Bus salah satu moda transportasi yang terus berevolusi. Bus kini masih menjadi andalan masyarakat. Kala masa penjajahan, bus bersaing dengan kereta api sebagai moda transportasi.
Trayek dan perusahaan otobus (PO) pun berkembang pada era Hindia Belanda. Seperti yang terjadi di Cirebon. Ya, daerah pesisir di Jabar ini menjadi salah satu kota yang sibuk untuk mengatur lalu lintas. Sebab, kala itu rute menuju Batavia atau Jakarta masih mengandalkan pantura.
Menurut surat kabar Hindia Belanda bernama Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 25 Februari 1935, rute Cheribon-Batavia atau Cirebon-Jakarta hanya dilayani enam bus. Namun, antusiasme masyarakat begitu tinggi. Bus yang beroperasi pun harus mengurus surat izin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lalu lintas bus Cheribon-Batavia sepanjang pantai utara saat ini dilayani enam bus, sedangkan permohonan izin 6 bus masih diproses," tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië seperti dikutip detikJabar, Jumat (19/1/2024).
Rupiah saat itu masih belum digunakan. Mata uang yang digunakan masih Gulden Belanda (ƒ). Menurut Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, tarif dari Cirebon ke Jakarta adalah ƒ 2,60. Tarifnya jauh lebih murah dibandingkan dengan kereta api kelas tiga kala itu, yakni ƒ 3,30.
Alasan tarif yang lebih murah ini membuat masyarakat lebih memilih bus ketimbang kereta api pada era Hindia Belanda. Kemunculan bus-bus ini sudah menjadi sorotan setahun sebelum surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië melaporkan soal perkembangan bus pantura. Pada tahun 1934, bus pantura sudah menjadi buah bibir. Sebab, penumpangnya selalu penuh.
Menurut surat kabar De avondpost edisi 18 November 1934, bus pantura itu berasal dari Kuningan dan Cirebon. Saban hari mereka melayani dua kali perjalanan dari Cirebon-Jakarta maupun dari Kuningan-Jakarta.
"Informasi menunjukkan bahwa bus-bus tersebut datang dari Kuningan, letaknya dekat Cheribon, sekitar tiga puluh lima kilometer jauhnya," tulis De avondpost.
![]() |
"Harganya hanya dua Gulden untuk seluruh jarak. Jika Anda menganggap bahwa Anda harus membayar kelas tiga dengan Staatsspoor (kereta api milik negara) dari Batavia (Jakarta) ke Cheribon (Cirebon), tiga dua puluh empat (3,24) Gulden. Dan, kemudian Anda harus menggunakan bus atau taksi untuk sampai ke Kuningan, yang juga memerlukan biaya, maka Anda mendapatkan perbedaan harga yang luar biasa," tulis De avondpost menambahkan.
De avondpost menggambarkan situasi kala bus pantura mulai dilirik masyarakat. Saat itu, kereta api mulai ditinggal masyarakat, khususnya kelas tiga. Meskipun jarak tempuh dari Cirebon ke Jakarta menggunakan bus lebih lama ketimbang kereta.
"Pada jalur Cheribon-Batavia, kereta memakan waktu tiga setengah jam. Sedangkan bus memakan waktu sekitar lima jam," tulis De avondpost.
Singkatnya, bus pantura pun berkembang. Peminatnya kian meningkat. Pada tahun 1941, ragam masalah pun muncul. Bataviaasch nieuwsblad edisi 8 April 1941 mengabarkan terminal bus menjadi magnet untuk masyarakat mengeruk cuan, dari mulai pengemis, pedagang, hingga calo. Laporan mengenai tindakan kriminal pun mulai bermunculan.
"Kami menerima pengaduan dari berbagai pihak mengenai banyaknya pelecehan yang dilakukan oleh pedagang, calo, bahkan pengemis di terminal bus. Para pedagang yang menjual buah-buahan, es krim sirup, dan makanan lezat lainnya menawarkan dagangannya dengan cara yang sangat memaksa," tulis Bataviaasch nieuwsblad.
Selain kriminal dan pelecehan, masalah lainnya yang menjadi sorotan surat kabar Hindia Belanda kala itu adalah soal sampah. Tak sedikit penumpang yang sembarangan membuang sampah melalui jendela bus.
"Setiap pagi dan sore stasiun dibersihkan oleh sekitar dua puluh kuli dari pemerintah kota, tetapi hal ini hanya memberikan sedikit manfaat. Para kuli ini menyibukkan diri sepanjang hari dengan minuman putih," tulisnya.
Bataviaasch nieuwsblad menyebut para kuli di terminal juga kerap berbuat onar. Pemerintah saat itu didesak untuk memperbaiki carut marutnya terminal bus di Cirebon. "Gangguan bagi masyarakat yang bepergian melalui tindakan berani mereka, mereka hanya merampas barang dari tangan sebagian besar orang-orang sederhana. Pengawasan lebih lanjut dari pihak berwenang yang terlibat pasti akan mengakhiri semua masalah ini," tulis Bataviaasch nieuwsblad.
Hingga kini bus pantura masih eksis, namun masa jayanya mulai sirna. Sejumlah perusahaan otobus (PO) di Cirebon juga masih melayani trayek Cirebon-Jakarta via pantura. Salah satunya PO Sahabat yang berdiri pada 1984. Kini bus pantura bersaing dengan transportasi umum lainnya, akses tol juga menjadi salah satu faktor sinar kejayaan bus pantura mulai redup.
(sud/sud)