Tari Topeng Klana atau Topeng Kelana merupakan tarian yang berasal dari Cirebon, dan telah lama tumbuh juga di daerah-daerah sekitar Cirebon seperti Indramayu.
Tarian ini merupakan bagian dari Tari Topeng Cirebon yang punya asal-usul. Klana sendiri merupakan salah satu dari lima jenis topeng dalam Tari Topeng Cirebon.
Topeng Klana adalah topeng paling akhir dalam fase kehidupan manusia yang digambarkan oleh Topeng Cirebon. Yakni, Topeng Panji (bayi), Samba (anak-anak), Rumyang (remaja), Tumenggung (dewasa), dan Kelana (puncak kedewasaan).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang digunakan dalam Topeng Klana adalah topeng berwarna merah yang mirip dengan karakter Rahwana dalam kisah Ramayana. Sehingga, kadang kala Tari Klana disebut pula Tari Rowana, meski sejumlah dalang di Cirebon menganggap Tari Klana dan Tari Rowana punya perbedaan.
Tari Topeng Klana ini menggambarkan karakter yang pemarah dan serakah. Gerakannya enerjik dengan musik pengiring Gonjing, Sarung Ilang, dan Dermayonan. Karakter yang marah dan menari ini dalam disaksikan dalam gelaran West Java Festival 2024 yang berlangsung di kawasan Gedung Sate, Kota Bandung pada 23-25 Agustus 2024.
Asal-usul Topeng di Cirebon
Topeng Kelana bagian dari Topeng Cirebon. Tari Topeng Cirebon sendiri mula-mula adalah kesenian yang tumbuh subur di kalangan kerajaan. Sebelum muncul topeng Cirebon, kesenian topeng sendiri diduga telah ada pada masa Kerajaan Majapahit.
Laman Pemerintah Kota Cirebon menyebutkan ada dugaan kesenian topeng dikenal sejak zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Sebab, dalam Kitab Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Tentu, raja menari dengan topeng disaksikan oleh keluarga kerajaan saja, seperti istri raja, anak raja, sepupu, dan keluarga inti.
Ketika Majapahit runtuh pada sekitar tahun 1525 M, tari topeng dihidupkan oleh sultan-sultan Demak. Sehingga muncul kepercayaan bahwa hanya raja yang bisa menari dengan topeng.
Pengaruh Demak dengan Islamnya, menyebar ke banyak daerah, tak terkecuali ke pesisir Jawa Barat seperti Cirebon. Karena unsur seninya tinggi, Topeng Cirebon berkembang dan dipelihara di kalangan keraton.
Topeng Cirebon yang hingga kini diwarisi oleh masyarakat Cirebon, disebut merupakan buatan Sunan Panggung. Nama ini merujuk kepada sosok Sunan Kalijaga. Namun, di dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa Sunan Panggung bukanlah Sunan Kalijaga, melainkan putera Sunan Kalijaga, yang diangkat untuk mengurusi pertunjukan wayang dan topeng oleh Sultan Demak.
Belanda kemudian mencengkeram tanah Jawa. Para pelaku seni di kalangan keraton dibatasi geraknya, dibatasi pula pendapatannya. Maka, tak ada pilihan lain kecuali melakukan pertunjukan di tengah-tengah rakyat dengan Topeng Cirebon.
Dedeh Nur Hamidah dalam studi berjudul "Pengaruh Tarekat pada Topeng Cirebon", Jurnal Holistik Vol 12 Nomor 02, Desember 2011, menyebutkan pendapatan orang keraton berkurang karena status mereka dijadikan pegawai.
"Ketika Raja-raja Cirebon diberi status "pegawai" oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi.
Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan "gaji" yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda. Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan," tulis Dedeh Nur Hamidah.
Kiki Rohmani dan Nunung Nurasih dalam Jurnal Makalangan, 2019 menjelaskan bahwa Tari Cirebon kemungkinan dibawa oleh para pengamen dari kesenian Jawa.
"Awal kemunculan topeng Cirebon dipelopori oleh wong bebarang (pengamen) yang berasal dari kesenian Jawa. Diperkirakan sekitar abad ke XIV-XV yang berbarengan dengan dimulainya syiar Islam di daerah Cirebon," tulisnya.
Asal-usul Tari Topeng Klana
Tari Topeng Klana Cirebon atau Topeng Kelana Cirebon merupakan satu tarian yang merujuk pada salah satu dari lima purwa atau Topeng Cirebon. Karakter Kelana atau Rahwana diambil karena topeng ini lebih enerjik ketika diterjemahkan ke dalam gerakan tari.
Studi Kiki Rohmani dan Nunung Nurasih berjudul Tari Topeng Klana Cirebon Gaya Slangit, Konsep Gubahan Penyajian Tari dalam Jurnal Makalangan, 2019 menjelaskan tugas penari (dalang topeng) adalah menghidupkan karakter topeng yang dikenakannya. Termasuk ketika sang dalang menggunakan topeng kelana.
"Topeng Klana berkarakter gagah kasar menggambarkan seseorang yang buruk, serakah, penuh amarah, dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu dan menggambarkan seseorang yang sedang mabuk, marah, tertawa, dan jatuh cinta," tulis Kiki Rohmani dan Nunung Nurasih.
Topeng Cirebon oleh Sunan Panggung dalam sejarah penyebaran Islam, pernah dipakai untuk menyebarkan Islam, dan ketika Islam telah menjadi agama kebanyakan warga, tari topeng digunakan untuk pewarisan tari topeng itu sendiri, untuk pendidikan, dan sebagai hiburan.
Dahulu, karena tari topeng dipentaskan dalam tradisi bebarang (ngamen), maka timbullah kekhasan tari topeng yang tumbuh di masing-masing wilayah di mana topeng itu singgah dan diterima masyarakat setempat.
Tari Topeng Klana Berdasarkan Ciri Khasnya
Buah dari tradisi bebarang, Tari Topeng Klana tumbuh di banyak daerah dan punya ciri khasnya tersendiri.
Kekhasan yang sangat menonjol, terlihat dari gerakan dan gaya menarinya. Misalnya, Tari Topeng Losari, Topeng Slangit, Topeng Gegesik, Topeng Pekandangan, Topeng Subang, Topeng Indramayu, Topeng Kreo, Topeng Palimanan, dan seterusnya.
Nama daerah tersebut merupakan asal di mana tari topeng berkembang. Namun, ada pula tari topeng yang dikaitkan dengan nama dalang atau penarinya. Misalnya Topeng Rasinah, Topeng Sujana, Topeng Keni, Topeng Dewi, atau Topeng Sawitri, dan lain sebagainya.
"Sebutan topeng yang dikaitkan dengan nama orang sangat kuat hubungannya dengan gaya menari dan motif koreografi. Misalkan topeng Sujana motif gerak kakinya lincah dan terlihat kesan ringan saat melangkah ataupun ngongkrak. Sedangkan topeng Sawitri pada saat adeg-adeg bentuk kakinya lebar terbuka ke samping, menimbulkan kesan panceg atau kuat," tulis Jurnal Makalangan.
(iqk/iqk)