Kiprah KH Abbas: Sang Macan dari Barat Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Kabupaten Cirebon

Kiprah KH Abbas: Sang Macan dari Barat Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Devteo Mahardika - detikJabar
Kamis, 11 Jan 2024 17:15 WIB
Kiai Abbas
Kiai Abbas. Foto: dokumentasi Pondok Buntet Pesantren
Kabupaten Cirebon - Pemerintah Kabupaten Cirebon menyerahkan berkas usulan Calon Pahlawan Nasional (CPN) KH Abbas Abdul Jamil kepada Tim Peneliti Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Provinsi Jawa Barat.

Penyerahan berkas usulan CPN tersebut dilakukan langsung TP2GD Kabupaten Cirebon bertempat di Ruang Malabar, Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, Selasa (9/1/2024) kemarin. Tampak hadir pula Sekretariat TP2GD Kabupaten Cirebon Indra Fitriani, serta Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon, Iik Ahmad Rifa'i,

Sekretariat TP2GD Kabupaten Cirebon Indra Fitriani mengungkapkan penyerahan berkas usulan Calon Pahlawan Nasional KH Abbas Abdul Jamil merupakan tahapan akhir dari rangkaian proses pengusulan. Sebelumnya, pada bulan November 2023 lalu, Fitri menyampaikan, Pemkab Cirebon telah melakukan Seminar Nasional terkait pengusulan KH Abbas Abdul Jamil sebagai calon pahlawan nasional.

Diketahui KH Abbas Abdul Jamil atau lebih dikenal dengan Kiai Abbas Buntet, adalah seorang ulama yang berasal dari Buntet Cirebon, yang merupakan tokoh penting dalam Pertempuran 10 November 1945 dan dikenal dengan 'Sang Macan dari Barat'.

"Beliau merupakan salah satu tokoh yang tak henti melakukan seruan jihad dan perjuangan dalam membela bangsa, membentuk kader sampai kemerdekaan Indonesia," kata Fitri yang juga menjabat sebagai Kepal Dinsos Kabupaten Cirebon saat dikonfirmasi, Kamis (11/1/2024).

Kiprah Sang Macan dari Barat

Berdasarkan keterangan TP2GD Cirebon, KH Abdullah Abbas seorang ulama besar di Jawa Barat Pengasuh Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat. Ia dikenal sebagai Sang Macan dari Barat.

Ulama asal Cirebon itu dikenal sebagai Panglima Perang dalam Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan ia juga pernah menjabat Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Nama lengkapnya Kiai Haji Abbas Djamil bin Abdul Djamil bin Muta'ad. Ia adalah putera sulung dari pasangan KH Abdul Jamil dan Nyai Qari'ah.

Sedangkan kakeknya, KH Muta'ad, menantu pendiri Pesantren Buntet, Mbah Muqayyim. Mbah Muqayyim adalah mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I dan Sultan Kanoman.

Masa kecil Kiai Abbas banyak dihabiskan dengan belajar pada ayahnya sendiri yakni KH Abdul Djamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, barulah Abbas muda berguru pada ulama lain seperti KH Nasuha di Pesantren Sukanasari Plered Cirebon, KH Hasan pimpinan pesantren salaf di Jatisari dan KH Abu Ubaidah, pimpinan pesantren di Giren Tegal, Jawa Tengah.

Setelah menguasai ilmu keagamaan, ia pindah ke Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan KH Hasyim Asy'ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU.

Pengalamannya di Pesantren Tebuireng menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai terpandang seperti KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdul Karim yang akrab dipanggil Mbah Manaf Lirboyo, Kediri.

Walaupun keilmuannya sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih. Karena itu ia tetap memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah.

Saat itu di sana masih ada ulama Jawa terkenal yang dijadikan tempat berguru, yaitu Syaikh Mahfudz Termas. Di Makkah, ia bermukim bersama K.H. Bakir Yogyakarta, KH Abdillah Surabaya dan KH Abdul Wahab Hasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, ia ditugasi untuk mengajar mukmin Indonesia yang ada di sana.

Sepulangnya dari Makkah, Kiai Abbas kerap menemui hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng Jombang. Bersama KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdul karim, ia ikut membidani lahirnya Pesantren Lirboyo, Kediri.

Sepeninggal ayahnya, Kiyai Abbas memegang tampuk kepemimpinan pesantren. Salah satu terobosan utamanya yang ia lakukan adalah pengenalan sistem madrasah di pesantren sembari tetap mempertahankan sistem pengajaran tradisional seperti sorongan, bandongan, dan ngaji pasaran.

Sebagai seorang kiyai muda yang energik, ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun ia tak lupa untuk memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu.

Ia mulai mengenalkan kita karya ulama Mesir seperti Tafsir Thanthawi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan kepada santrinya. Demikian juga kitab Tafsir Fakhrurrazi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan.

Pengajaran ushul fiqh di Pesantren Buntet mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fiqh para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya di pesantren, fiqh memang merupakan kajian yang diprioritaskan, sebab ilmu itu menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat. Di masa kepemimpinanya inilah Pesantren Buntet mengalami perkembangan yang sangat besar.

Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal ke seluruh Jawa sebagai seorang ulama yang alim dan berpikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuatu yang tidak dikuasainya, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah ia kaji, maka ia akan berterus terang bahwa ia belum menguasai kitab tersebut.

Pada tahun 1928 ia mendirikan Madrasah Abdul Wathan Ibtidaiyah yang mengajarkan bidang studi umum. Dalam hal ini KH Abbas mengambil pedoman dari perkataan Imam Syafi'i yakni 'Peliharalah nilai lama yang baik dan ambil nilai baru yang lebih baik', yang kemudian menjadi motto Pesantren Buntet dan juga NU sampai sekarang. (sud/sud)



Hide Ads