Cerita Nini Anteh Tinggal di Bulan dan Pesan Moralnya

Cerita Nini Anteh Tinggal di Bulan dan Pesan Moralnya

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Minggu, 11 Agu 2024 08:30 WIB
Ilustrasi Gerhana Bulan
Ilustrasi Bulan (Foto: AP/Eugene Hoshiko)
Bandung -

Penyanyi lagu pop Sunda, Nining Meida pada tahun 1988 menyanyikan lagu gubahan Yin S, berjudul "Ka Bulan". Lagu pada album "Kalangkang" itu berkisah tentang bayangan jika manusia tinggal di Bulan.

Jika terwujud bisa tinggal di Bulan, lagu itu berkisah bahwa ingin sekali ada pengembangan budaya Sunda di Bulan. Kesenian seperti Ketuk Tilu dan tari Jaipongan akan tetap lestari meski orang Sunda tinggal di Bulan.

"Mun pareng nincak ka bulan
hayang ngaronjatkeun budaya Sunda
ketuk tilu, jaipongan
moal leungit sanajan pindah ka bulan," bunyi lirik itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tetapi, sebelum Nining Meida "mengajak" ke Bulan, orang Sunda telah lama mengenal sosok yang tinggal di Bulan. Sosok itu adalah seorang nenek dengan seekor kucing. Nenek itu bernama Nini Anteh dan kucingnya bernama Candramawat.

Nini Anteh hidup di dalam alam pikir orang Sunda karena diceritakan turun temurun. Nini Anteh sering terlihat bayangannya ketika purnama terjadi. Bulan yang bercahaya terang membuat bayangan Nini Anteh dan kucingnya yang tinggal di kulit bulan menyembul dan terlihat dari bumi. Jika saat purnama terlihat ada bercak pada bulan, bercak itulah bayangan Nini Anteh dan kucingnya.

ADVERTISEMENT

Nini Anteh semula adalah manusia, namun cerita yang pilu menjadi penyebab Nini Anteh tinggal di Bulan, dari usia anak-anak sampai Nini Anteh benar-benar menjadi nenek-nenek, dia dan kucingnya tinggal di bulan.

Di bulan, Nini Anteh tidak berdiam diri, melainkan punya aktivitas. Aktivitasnya adalah mengantih, yaitu membuat benang dari kapas-kapas yang telah dipintal. Benang hasil kantihan adalah bahan utama untuk menenun kain. Bagaimana lengkapnya cerita Nini Anteh tinggal di bulan dan mengantih sampai beruban?

Dua Versi Cerita Nini Anteh

Cornelis Marinus Pleyte atau sering disebut C.M Pleyte (1863-1917) adalah etnograf kelahiran Belanda dan meninggal di Batavia. Dia di antara yang menuliskan cerita Nini Anteh, cerita lisan yang berkembang di Sunda.

Cerita Nini Anteh dia abadikan dalam buku berjudul "De Inlandsche Nijverheid West Java Sociaal-ethnologisch Verschijnsel", terbit pada 1912. Mengutip dari berbagai sumber, cerita tertulis paling tua tentang Nini Anteh tersebut ditulis dalam bahasa Belanda dan Sunda.

Cerita versi C.M Pleyte ini mengisahkan pemburu yang kencing di hutan dan air kencingnya diminum kucing. Kucing itu hamil dan melahirkan bayi perempuan yang kelak menjadi Nini Anteh. Jika sekarang ini Nini Ateh tinggal di Bulan bersama kucingnya, kucing tersebut adalah ibu kandungnya.

Selain versi C.M Pleyte, ada pula versi lain cerita Nini Anteh ini. Yang tak kurang masyhurnya adalah cerita cinta segitiga antara Pangeran Anantakusuma dari Kadipaten Wetan yang seharusnya menikah dengan Putri Endahwarni dari Pakuan, malah terpincut dengan kecantikan pelayan istana bernama Anteh.

Sadar akan situasi yang kacau jika Anteh menerima cinta Pangeran Anantakusuma, sebagaimana sebelumnya dia sempat diusir dari istana tempatnya bekerja, Anteh berdoa kepada dewata agar diberi jalan keluar.

Maka, ketika sedang bermain di halaman rumahnya di sudut istana dan Pangean Anantakusuma terus mengejar cintanya, cahaya bulan menyedot Anteh dan Kucingnya. Dengan tinggal di Bulan, pangeran tak bisa lagi mengejar Anteh.

Cerita Nini Anteh Tinggal di Bulan

Nama Anteh diambil kata "Kanteh" dalam bahasa Sunda atau Kantih dalam Indonesia, yang merupakan aktivitas perempuan itu memintal benang. Benang hasil kantihan itu adalah bahan utama menenun kain.

Berikut cerita lengkap Nini Anteh dikutip dari situs Explore Sunda dipadukan dengan cerita yang termaktub dalam skripsi Lulu Nurul Karomah (2018) di Unikom berjudul "Perancangan Informasi Cerita Legenda Nyai Anteh Melalui Media Buku Komik":

Pada zaman dahulu ada seorang pemburu punya kucing peliharaan. Suatu hari pemburu tersebut buang air kecil ke dalam batok kelapa. Kucing betina peliharaannya itu meminumnya. Tak berapa lama kucing putih itu hamil dan melahirkan.

Kucing itu ternyata melahirkan anak perempuan berwujud manusia yang wajahnya luar biasa cantik. Pemburu itu akhirnya merawat bayi tersebut serta kucingnya. Pemburu mengurus dengan baik anak perempuan dan kucing putih peliharaannya.

