Siapa yang tak kenal dengan menara Eiffel? Ikon di Kota Paris, Prancis itu sering menjadi destinasi wisata yang memiliki daya tarik tersendiri sebagai tempat paling romantis.
Menara yang juga disebut La Tour Eiffel ini memiliki ketinggian 324 meter dan selesai dibangun pada Maret 1889 silam. Sempat menuai kritikan pada awal dibangun, kini Eiffel menjadi ikon kultural global bagi Prancis dan menjadi salah satu monumen paling diakui di dunia.
Di balik peresmian menara Eiffel, ternyata ada peran warga Indonesia yang saat itu tengah dijajah Hindia Belanda. Peristiwa itu direkam oleh seorang jurnalis Frantz Jourdain yang menulis di beberapa koran Eropa. Dia menyebut jika Belanda seolah membawa langsung 'sebongkah kekayaan' Jawa ke Paris.
Kekayaan yang dimaksud adalah kesenian gamelan dan tarian ronggeng Sari Oneng. Para pemain gamelan Sari Oneng yang juga pekerja perkebunan teh Parakansalak, ternyata turut memeriahkan peresmian Menara Eiffel di Paris, Perancis.
Penulis buku Soekaboemi The Untold Story, Irman Firmansyah mengatakan, peresmian menara Eiffel ini sebagai gerbang pameran dunia bertepatan dengan 100 tahun Revolusi Prancis. Pameran itu bertajuk Exposition Universelle yang berlangsung selama enam bulan, dari 6 Mei sampai 6 November 1889 di kaki menara Eiffel.
"Dalam pameran tersebut, Hindia Belanda turut membangun faviliun Le Village Javanais, alias Desa Jawa. Dalam buku pengantar tertera tulisan Le Kampong Javanais, alias Kampung Jawa, di situlah para pemain gamelan Sari Oneng Parakansalak, Kabupaten Sukabumi menunjukkan kemampuan berseninya," kata Irman saat dikonfirmasi detikJabar, Kamis (16/3/2023).
Tujuan Sari Oneng tampil di Paris ternyata Belanda ingin memperlihatkan kedigdayaan di tanah koloninya. Mereka berencana membuat stand pameran di lokasi pameran tersebut. Akan tetapi, pemerintah Belanda saat itu tak punya anggaran untuk mewujudkan tujuannya tersebut.
Akhirnya pihak Javasche Bank yang diketuai Van den Berg menjalin kerjasama dengan keluarga Kerkhoven dan Mundt dari Perkebunan Sinagar dan Parakansalak, Sukabumi. Mereka melakukan pendekatan dengan Sekretaris Englisch Indische Company (semacam VOC-nya Inggris) HP Cowan dan mengajaknya ke Sukabumi untuk melihat penampilan gamelan dan tari ronggeng Sari Oneng.
"Di perkebunan tersebut mereka nampak begitu terpesona akan budaya dan seninya. Mereka juga berpikir untuk membawa seni dan budaya asli Indonesia itu ke Paris," ujarnya.
Niat itu ternyata bukan isapan jempol belaka, mereka membawa wayang golek dan gamelan Sari Oneng yang sebelumnya sempat tampil di Kota Amsterdam. Tak hanya itu, mereka juga berniat untuk menduplikasi kedai teh di Parakansalak dan Sinagar.
Setelah mendapatkan solusi dari segi anggaran, mereka juga harus meyakinkan para pemain gamelan Sari Oneng agar mau berangkat ke Paris. Mereka mengiming-imingi pemain dengan dibuatkan kedai dan bangunan di Pelabuhan Tanjungpriuk, bersama sarana lainnya yang akan dipamerkan dalam stand Kampung Jawa di Paris.
Mundt dan Kerkhoven menyiapkan 40 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan untuk diberangkatkan ke Paris. Khusus delegasi Kampung Jawa dan Sari Oneng yang dikirim ke Paris yaitu 22 laki-laki asal Parakansalak dan Sinagar sebagai tim gamelan dan angklung serta lima penari wanita Parakansalak.
Penyandang dana untuk Kampung Jawa dan Sari Oneng termasuk Wayang Golek bukanlah pemerintah Hindia Belanda, melainkan dua tokoh Kerkhoven dari Sinagar dan Mundt dari Parakansalak.
"Mundt menyiapkan gamelan, wayang golek dan para musisinya. Sedangkan Kerkhoven selain penyandang dana, dia juga mengirimkan sebagian orang untuk menyiapkan minuman teh terbaik yang diberikan secara cuma-cuma di Paris," kata Irman.
Antusias Penonton Gamelan dan Tari Ronggeng Sari Oneng
Sesampainya di Paris, rombongan asal Sukabumi membangun replika rumah khas Sunda, kios dan tempat lain yang diperlukan, termasuk beragam aksesoris hasil produksi Hindia Belanda di tempat jajahan.
"Pemerintah Hindia Belanda seolah membangun kampung mini, rumah-rumah yang mirip aslinya dilengkapi restoran serta kedai kopi dan teh gratis. Semuanya ditempatkan di Esplanade des Invalides (lapangan depan gedung Invalid Paris). Konsep Kampung Jawa ini adalah memamerkan suasana kehidupan nyata desa di Jawa," jelasnya.
Mereka diberi tugas ada yang menjadi pemusik, penari, penyambut tamu dan koki. Sebagian lainnya memperagakan kehidupan masyarakat Sunda, seperti menenun kain, membuat anyaman dan kerajinan. Mereka dilatih menyebutkan nama dan menjelaskan kepada pengunjung.
Le Guide Musical (1889) sebuah media menuliskan berita tentang Kampung Jawa yang menampilkan gamelan Sari Oneng Parakansalak, wayang golek dan angklung oleh pemain dari kebun teh Parakansalak dan Sinagar, Kabupaten Sukabumi. Mirisnya, para pemain musik dan penari itu dipaksa untuk tampil setiap hari.
"Kegiatan pameran serta penampilan gamelan dan penari tersebut berjalan sukses dengan pengunjung yang membludak. Tercatat sebanyak 875.000 orang mengunjungi anjungan ini, dan para pemain gamelan Sari Oneng dipaksa bermain setiap hari untuk memuaskan keingintahuan para pengunjung stand," ungkapnya.
Rombongan asal Sukabumi membawa dua paket gamelan Sunda yang salah satunya diberikan sebagai hadiah dari Pemerintah Belanda kepada Conservartorie Muse de I'Home-Paris. Sedangkan seperangkat gamelan lainnya dibawa dari Parakansalak untuk promosi teh.
"Keberhasilan personel pameran dari Sukabumi sebenarnya tidak lepas dari lobi Belanda karena saat itu Paris kurang diperhitungkan negara-negara Eropa lainnya. Belanda merasa perlu memperlihatkan keunikan koloninya (dari) bantuan kedua pemilik perkebunan di Sukabumi," kata dia.
Baca juga: Nasib Tragis Badak Terakhir di Bandung |
Berkat dukungan kedua pengusaha tersebut, Le Village Javanais berhasil dibangun dengan indah. Keindahan rumah Jawa dengan bahan bambu dan daun kelapa termasuk penampilan gamelan Sari Oneng menjadi daya tarik pengunjung.
Penari-penari yang lincah dan ramah berhasil menyedot ratusan ribu orang. Hal itu diperkuat oleh laporan seorang wartawan majalan Eigen Haard asal Belanda, De Messter yang menuliskan bahwa Kampung Jawa termasuk gamelan Sari Oneng mendapat sambutan paling meriah di antara anjungan yang lain.
Baca Artikel Lorong Waktu Lainnya di Sini
(yum/yum)