Nama Orang Sunda yang Kini Unik dan Modis

Kota Bandung

Nama Orang Sunda yang Kini Unik dan Modis

Rifat Alhamidi - detikJabar
Rabu, 26 Jul 2023 07:30 WIB
Ilustrasi nama Asep yang mulai ditinggalkan.
Ilustrasi (Foto: Ilustrasi Oris Riswan Budiana/Foto: Lum3n (Pexels)
Bandung -

Bagi Orang Sunda zaman dulu, nama yang diberikan kepada seseorang merupakan hal yang sakral. Orang tua saat itu biasanya tidak sembarangan memberikan nama kepada anaknya, karena ada doa yang terkandung agar si anak hidupnya bisa sukses di masa yang akan datang.

Pada zaman itu, orang tua masih ada yang memberikan nama kepada anaknya dengan menggunakan istilah pangneuneuh atau nama kesayangan hingga istilah panggogo atau panggilan sayang. Maka tak aneh, nama-nama seperti Asep hingga Ujang untuk anak laki-laki, serta nama Eneng dan Euis untuk perempuan pada waktu itu banyak bermunculan.

Namun kini, meski substansi dari nama adalah doa itu tetap dipertahankan, tapi trennya sudah mengalami pergeseran. Orang Sunda sudah tidak lagi memberikan nama kepada anaknya yang masih mengandung unsur kedaerahan. Nama-nama tersebut telah berganti ke istilah Arab, bahkan ke istilah di negara modern seperti Inggris dan lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tren perubahan pemberian nama orang tua untuk anaknya ini kemudian diteliti seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran (Unpad), Rifkia Ali. Hasilnya, orang tua sudah banyak yang tidak menggunakan unsur Bahasa Sunda untuk memberi nama anak-anaknya.

Saat berbincang dengan detikJabar, Ali mengungkap, penelitiannya dibubuhkan dalam skripsi berjudul 'Nama-nama Siswa Beretnik Sunda di SMP Laboratorium Percontohan UPI Kampus Cibiru: Kajian Struktur dan Makna'. Skripsinya itu kemudian meneliti total 425 nama siswa yang ada di SMP tersebut.

ADVERTISEMENT

Hasilnya, dari total jumlah siswa tersebut, Ali menemukan 137 siswa dengan nama beretnik Sunda. Tapi dari data yang ia temukan, seratusan siswa dengan nama beretnik Sunda itu telah menggunakan nama dengan unsur campuran.

"Jadi dari data yang saya kumpulkan, di sekolah itu sudah nggak ada lagi nama anak yang hanya satu unsur kata. Dua unsur kata juga sedikit, mayoritas sudah 3 sampai 4 unsur kata, tapi ada yang 5 sampai 6 unsur kata," katanya belum lama ini.

Ali pun mencontohkan nama-nama siswa yang terdiri dari 2 hingga 6 suku kata tersebut. Mulai dari Kaila Maritza, Luzio Rafif Afandi, Shaquiile Diamar Abidzar Rochendy, Nathree Avia Putri Muchtahar Purnama hingga Neng Wika Nia Shinta Erahma Dina.

"Data yang saya teliti itu menghasilkan 98 data nama dengan beberapa unsur. Ada 17 nama yang terdiri dari 2 unsur kata, 56 yang terdiri 3 unsur kata, 23 yang terdiri dari 4 unsur kata, 1 dari 5 unsur kata dan 1 dari 6 unsur nama tersebut," ucapnya.

Kemudian, Ali juga menemukan nama-nama siswa yang ditelitinya itu mengandur unsur yang unik dan modis. Dari 12 ketegori yang dia pisahkan, ada 2 siswa yang memiliki nama unik dan 4 siswa dengan nama yang modis.

Mereka adalah Radhlya Scharlis Nuraisya dan Muhammad Yudha Crisnandi yang masuk kategori dengan nama yang unik. Kemudian Luzio Rafif Afandi, Nadzira Melva Shaqika, Yafi Kenzie Liharto dan Arkan Athaya Alastair yang masuk kategori nama modis.

"Jadi ada cenderung namanya yang unik dan modis. Setelah saya teliti, ternyata unsur namanya berasal dari Bahasa Skotlandia, Arab, bahkan Bahasa Jepang dan Yunani. Jadi meskipun ada unsur Sundanya, tapi sudah dipadukan dengan bahasa lain," ungkap Ali.

Ali pun berkesimpulan nama-nama anak Orang Sunda itu sekarang unik dan modis karena faktor orang tuanya. Apalagi jika orang tua merupakan milenial yang melek dengan pesatnya pertumbuhan transformasi digital.

"Kecenderungannya memang karena orang tua yang milenial. Terus banyak terjadi perpindahan penduduk, interaksi itu mempengaruhi penggunaan bahasa. Banyaknya informasi ketika era digital, mudah didapat, akhirnya merasa keren. Orang tua ini ingin beda dengan yang lain, itu asumsinya. Meskipun masih ada yang masih menggunakan nama Neng Wika yah misalnya, tapi itu cuma sedikit saja unsur Sundanya. Sekarang sudah banyak perpaduan pakai bahasa lain," kata Ali.

Mengakhiri perbincangan dengan detikJabar, Ali kemudian mengatakan memilih topik ini sebagai skripsinya karena ingin melihat sejauh mana Bahasa Sunda itu masih dipertahankan. Apalagi, sekolah yang ia pilih sebagai tempat penelitian berlokasi di daerah perbatasan antara Kota dengan Kabupaten Bandung.

"SMP ini kan ada di perbatasan antara kota dan kabupaten. Bagi saya, daerah perbatasan itu daerah pertahanan bahasa. Ketika bahasa daerah sudah tidak dipergunakan di daerah perbatasan, tinggal tunggu bahasa itu punah dituturkan sama warganya. Dan yang menarik anak-anak di SMP ini memang sudah bercampur sukunya. Yang dominan itu Jawa, Sunda dan Batak," jelasnya.

Dikonfirmasi terpisah, Guru Besar Bidang Linguistik Unpad Cece Sobarna turut membenarkan ada pergeseran tren dalam pemberian nama anak di zaman sekarang. Cece yang juga menjadi dosen pembimbing skripsi Ali menjelaskan, faktor pergeseran itu merupakan hal umrah yang saat ini terjadi.

"Karena menurut saya semakin terbuka informasi, trennya bergeser. Sekarang banyak acuan yang bisa dipakai untuk memberi nama, kebutuhan teknologi, banyak nama yang bisa jadi acuan, tanpa harus kalau dulu kan ada pedoman dalam memberi nama," katanya saat dihubungi detikJabar.

"Kalau sekarang orang cenderung melihat tren, unik dan gaya. Kalau nama yang memakai panduan atau semacem pakem itu dianggap tradisional. Ini karena perkembangan zaman juga, informasi terbuka. Jadi bisa lebih luas sekarang mah," pungkasnya.

(ral/mso)


Hide Ads