Mengenal Permainan Adu Lisung

Kota Sukabumi

Mengenal Permainan Adu Lisung

Siti Fatimah - detikJabar
Sabtu, 27 Apr 2024 20:30 WIB
Permainan adu lisung di Sukabumi.
Permainan adu lisung di Sukabumi. (Foto: Siti Fatimah/detikJabar)
Sukabumi - Permainan dan kesenian tradisional masih berkembang di Kota Sukabumi, salah satunya adu lisung. Secara bahasa, adu berasal dari bahasa Sunda yang artinya beradu, bertubrukan. Sedangkan lisung merupakan alat tradisional dalam pengolahan padi atau gabah menjadi beras.

Permainan ini lahir dan dikembangkan di Ponpes Dzikir Al Fath, Kecamatan Gunungpuyuh, Kota Sukabumi. Nampak beberapa santri berpakaian serba hitam mengangkut lisung dan saling beradu. Siapa yang bertahan, dia yang menang.

Permainan ini ternyata diadaptasi dari legenda di zaman kerajaan Padjadjaran sekitar abad 14. Saat itu ada dua pendekar yakni Ki Tupang dan Nyi Centrik yang memberantas kejahatan perampokan dan pemberontakan. Legenda tersebut tertulis di dalam Kitab Suwasit yang saat ini manuskripnya tersimpan di Museum Prabu Siliwangi, Kota Sukabumi.

"Pada waktu itu Ki Tupang dan Nyi Centrik dan kemudian mereka orang sakti di dalam legendanya terjadi kekacauan ada perampokan di daerah Kampung Padjadjaran maka kemudian Ki Tupang dan Nyi Centrik itu naik Lisung," kata Fajar Laksana selaku keturunan ke-17 Prabu Siliwangi, Sabtu (27/4/2024).

"Lisungnya terbang lalu halunya (tongkat) dan lulumpangnya (tongkat) itu memukul para perampok. Setelah dari kejadian itulah maka kemudian ada yang namanya ngagotong lisung dan kemudian lisungnya diamukkan dan diadukan," sambungnya.

Dia menjelaskan, lisung memiliki tiga lubang yang digambarkan dalam Kitab Suwasit sebagai suatu negara. Lubang di depan adalah Liang Batara Sungki yang berarti kekuatan pemimpin. Lubang di tengah yang paling besar yakni Liang Sang Hyang Agung yang berarti kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian Liang Panjanang yang ada di belakang berarti kekuatan dari rakyat.

"Mengambil filosofi lisung itu kita mendapatkan kemenangan dalam kehidupan maupun dalam kehidupan melawan kejahatan apabila kita memiliki tiga kekuatan. Satu kekuatan spiritual, kekuatan kita dekat dengan Sang Maha Pencipta, kekuatan iman dan taqwa kita," ucap dia.

"Kedua kita punya jiwa kepemimpinan dan ketiga kita punya hubungan dengan lingkungan, dengan masyarakat yang baik sehingga dengan kekuatan yang bersatu maka kita bisa hadapi apapun serangan dari kejahatan maupun buat bangsa dan negara," jelasnya.

Sikap-sikap tersebut digambarkan dengan permainan Adu Lisung. Menurutnya, Adu Lisung merupakan gambaran manusia melawan kejahatan dengan tiga kekuatan tersebut.

Secara teknis, permainan tradisional Adu Lisung dilakukan di lapangan persegi panjang dengan lebar panjang 10 x 5 meter dengan melibatkan dua tim. Masing-masing tim terdiri dari empat pemain, mereka memanggul atau menggotong lisung yang sudah dimodifikasi, lalu lisung tersebut diadu dengan cara didorong oleh para pemain.

Di antara dua lisung yang diadu, dipasang kayu kuncian supaya lisung tidak bergeser ketika saling dorong. Tim yang dapat mengeluarkan lisung lawan akan mendapatkan poin.

"Adu Lisung itu total permainannya 10 menit dimana ada dua Lisung yang kemudian saling dorong-mendorong. Bagi grup yang bisa mendorong lawannya jauh ke belakang maka grup itu yang mendapatkan kemenangan," kata Fajar.

Sama seperti permainan pada umumnya, Adu Lisung juga dipimpin oleh wasit. Permainan ini juga diiringi dengan musik kendang pencak karena hubungannya dengan olahraga pencak silat. Sayangnya, permainan ini hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa.

"Sebetulnya yang bermain ini ada aturan pokok yaitu orang dewasa dan memiliki kekuatan fisik yang kuat karena dia harus memanggul lisung yang cukup berat dan harus memiliki dorongan. Secara keseluruhan tingkat keamanannya sangat aman hanya harus punya kekuatan fisik karena kalau fisiknya tidak kuat dia tidak akan bisa menggotong lisung dan tidak bisa bermain," ujarnya.

Permainan Adu Lisung biasa ditampilkan di Ponpes Dzikir Al Fath dan Museum Prabu Siliwangi ketika ada kunjungan wisatawan, tamu istimewa, dan pejabat. Seperti yang dilakukan oleh para siswa SD Mardi Waluya.

Uke Nila Kusuma selaku Wakasek Kurikulum SD Mardi Waluya menambahkan, ini merupakan kali kedua dirinya mengajak siswa siswi untuk belajar ke Museum Prabu Siliwangi dan Ponpes Dzikir Al Fath sebagai penerapan Kurikulum Merdeka. Dalam kunjungan kali ini, dia membawa 45 siswa dengan lima pendamping.

"Ini luar biasa sekali karena selain menambah pengetahuan anak-anak, kita juga belajar banyak hal, tidak hanya pendidikan atau mata pelajaran saja tapi kita juga belajar banyak tentang kemandirian anak-anak. Kan di sini dari SD sampai kuliah jauh dari orang tua dan mandiri," kata Uke.

"Kedua bisa mengenal kesenian-kesenian yang notabene kami ini dari luar daerah, kita paham tentang budaya, adat istiadat yang ada di Jabar. Kemudian di sini kita juga walaupun bukan muslim tapi diterima dengan baik dengan welcome oleh santrinya, pengurusnya, mereka menerima kami dengan baik sekali," tutupnya. (orb/orb)



Hide Ads