5 Mitos Legendaris di Cirebon, Jalan Peruntuh Jabatan-Perawan Sunti

5 Mitos Legendaris di Cirebon, Jalan Peruntuh Jabatan-Perawan Sunti

Sudirman Wamad - detikJabar
Rabu, 14 Feb 2024 10:00 WIB
Tahukah Anda, Cirebon di Jawa Barat punya bangunan bersejarah bernama Taman Sari Gua Sunyaragi atau lebih dikenal Istana Karang. Seperti apa? Ini foto-fotonya.
Melihat Taman Sari Gua Sunyaragi Cirebon. Foto: Rengga Sancaya
Cirebon -

Cirebon, kota kecil di pantai utara Jawa Barat (Jabar) yang menyimpan ragam cerita. Dari sejarah, budaya, hingga mitos-mitos atau cerita masyarakat yang tersebar dari mulut ke mulut.

Mitos-mitos memang melekat di beberapa tempat di Cirebon. Sebut saja di kawasan keraton, jalan, hingga bangunan zaman dulu. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan mitos yang sangat akrab di telinga masyarakat.

Mitos yang bergitu terkenal di Cirebon adalah soal sakralnya Jalan Karanggetas. Konon katanya, pejabat yang angkuh dan sombong jika lewat Jalan Karanggetas maka jabatannya akan hilang, atau lengser dari jabatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mitos lainnya adalah tentang kisah Perawan Sunti yang ada di Taman Air Gua Sunyaragi. Dan, masih banyak mitos lainnya yang ada di Cirebon. Tim detikJabar merangkum deretan mitos yang terkenal di Cirebon.

Mitos Jalan Karanggetas Cirebon Peruntuh Pejabat AngkuhMitos Jalan Karanggetas Cirebon Peruntuh Pejabat Angkuh Foto: Sudirman Wamad

1. Pejabat Angkuh Dilarang Lewat Jalan Karanggetas

Jalan Karanggetas merupakan kawasan pertokoan di Kota Cirebon Jawa Barat. Jalan ini salah satu akses menuju Keraton Kanoman dan Kasepuhan Cirebon. Jalan Karanggetas selalu sibuk. Sebab, sepanjang jalan ini berjejer toko yang menjual aneka ragam barang. Selain itu, ada supermarket.

ADVERTISEMENT

Di balik kesibukan dan keramaiannya, Jalan Karanggetas menyimpan mitos yang melegenda di Cirebon. Konon, Jalan Karanggetas terkenal sebagai kawasan penggugur atau peruntuh jabatan bagi pejabat yang angkuh. Tak sedikit pejabat yang enggan melintas di jalan tersebut. Khususnya, bagi pejabat yang angkuh dan tak jujur.

Mengutip dari detikNews, filolog asal Cirebon Raffan S Hasyim menceritakan tentang Jalan Karanggetas yang mampu menggugurkan jabatan pejabat angkuh itu berawal dari kisah Syekh Magelung Sakit sekitar tahun 1479. Orang sakti mandraguna yang angkuh. Syekh Magelung Sakti merasa tak bisa dikalahkan. Ia menantang siapa saja.

Syekh Magelung Sakti pun mencari lawan yang mampu memotong rambutnya. "Lawan-lawannya ini tak berhasil memotong rambutnya (Syekh Magelung Sakti). Semua lawannya ini menggunakan senjata," kata filolog yang akrab disapa Opan itu.

Singkat cerita, Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati akhirnya menantang Syekh Magelung Sakti. Sunan Gunung Jati berhasil memotong rambut Syekh Magelung Sakti tanpa senjata. Sunan Gunung Jati hanya menggunakan kedua jarinya untuk memotong rambut Syekh Magelung Sakti. Kejadian tersebut membuat Syekh Magelung Sakti menjadi pengikutnya.

"Sampai sekarang Jalan Karanggetas masih diyakini masyarakat Cirebon mampu meruntuhkan jabatan orang yang sombong," ucap Opan.

Goa Sunyaragi di Cirebon.Patung Perawan Sunti di Gua Sunyaragi di Cirebon. Foto: Ony Syahroni/detikJabar

2. Dilarang Sentuh Patung Perawan Sunti

Taman Air Gua Sunyaragi telah berusia ratusan tahun menjadi salah satu destinasi wisata sejarah di Cirebon. Namun, banyak yang tak tahu, jika di tengah uniknya bangunan Gua Sunyaragi, ternyata ada beberapa mitos yang tersimpan di dalamnya. Salah satunya adalah mitos tentang patung Perawan Sunti.

Patung Perawan Sunti berada tepat di pintu masuk Gua Peteng, salah satu area yang ada di kompleks Taman Air Gua Sunyaragi. Patung ini hanya berbentuk seperti tonggak. Konon, patung yang asli disimpan oleh pengelola.

"Sekarang patung Perawan Sunti yang di depan Gua Peteng itu hanya berupa tunggul. Patung Perawan Suntinya saat ini kita simpan," kata Kepala Bagian Pemandu Taman Gua Sunyaragi, Jajat Sudrajat saat berbincang dengan detikJabar di Cirebon, beberapa waktu lalu.