Tujuh tahun kemudian dari kelahiran bayi itu, pemburu menikah dengan seorang wanita. Namun, wanita itu memiliki sifat yang buruk meski tetap takut kepada suaminya. Jika pemburu ada di rumah, wanita itu pura-pura sayang. Jika tidak ada, disiksanya anak dan kucing peliharaan itu, bahkan tidak diberi makan.

Pada suatu hari, pemburu hendak berburu ke hutan. Ia menitipkan anak dan kucing peliharaannya pada istrinya, ia berpesan agar anak dan kucingnya diurus dengan baik dan diberi cukup makan.

Istri pemburu tidak mengetahui bahwa kucing putih adalah ibu dari anak perempuan, ia mengira ibu dari anak perempuan tersebut sudah meninggal. Jika pemburu sedang berada di rumah, istrinya begitu baik memperlakukan anak dan kucingnya, tapi ketika pemburu tidak ada di rumah anak dan kucingnya diperlakukan dengan buruk dengan sering memukulnya dengan lidi dan tidak diberi makan. Ketika pemburu sudah hampir datang ke rumah, kepala anak tirinya dipukul menggunakan boboko atau bakul nasi sampai kepala anak itu penuh dengan remah nasi.

Saat pemburu itu bertanya pada istrinya apakah anaknya sudah diberi makan, maka istrinya akan menjawab bahwa anaknya sudah makan hingga kenyang sampai remah nasi memenuhi kepalanya. Padahal istri pemburu itu hanya berbohong, jika diberi makanpun hanya nasi sisa kemarin yang dicampur dengan abu gosok. Namun pemburu itu percaya kepada istrinya.

Jika pemburu tidak ada, istrinya akan memukuli anak tirinya dengan menggunakan lidi. Kucing putih yang melihatnya akan mengeong dengan keras sambil mencakar istri pemburu, karena merasa tidak terima jika anaknya diperlakukan dengan buruk seperti itu. Istri pemburu yang merasa kesal lalu menyiksa kucing putih.

Anak itu kelaparan. Ketika pemburu tidak ada, dia membawa kucingnya berjalan ke hutan. Anak itu berjalan menuju ke sungai. Di tepi sungai ada sebuah pohon nunuk yang buahnya banyak berjatuhan ke sungai. Anak perempuan itu berjalan menyusuri tepian sungai sambil menggendong kucing. Ia pun bersenandung :

Amis teuing buah nunuk,
Batan kéjo kamarunggi
Pamere ambu ing téré

(Manis sungguh manis buah nunuk
ketimbang nasi penuh benci
pemberian ibu tiri)

Tak berapa lama pemburu kembali ke rumah dan bertanya pada istrinya tentang keberadaan anak dan kucingnya. Istrinya menjawab anak dan kucingnya mandi di sungai. Hingga setengah hari, keduanya belum juga kembali.

Pemburu bergegas menyusul ke sungai, namun pemburu tidak menemukan anak perempuan dan kucingnya. Ia terus mencari dengan menyusuri tepi sungai, tak berapa lama terdengar suara seorang anak yang sedang bersenandung kecil.

Ketika pemburu mengikuti asal suara tersebut, betapa kagetnya melihat anak perempuan dan kucingnya sudah berada di puncak pohon nibung. Anak perempuan itu menggendong kucingnya sambil terus bersenandung.

Pohon itu luar biasa tinggi. Pemburu itu meminta anaknya untuk turun dari pohon, bahkan pemburu memohon sambil menangis. Tapi anak perempuannya tidak mau turun dan tetap bersenandung, pohon nibung tersebut akan semakin tumbuh tinggi jika anak perepuan itu bersenandung.

Pemburu tidak mau menyerah, ia mulai memanjat pohon namun usahanya sia-sia karena pohon nibung itu tumbuh semakin tinggi sampai menyentuh langit. Sampai akhirnya muncul tangga emas yang datang dari Bulan, anak perempuan bersama kucingnya menaiki tangga emas sampai ke bulan. Tidak berapa lama tangga emas itu kembali ke Bulan.

Pemburu tetap memaksakan diri memanjat sampai puncak pohon nibung. Namun sesampainya di puncak pohon, ia hanya berdiri mematung. Turun terlalu jauh, ke Bulan tiada jembatan. Akhirnya ia hanya berdiam sampai meninggal.

Di Bulan, anak perempuan itu diurus oleh bidadari yang menjadi ratu di Bulan. Anak perempuan itu diberi pekerjaan mengantih dan menenun. Siang malam pekerjaan itu dilakukan, tapi tak selesai-selesai karena pintalan yang kusut dan benang yang sering putus. Anak perempuan itu menenun dari kecil hingga dewasa, hingga tua dan rambutnya beruban. Karena sudah nenek-nenek dan beruban, dia disebut sebagai Nini Anteh.

Makna Cerita Nini Anteh

Dalam cerita Nini Anteh, sosok perempuan terpinggirkan diwakili oleh Nini Anteh. Dalam dua versi cerita, Nini Anteh adalah kaum "mustadh'afin" atau yang dilemahkan dan ditindas.

Cerita NIni Anteh mengajarkan kaum perempuan untuk bangkit keluar dari situasi tertindas itu. Selain berani untuk keluar, harus pula perempuan punya perhitungan kemandirian hidup. Yaitu, dengan memiliki kemampuan bekerja, keahlian menenun, dan lain sebagainya yang bisa disesuaikan dengan zaman.

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads