Menapak Sejarah Astana Gunung Sembung dan Kisah Dakwah Bratalegawa

Kabupaten Cirebon

Menapak Sejarah Astana Gunung Sembung dan Kisah Dakwah Bratalegawa

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Kamis, 14 Mar 2024 02:00 WIB
Astana Gunung Sembung Kabupaten Cirebon
Astana Gunung Sembung Kabupaten Cirebon (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar)
Cirebon -

Astana Gunung Sembung merupakan kompleks pemakaman di Kabupaten Cirebon yang paling sering dikunjungi oleh peziarah. Menurut pegiat sejarah dan naskah kuno dari komunitas Latar Wingking, Farihin, tempat ini dibangun sekitar abad ke-15.

"Jadi ada dua komplek makam, yang satu komplek pemakaman Sunan Gunung Jati namanya Gunung Sembung, yang satunya lagi komplek makam Syekh Datuk Kahfi namanya Gunung Jati," tutur Farihin beberapa waktu lalu.

Sebelum masuk kompleks makam, terdapat tempat yang dulunya bernama alun-alun Sipatahunan. Sebelum diisi oleh banyak pedagang, alun-alun tersebut digunakan untuk acara pertunjukan wayang kulit dalam setiap peringatan tradisi Nadran, Mapag Sri, dan Sedekah Bumi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak jauh dari situ terdapat dua bangunan pendopo, yakni Mande Mangun dan Mande Tepasan. Ada juga Mande Ringgit yang berada di sebelah timur. Memasuki area makan terdapat gapura kembar atau candi bentar dengan ornamen keramik khas Tiongkok.

Di bagian paling atas komplek makam, dahulu merupakan rumah pribadi dari Sunan Gunung Jati atau Gedung Jinem. "Makanya ketika kita masuk ke makam Sunan Gunung Jati langsung di sebelah barat akan terlihat pintu kecil. Pintu kecil menjadi gaya arsitektur pada masa itu termasuk gaya arsitektur makam Sunan Gunung Jati," tutur Farihin.

ADVERTISEMENT

Masuk ke dalam terlihat banyak abdi dalem dengan menggunakan pakaian putih dan sarung. Duduk di depan ruangan sebelum masuk pintu Pasujudan. Menurut Farihin dahulu tempat para abdi dalam berjaga tersebut merupakan pesantren atau Pesambangan, tempat santri disambangi oleh orang tuanya.

"Jadi rumah pribadi Sunan Gunung Jati, lalu taman dan pesantren. Itu sebelum jadi pemakaman," tutur Farihin.

Selain itu terdapat pintu Pasujudan yang menjadi pintu pertama kompleks makam. Biasanya pintu Pasujudan ini yang sering digunakan pengunjung untuk berziarah. Pintunya terbuat dari kayu jati dengan diapit deretan tembok yang dihiasi oleh keramik khas Tiongkok.

Menurut sumber dari Abdi Dalem makam Sunan Gunung Jati, keramik yang menempel pada dinding makam merupakan peninggalan dari Putri Ong Tien. Diceritakan, Dimyati, Putri Ong Tien datang ke Jawa dengan membawa 7 kapal berisi banyak barang salah satunya keramik yang sekarang ditempelkan di setiap dinding makam.

Farihin memprediksi, dahulu Astana Gunung Sembung merupakan daerah perairan. Karena di bagian bawah ada taman yang disebut ayunan. Jika ditelusuri lebih jauh, terdapat dua gua yaitu Gua Sekendi dan Gua Teratai. Gua-gua tersebut pernah digunakan oleh Sunan Gunung Jati sebagai tempat untuk berkhalwat. Pasca Astana Gunung Sembung sudah menjadi makam, tempat berkhalwat pindah ke Gua Sunyaragi.

Di bagian luar terdapat balai Mande Jajar yang terbuat dari kayu berusia ratusan tahun. Mande Jajar tersebut merupakan hadiah Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran. Digunakan untuk penobatan raja. Selain, Mande Jajar ada juga Mande Tepasan yang berasal dari Majapahit.

Ada beberapa tokoh yang dimakamkan di Gunung Sembung seperti Pangeran Cakrabuana, Fatahillah, Syarifah Mudaim, Nyi Mas Tepasari, Pangeran Pasarean, Putri Ong Tien, Ratu Mas Nyawa, Nyi Gedeng Sembung, Pangeran Jayakelana, Dipati Cirebon I dan masih banyak lagi.

Astana Gunung Sembung Kabupaten CirebonAstana Gunung Sembung Kabupaten Cirebon Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

Dakwah Pangeran Bratalegawa

Terdapat pula makam tua yang baru ditemukan, bernama makam Pangeran Bratalegawa. Menurut Farihin, Pangeran Bratalegawa merupakan bangsawan pertama dari Kerajaan Galuh yang melaksanakan perjalanan ibadah haji. Diperkirakan lahir sekitar tahun 1350-an.

Sebagai pemeluk agama Islam awal, Pangeran Bratalegawa berdakwah di Cirebon sebelum Sunan Gunung Jati. Namun, dalam prosesnya dakwah Islam yang disampaikan Pangeran Bratalegawa kurang berhasil.

Menurut Farihin, salah satu faktor yang menyebabkan dakwah Pangeran Bratalegawa kurang berhasil adalah karena masalah kasta. Pada masa itu, masyarakat Cirebon masih mempercayai sistem kasta dari agama Hindu. Tidak seperti sistem kasta pada umumnya, kasta pada masa Pangeran Bratalegawa menempatkan posisi orang kaya atau bangsawan dalam tingkatan paling bawah.

"Ada anggapan kalau orang kaya itu kastanya sudra, jadi semakin dia kaya itu semakin rendah. Yang paling tinggi kastanya Brahmana yakni orang yang sudah tidak punya keterikatan terhadap duniawi," tutur Farihin.

Farihin menjelaskan, selain Brahmana dan Sudra, ada juga kasta Ksatria orang yang hidupnya mengabdi kepada negara dan masyarakat yang tidak boleh memiliki kekayaan pribadi, terdapat pula kasta Waisya yang memiliki harta namun tidak sebanyak kasta Sudra.

Perbedaan kasta ini yang membuat Pangeran Bratalegawa yang berasal dari kalangan bangsawan, kesulitan untuk mendekati masyarakat Cirebon yang notabene orang biasa.

Astana Gunung Sembung terletak di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Rutenya dari Alun-alun Kejaksan lurus terus di Jalan Siliwangi sampai Jalan Makam Sunan Gunung Jati lalu belok kanan.

(iqk/iqk)


Hide Ads