Masyarakat Sunda memiliki adat budaya yang kaya akan nilai-nilai filosofis. Seperti suku-suku lainnya di Indonesia, masyarakat Sunda memiliki adat atau kebiasaan yang biasanya dilakukan saat waktu-waktu tertentu, terutama dalam momentum penting siklus kehidupan. Mulai dari kelahiran, pernikahan, pesta, panen raya, saat bulan purnama dan lain sebagainya.
Yang paling umum dan lumrah, ritual adat budaya itu dilakukan dalam momentum pernikahan. Dari dulu hingga saat ini, penggunaan ritual adat Sunda dalam pernikahan relatif mudah dijumpai.
Namun demikian ada beberapa acara adat Sunda yang mulai ditinggalkan, sehingga relatif sulit dijumpai di masa sekarang. Salah satunya acara syukuran usia kehamilan 7 bulanan yang dilengkapi dengan ritual adat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam rangkaian acara syukuran 7 bulanan adat Sunda, ada satu ritual yang cukup menarik. Dimana dukun beranak atau istilah Sunda menyebutnya paraji atau indung beurang, menghancurkan pendil berisi belut dengan cara ditendang keluar rumah. Pendil sendiri merupakan produk kerajinan tanah liat, bentuknya mirip kendi tapi berukuran kecil.
"Ya dulu salametan 7 bulanan, memang ada ritualnya yang dipimpin paraji. Intinya mendoakan agar proses persalinan ibu hamil lancar. Termasuk proses kehamilan anak saya sekitar tahun 80-an," kata Syamsul Maarif (70), warga Kecamatan Cibeureum Kota Tasikmalaya.
Salah satu momentum yang diingat oleh Syamsul adalah proses paraji menendang pendil dari pintu utama rumah ke arah luar. Pendil ditendang keluar hingga hancur berantakan, didalam pendil berisi belut dan 7 macam bunga yang sebagian airnya telah disiramkan ke perut ibu hamil. Syamsul yang juga wartawan senior, mengabadikan momen itu dengan kameranya. Sehingga karya foto lawasnya itu menunjukan dengan jelas aksi paraji yang sedang 'nalapung' (menendang) pendil.
"Mungkin itu simbol agar bayi "lungsur-langsar" (lancar) saat dilahirkan. Pendil ditendang dari dalam ke luar rumah boleh jadi itu simbol dari dalam kandungan terlahir ke bumi. Ada belut juga simbol lancar saat lahir mudah," kata Syamsul.
Dia mengaku tak tahu persis makna dari rangkaian ritual itu, karena pada saat itu hanya mengikuti kebiasaan dan anjuran orang tua. "Tapi yang paling penting bagi saya sebenarnya proses sebelum acara adat itu, yaitu doa bersama. Kalau pun ada ritual itu hanya sebatas memberi sugesti, menghormati adat istiadat dan menciptakan momentum istimewa," kata Syamsul.
Hal lain yang diingat Syamsul adalah adanya rujak yang dibagikan kepada sanak saudara yang hadir. "Tapi kalau rujak, di acara syukuran zaman sekarang juga ada. Kalau siraman, memcahkan kendi memang agak jarang. Sekarang mayoritas masyarakat lebih fokus kepada acara berdoa bersama dan sedekah makanannya saja," kata Syamsul.
Sementara itu dikutip dari berbagai sumber, persiapan ritual adat Sunda saat syukuran 7 bulanan adalah mengumpulkan 7 macam bunga dan air yang diambil dari 7 sumur kemudian dimasukan ke dalam kendi. Selain itu ada juga kenci kecil yang selain diisi air, juga diisi belut kecil. Kemudian air bunga itu ditaruh di tengah hadirin yang menggelar doa bersama.
Usai berdoa paraji kemudian mengambil perannya untuk melakukan siraman atau memandikan ibu hamil. Setelah siraman selesai, barulah ritual memecahkan kendi dilakukan.
Selanjutnya paraji akan membantu ibu hamil mengenakan kain sinjang pangais (kain batik yang lazim digunakan menggendong bayi). Selain dijadikan busana yang membalut badan, pada ritual itu ada juga momentum menginjak kain itu, atau disebut ninjak sinjang. Setelah itu ada lagi ritual bagi suami ibu hamil untuk membelah atua mengupas kelapa. Setelah rangkaian itu selesai barulah dilakukan pembagian rujak yang berisi 7 jenis umbi-umbian.
Upacara adat bagi perempuan Sunda di masa kehamilan tak hanya usia kandungan 7 bulan saja. Namun di usia kehamilan 4 bulanan pun lumrah dilakukan, bahkan syukuran 4 bulanan ini seakan menjadi sebuah keharusan. Meski sekarang syukuran 4 bulanan lebih mengedepankan doa bersama dan tak menggelar ritual adat. Syukuran 4 bulanan ini penting dilakukan karena di usia itu Sang Pencipta telah meniupkan ruh kepada janin.
"Kalau saya waktu lahiran hanya syukuran 4 bulanan saja, doa bersama dan membagikan makanan. Bukan tidak mau atau tidak menghargai adat istiadat, tapi agak susah juga untuk mencari paraji yang bisa memimpin acara tersebut. Kemudian agak memakan biaya dan waktu juga mungkin ya, harus menyediakan berbagai persiapannya," kata Vina Farida (30) warga Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya.
Sementara itu Lusi Nurasiyah (42) warga Kecamatan Indihiang Kota Tasikmalaya mengatakan prosesi atau syukuran 7 bulanan dengan rangkaian acara ada yang komplit, masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Tasikmalaya.
"Biasanya dilakukan oleh keluarga yang berada atau keluarga yang memang antusias terhadap adat budaya Sunda. Saya pernah beberapa kali diundang," kata Lusi.
Menurut dia selain untuk melestarikan adat budaya, upacara adat 7 bulanan itu lebih kepada upaya ibu hamil untuk menciptakan momentum istimewa agar bisa dikenang di kemudian hari. "Dibuatkan dokumentasinya agar jadi kenang-kenangan untuk anak kita nanti, bagus sekali," kata Lusi.
(mso/mso)