Menyusuri Kampung di Atas Timbunan Sampah di Pesisir Cirebon

Menyusuri Kampung di Atas Timbunan Sampah di Pesisir Cirebon

Ony Syahroni - detikJabar
Selasa, 20 Feb 2024 17:30 WIB
Kampung Samadikun Selatan Kota Cirebon.
Kampung Samadikun Selatan Cirebon. Foto: Ony Syahroni/detikJabar
Cirebon -

Di Kota Cirebon, Jawa Barat ada sebuah kawasan permukiman penduduk yang berdiri di atas lahan dari hasil timbunan sampah. Kawasan itu berada di RW 10 Samadikun Selatan, Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksaan, Kota Cirebon.

Sebelum berubah menjadi permukiman, kawasan itu merupakan wilayah yang banyak dipenuhi empang atau tambak. Namun seiring berjalannya waktu, empang-empang tersebut lalu direklamasi hingga menjadi lahan untuk mendirikan hunian.

Dalam mereklamasi kawasan ini, warga setempat memiliki kebiasaan berbeda. Mereka tidak menggunakan tanah, melainkan memanfaatkan sampah untuk menguruk empang-empang yang ada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, bagaimana kondisi permukiman di kawasan RW 10, Samadikun Selatan, Kelurahan Kesenden yang berdiri di atas lahan dari hasil reklamasi menggunakan sampah?

detikJabar sempat menyambangi kawasan tersebut dengan ditemani oleh Ketua RT 02 RW 10, Samadikun Selatan, Febiyanto. Bersama dengan pria 42 tahun itu, kami pun menyusuri setiap sudut dari kawasan tersebut.

ADVERTISEMENT

Sepintas, tidak ada yang aneh dari perkampungan itu. Beragam kegiatan masyarakat berlangsung secara normal. Mulai dari anak-anak yang sedang bermain hingga bapak-bapak yang sedang asik menikmati secangkir kopi sembari bercengkrama di sebuah warung.

Namun ada cerita di balik aktivitas para warga tersebut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, permukiman yang dihuni oleh para warga itu berdiri di atas lahan dari hasil reklamasi dengan menggunakan sampah.

Ya, warga setempat menguruk wilayah yang sebelumnya dipenuhi empang itu dengan menggunakan timbunan sampah. Lahan tersebut kemudian dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan rumah.

Kampung Samadikun Selatan Kota Cirebon.Kampung Samadikun Selatan Kota Cirebon. Foto: Ony Syahroni/detikJabar

Menurut Febiyanto, proses pengurukan dengan cara seperti itu sudah berlangsung secara turun temurun selama bertahun-tahun. Bahkan, hingga kini cara-cara demikian masih terus dilakukan oleh warga setempat.

Pria yang akrab disapa Febi itu pun sempat menunjukkan sebuah empang yang sudah sangat dipenuhi oleh berbagai macam jenis sampah. Menurutnya, kondisi itu merupakan contoh dari proses awal yang dilakukan warga setempat saat melakukan proses pengurukan.

"Jadi ini proses pertama empang yang sudah mulai diuruk dengan sampah. Contohnya seperti ini lah proses awal sebelum mendirikan bangunan," kata Febi saat berbincang dengan detikJabar, baru-baru ini.

Meski terlihat sangat kotor dan bau, namun menurutnya itu lah gambaran dari proses awal saat warga setempat melakukan reklamasi empang agar menjadi lahan datar yang kemudian dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan rumah.

Dari amatan detikJabar di lokasi, sampah-sampah yang memenuhi empang itu terdiri dari berbagai jenis. Mulai dari sampah plastik, sampah makanan hingga berbagai jenis sampah lainnya.

Menurut Febi, sampah-sampah yang memenuhi empang-empang itu berasal dari masyarakat. Termasuk masyarakat yang berasal dari luar wilayah tersebut.

"Sampah dari luar juga datang ke sini. Jadi yang punya empang juga membiarkan (empangnya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah)," kata dia.

Febi mengatakan, sebagian besar masyarakat di kawasan RW 10, Samadikun Selatan memang selalu menggunakan cara-cara seperti itu saat melakukan proses reklamasi. Meminimalisir biaya menjadi alasan utama bagi warga setempat memilih cara seperti itu.

"Alasannya (menguruk menggunakan sampah) memang untuk meminimalisir biaya," kaya Febi.

Namun, ada berbagai dampak yang dirasakan oleh warga akibat melakukan proses pengurukan dengan cara-cara tersebut. Di antaranya mulai dari bangunan rumah yang rawan amblas, miring, hingga retak.

"Karena memang lahannya masih labil. Tapi karena butuh tempat tinggal, lahan yang belum waktunya ditempatin sudah dibangun rumah. Aturan kan didiamkan dulu sampai benar-benar padat," kata Febi.

Meski sebagian sudah banyak yang tertutup material urukan, namun di beberapa titik masih terlihat sampah-sampah yang terhampar dan berserakan. Bukan hanya di empang, hamparan sampah juga terlihat hingga ke tengah-tengah permukiman warga.

Kondisi ini pun membuat sebagian wilayah di RW 10, Samadikun Selatan, Kelurahan Kesenden terlihat sangat kotor dan kumuh.

Tidak hanya itu, akibat banyaknya sampah-sampah yang tertimbun di bawah lahan permukiman membuat kualitas air tanah di kawasan tersebut terlihat keruh dan berwarna gelap.

Febi menyebut, sebagian warga di wilayahnya ada yang membuat sumur untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Namun air yang berasal dari sumur itu tidak dimanfaatkan untuk minum ataupun memasak, melainkan hanya digunakan untuk mencuci.

Sementara untuk kebutuhan lainnya, kata Febi, warga setempat lebih banyak mengandalkan air bersih yang berasal dari PDAM.

"Untuk kebutuhan air kebanyakan warga di sini lebih mengandalkan PDAM. Karena kalau dari PDAM kan bisa untuk masak, minum dan segala macam," kata Febi.

Febi menambahkan, di RW 10, Samadikun Selatan, Kelurahan Kesenden saat ini setidaknya ada seribuan unit rumah yang berdiri di kawasan tersebut. Mayoritas rumah-rumah itu berdiri di atas lahan dari hasil reklamasi empang dengan menggunakan sampah.

"Di RW 10 ada sekitar seribuan rumah. Rata-rata prosesnya sama. Sebelumnya kan empang terus diuruk pakai sampah, baru diuruk lagi pakai brangkalan (material urukan)," kata dia.

(sud/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads