Sejarah memang tak harus melulu dibanggakan. Kehadirannya perlu menjadi renungan supaya diambil pelajarannya di zaman sekarang.
Istilah itu pun sepertinya layak disematkan kepada sebuah gedung kesenian di Kota Bandung bernama Rumentang Siang. Gedung ini pernah menjadi saksi bisu bagaimana Bandung akhirnya bisa menjadi kiblat seni teater yang mengemuka di Indonesia.
Sebelum grup-grup teater legendaris seperti Bengkel Teater besutan WS Rendra hingga Teater Kecil besutan Arifin C Noer dielu-elukan di mana-mana, Bandung sudah punya Studiklub Teater Bandung (STB). Diisi para seniman yang peduli dengan kebudayaan, sejarah STB dan Rumentang Siang pun nampaknya tak bisa dipisahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awalnya, sebelum menjadi gedung kesenian, Rumentang Siang dulunya adalah gedung bioskop. Gedung bergaya art deco ini sudah berdiri sejak 1935 dengan nama awal bioskop Rivoli. Setelah Indonesia merdeka, nama bioskop ini lalu dirubah menjadi Bioskop Fajar.
Kemudian, melalui tangan dingin mantan Gubernur Jawa Barat Solihin GP, bioskop Fajar disulap menjadi gedung kesenian. Seorang penyair kenamaan di Kota Kembang saat itu, Wahyu Wibisana, lalu memberikan nama Rumentang Siang, yang memiliki arti samar (rentang) dan nyata (siang). Filosofinya pun begitu dalam karena ada harapan kebudayaan di Jabar bisa makin dikenal setelah adanya gedung pertunjukan Rumentang Siang.
Kenanganan tentang Rumentang Siang pun masih tergambar dalam benak Udin Dana (74). Meski usianya sudah begitu tua, Udin takkan pernah lupa bagaimana Rumentang Siang berpengaruh dalam kehidupannya, sekaligus membawa masa kejayaan kesenian teater di Kota Kembang.
Hubungan Udin dan Rumentang Siang pun dimulai saat ia baru lulus SMP menjelang tahun 70-an. Waktu itu, karena rumahnya berada tepat di belakang gedung ini, Udin jadi sering berinteraksi dengan beberapa orang calo tiket di bioskop Fajar (nama gedung sebelum Rumentang Siang).
![]() |
Hingga Solihin GP menyulap gedung ini menjadi gedung kesenian, Udin muda tak ingin ketinggalan ikut bergabung di dalamnya. Bermodal keahlian melukis dan membuat sejumlah properti pertunjukan, ia lalu diajak berkecimpung dalam pengembangan Rumentang Siang.
"Jadi waktu itu yang disiapkan buat gedung kesenian itu ada 2, di sini sama di stasiun (Stasiun Bandung). Akhirnya yang dipilih di sini, di Rumentang Siang," katanya saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
Rumentang Siang pun dipilih sebagai gedung kesenian sebetulnya bukan tanpa alasan. Pada tahun tersebut, ada grup yang sudah eksis menampilkan seni pertunjukan Sandiwara Sunda, yaitu Sri Murni yang lokasinya berada di Pasar Kosambi, dan ada grup Wayang Orang, Sri Waluyo, yang lokasinya tepat berada di belakang Rumentang Siang.
Praktis, semenjak berubah nama, Rumentang Siang menjadi tempat berkumpulnya seniman-seniman di Bandung hingga Indonesia. Mereka saling bertukar pikiran dan gagasan, bahkan sampai membedah naskah yang akan ditampilkannya. Di tempat ini, STB pun menjelma menjadi grup teater yang namanya begitu dikenang pada zaman tersebut.
Di awal-awal masa kejayaannya, Rumentang Siang memang disiapkan menjadi pusat pertunjukan seni teater di Kota Kembang. Tapi karena kecintaan kepada budaya di Jabar, sejumlah kesenian lain pun turut dirangkul mulai dari Sandiwara Sunda, wayang golek hingga kesenian lainnya.
Bahkan, Udin masih ingat saat Rumentang Siang turut mengundang kesenian mancanegara untuk tampil di sana. Tak tanggung-tanggung, seorang maestro pantomim saat itu, Milan Sladek, balet Inggris hingga pagelaran boneka Jepang pernah menghiasi perjalanan Rumentang Siang.
Karena punya nama besar, Rumentang Siang tak mudah menjadi tempat bagi seniman mengekspresikan karyanya. Ada seleksi ketat yang dilakukan kepada grup yang ingin pentas di sana. Jika tak memenuhi persyaratan, jangan harap bisa tampil di Rumentang Siang.
"Jadi kalau mau mentas di sini harus diseleksi dulu. Berat dulu mah, kalau nggak bagus ya nggak lolos seleksi. Minimal latihannya juga harus 3 bulan. Setelah itu ada yang ngecek, dilihat latihannya gimana. Kalau pas dilihat belum layak, ya harus diterima kudu latihan lagi yang serius," kenang Udin.
Sayangnya, nama besar Rumentang Siang itu pun bagi Udin kini sudah memudar. Selain sekarang sudah menjadi gedung kesenian yang bersifat komersial, Udin menganggap belum ada lagi tokoh-tokoh seni pertunjukan yang bisa melambungkan namanya ke kancah nasional.
Kondisi ini pun dirasakan Udin setelah memasuki tahun 2000-an. Regenerasi dari beberapa grup macam Bengkel Teater, Teater Kecil hingga STB saat ini memang masih ada. Tapi jiwanya sudah tak terasa bagi Udin yang membuat kesenian teater kini perlahan mulai memudar.
"Dulu mah kalau aktor teater itu pasti penjiwaannya kuat. Dia bisa ngasih sesuatu yang mengejutkan buat yang nonton. Sekarang mah Pak Udin udah nggak liat itu di aktor-aktor yang sekarang. Udah susah kulturnya sama zamannya," ungkap Udin.
Faktor yang Udin rasakan memang terkesan personal. Sebab, keberadaan Rumentang Siang sendiri tak pernah sepi di setiap akhir pekan. Berbagai macam pertunjukan selalu tersaji yang bisa disaksikan siapapun yang tertarik untuk menontonnya.
Tapi tetap saja, Udin tidak pernah bisa menemukan sensasi yang sama dengan pertunjukan teater atau pertunjukan seni peran lain yang pernah ia rasakan pada zamannya. Meski begitu, terselip harapan di benak Udin supaya gaung seni teater di Bandung bisa menggema kembali.
"Kemungkinan yang saya rasakan ini ada di kedisiplinan aktor ataupun yang terlibat di teater, beda dengan zaman dulu mungkin kondisinya. Tapi bagaimana pun, saya tetap berharap ada nama-nama besar lagi yang bisa muncul supaya seni teater di Bandung ini bisa dikenal di Indonesia," tutup Udin mengakhiri perbincangannya dengan detikJabar.
(ral/mso)