Ada pun mitos yang berkembang terkait dengan patung Perawan Sunti adalah tidak diperkenankannya wanita perawan atau gadis untuk menyentuh patung tersebut karena dipercaya akan sulit mendapatkan jodoh.

Namun, kata Jajat, mitos tersebut sebenarnya memiliki pesan moral bagi masyarakat, khususnya untuk para wanita yang belum menikah atau gadis. Menurut Jajat, bagi masyarakat Cirebon sendiri, Perawan Sunti dimaknai sebagai seorang wanita yang hamil dan melahirkan anaknya tanpa melalui hubungan lawan jenis.

"Mitos itu sebenarnya sebuah nasehat dari orang tua kita zaman dulu agar anaknya nurut. Makanya dikemas dengan mitos. Dan makna atau pesan yang terkandung di dalam mitos patung Perawan Sunti ini maksudnya adalah kalau kau (wanita) hamil dan melahirkan, harus jelas siapa suami dan bapak dari anak itu," kata dia.

Lorong yang tembus langsung ke Arab Saudi dan China di Gua Sunyaragi CirebonLorong yang tembus langsung ke Arab Saudi dan China di Gua Sunyaragi Cirebon Foto: Sudirman Wamad/detikTravel

3. Lorong Menuju Makkah-Madinah di Gua Sunyaragi

Selain mitos dilarang menyentuh patung Perawan Sunti, Gua Sunyaragi juga menyimpan mitos lainnya, yakni adanya gua yang konon bisa terhubung dengan Makkah dan Madinah.

Mitos tentang gua atau lorong menuju Makkah dan Madinah sangat akrab di telinga masyarakat Cirebon. Lorong ini berada di Gua Argajumut kompleks Taman Air Gua Sunyaragi. Kedua lorong itu bernama lorong Makkah-Madinah dan lorong Tiongkok-Gunungjati.

Kepala Bagian Pemandu Taman Gua Sunyaragi, Jajat Sudrajat mengatakan dua lorong itu merupakan sebuah tempat yang masing-masing memiliki luas sekitar 1x1 meter persegi. Dan mitosnya, dua lorong itu disebut bisa menembus hingga ke Makkah-Madinah dan ke negeri Tiongkok.

Ia pun menjelaskan makna yang terkandung di balik mitos dari dua lorong tersebut. Menurut Jajat, mitos yang berkembang dari lorong Makkah-Madinah dan Tiongkok-Gunungjati itu sebenarnya memiliki pesan penting bagi kehidupan manusia. Baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Ada pun pesan yang dimaksud adalah ketika masyarakat ingin menjalankan perintah agama (ibadah), khususnya umat Muslim, maka dua wilayah itu lah yang dituju. "Sementara untuk lorong Tiongkok-Gunungjati, maknanya adalah ketika orang Cirebon ingin memperdalam ilmu dunia, kiblatnya ya China. Seperti yang kita ketahui ada pepatah yang mengatakan 'Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China'," ucap Jajat.

"Untuk Gunungjatinya sendiri, maknanya adalah bagi masyarakat Cirebon yang ingin belajar ilmu agama Islam, ya perginya ke Gunungjati. Karena dulu pesantrennya itu adanya di sana," terang Jajat.

Di samping itu, penamaan Makkah-Madinah dan Tiongkok-Gunungjati yang disematkan pada dua lorong tersebut sebenarnya merupakan simbol dari adanya peran bangsa Arab dan Cina di balik berdirinya Cirebon. "Dua bangsa ini lah (Arab dan Cina) yang ikut meramaikan Kebon Pesisir sebelum kemudian berubah menjadi Cirebon," kata Jajat.

Sungai Kriyan yang berada di depan Situs Lawang Sanga Kota Cirebon, Jawa Barat, dikenal angkerSungai Kriyan yang berada di depan Situs Lawang Sanga Kota Cirebon, Jawa Barat, dikenal angker Foto: Sudirman Wamad

4. Siluman Buaya Putih Jelmaan Anak Sultan

Sungai Kriyan dan Situs Lawang Sanga di Kota Cirebon menyimpan mitos tentang keberadaan buaya putih. Menurut cerita masyarakat, buaya putih penunggu Sungai Kriyan dan Lawang Sanga itu merupakan jelmaan anak dari Sultan Kasepuhan Cirebon. Lantas bagaimanakah cerita tentang legenda buaya putih itu?

Mengutip dari detikTravel, Lawang Sanga merupakan situs yang berada di dekat Sungai Kriyan, tepatnya Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Masyarakat masih meyakini buaya putih jelmaan anak sultan itu masih hidup di Sungai Kriyan.

Lurah Keraton Kasepuhan Cirebon Mohamad Maskun menceritakan buaya putih yang hidup di Sungai Kriyan merupakan jelmaan salah seorang putra dari Sultan Sepuh I Syamsudin Martawijaya. "Buaya putih itu tak buas atau galak. Buaya tersebut merupakan anak dari sultan sepuh pertama yang dikutuk oleh sultan," kata Maskun saat di Keraton Kasepuhan Cirebon, Senin 10 September 2018.

