masalahnya disitu," kata Ahmad.

Menurut Budaya Cirebon, Jajat Sudrajat juga mengatakan bahwa dahulu di Panjunan ada tempat yang menjadi pusat pembakaran gerabah yang diberi nama blok Pengobongan. "Obong itu artinya bakar, dulunya blok tersebut tempat pembakaran gerabah," tutur Jajat.

Kampung Panjunan penghasil gerabah di Kota Cirebon.Kampung Panjunan penghasil gerabah di Kota Cirebon. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

Runtuhnya Kejayaan Gerabah

Balik lagi ke cerita Ahmad. Ahmad memperkirakan, usaha gerabah di Panjunan mulai sepi sekitar tahun 2000an. Ahmad sendiri merupakan generasi kedelapan dari kakek dan neneknya. "Saya usaha ini sudah 8 generasi dari kakek nenek cicit. Saya generasi kedelapan," ungkap Ahmad.

Menurut Ahmad, setelah geliat usaha gerabah di Panjunan mati, pusatnya pindah ke Desa Sitiwinangun, Kabupaten Cirebon. Ahmad sendiri sudah tidak membuat gerabah lagi, ia hanya sekedar menjual gerabah yang berasal dari Sitiwinangun.

"Sudah nggak ada. Adanya di Sitiwinangun itu keturunan Pangeran Panjunan. Di sana tanahnya masih luas dan penduduknya tidak pada jual tanah," tutur Ahmad.

Ahmad memaparkan, dahulu setidaknya ada 3 pusat pembuatan gerabah di Cirebon yaitu di Japura, Panjunan dan Sitiwinangun. "Di sini bikin sendiri, di sana bikin sendiri. Tapi sekarang Panjunan itu dikirim oleh Japura dan Sitiwinangun, padahal dulu pusatnya di sini (Panjunan)," tutur Ahmad.

Sebagai orang yang turun temurun usaha gerabah. Ahmad sendiri bingung harus bagaimana melestarikan gerabah Panjunan agar kembali bangkit. "Mau dilestarikan tempat sudah nggak ada, kita hanya berdoa yang penting kita hidup bisa menyumbang gerabah Panjunan yang bersejarah ini. Masih berdiri masih berjualan aja udah alhamdulliah," kata Ahmad.

Ahmad membayangkan, jika saja dahulu sebelum gerabah Panjunan punah, pemerintah memberikan perhatian pada gerabah Panjunan, mungkin nasibnya tidak punah seperti ini. "Kalo dulu pemerintahnya mengekspose Panjunan mungkin tidak begini. Pembelian tanah di Pengobongan, Cipung dan Segara Rampak mungkin bisa cegah, padahal itu kan tanah amanat dari Syekh Abdurohman buat anak cucunya," pungkas Ahmad.

Ada Amanat Leluhur di Usaha yang Dijalankan Ahmad Saat Ini. Simak artikel selanjutnya di detikJabar

(sud/sud)


Hide Ads