Anak dari Sultan Syamsudin yang dikutuk menjadi buaya putih itu bernama Elang Angka Wijaya. Anak dari Sultan Syamsudin itu dikutuk lantaran tak menurut. "Elang Angka Wijaya ini memiliki kebiasaan kalau makan sambil tiduran, tengkurap gitu. Nah, sama sultan dinasehati agar setiap makan tak seperti itu. Tapi tetap tak nurut, sultan berucap anaknya kalau makan seperti buaya. Ucapan orang dulu kan manjur," ucap Maskun.

Awalnya, buaya putih jelmaan dari Elang Angka Wijaya itu hidup di lingkungan keraton, tepatnya di kolam yang berada di bangunan Lunjuk Keraton Kasepuhan. Namun, lanjut dia, saat sudah besar buaya putih tersebut berpindah tempat ke Sungai Kriyan, yang memang lokasinya tak jauh dari keraton.

"Sultan merasa jengkel dengan tingkah anaknya ini, karena tak nurut. Hingga akhirnya jadi buaya putih. Tentu ini juga harus menjadi pelajaran hidup," ucapnya.

Ia menambahkan masyarakat sekitar Sungai Kriyan masih mempercayai tentang mitos buaya putih tersebut. Bahkan, lanjut dia, ada tradisi tersendiri saat masyarakat sekitar melihat buaya putih. "Tradisinya lempar tumpengan ke sungai kalau ada masyarakat yang melihat buaya putih. Sama-sama menjaga lingkungan," ucapnya.

Monyet di situs Sunan Kalijaga Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.Monyet di situs Sunan Kalijaga Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

5. Legenda 99 Monyet Jelmaan Santri Sunan Kalijaga

Mitos lainnya yang akrab di telinga masyarakat Cirebon adalah tentang legenda 99 monyet yang ada di petilasan Sunan Kalijaga di Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Konon, monyet yang ada di petilasan Sunan Kalijaga itu merupakan jelmaan dari santri yang bandel.

Juru kunci petilasan Sunan Kalijaga Cirebon Raden Edi menuturkan, monyet-monyet tersebut dulunya merupakan santri dari Sunan Kalijaga yang berubah menjadi monyet. Santri Sunan Kalijaga itu disebut berperilaku munafik.

Ceritanya suatu hari Kanjeng Sunan Kalijaga ingin melaksanakan salat Jumat di masjid. Namun, ketika melihat ke belakang, Kanjeng Sunan Kalijaga melihat santrinya berkurang. Setelah itu, Edi menceritakan Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan salah seorang santri untuk memanggil yang lain. Memanggil santri yang tak ada saat salat Jumat.

"Namun ketika dipanggil para santri tersebut tidak mau menaati perintah dari Sunan Kalijaga untuk salat Jumat, dan malah asyik untuk mencari ikan di sungai. Hingga pelaksanaan salat Jumat selesai, para santri Sunan Kalijaga masih belum juga pulang," tutur Edi saat ditemui detikJabar belum lama ini.

Sunan Kalijaga pun marah. Hingga dalam hatinya terbesit menyamakan sifat santrinya yang bandel itu dengan binatang.

"Sebenarnya Sunan Kalijaga tidak pernah mengutuk, tetapi yang berhak mengutuk hanyalah Allah SWT. Kanjeng Sunan Kalijaga cuma marah dalam hati, sekalipun orang lain tidak mendengar tetapi oleh Allah SWT dengar," tutur Edi

Karena marahnya Sunan Kalijaga, para santri yang bandel itu mendadak menyerupai monyet. Dari tubuh santri itu keluar ekor, dan lama-lama menjadi monyet. Dan, konon katanya monyet-monyet tersebut berjumlah 99 ekor yang berasal dari 99 santri yang dikutuk karena tidak taat kepada Sunan Kalijaga. Hingga hari ini para monyet-monyet tersebut masih banyak berkeliaran di sekitar wilayah petilasan Sunan Kalijaga.

"Yang lagi pada bunting hingga yang masih kecil banyak," kata Edi.

Walaupun begitu Edi juga menambahkan jumlah monyet yang ada di Petilasan Sunan Kalijaga jumlahnya hanya sekitar 99 atau 150 ekor monyet. "Dari abad 17 hingga sekarang mungkin kalau berkembang biak terus Cirebon sudah dikuasai Monyet," Edi.

Menurut Raden Edi awalnya ada sekitar tiga kawanan monyet yang memiliki wilayah kekuasaannya masing-masing, tetapi sekarang hanya tersisa dua kawanan monyet. "Kalau saling lewat wilayah, antar monyet biasanya tawuran," kata Edi.

Ia juga mengatakan pelajaran yang dapat diambil dari cerita 99 monyet di Petilasan Sunan Kalijaga adalah jangan menjadi orang yang munafik seperti santri Sunan Kalijaga yang di depan bilangnya patuh, tapi kenyataanya malah tidak patuh. "Di depan bilangnya iya di belakang malah beda lagi," ucap Edi.

(sud/sud)


Hide Ads