Bahasa Sunda yang Memudar dan Nasib Para Gurunya

Bahasa Sunda yang Memudar dan Nasib Para Gurunya

Nur Azis - detikJabar
Minggu, 05 Mar 2023 20:46 WIB
Ilustrasi kata bahasa Sunda dalam KBBI.
Ilustrasi (Foto: Istimewa).
Sumedang -

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat penurunan penggunaan bahasa Sunda di Jawa Barat. Kondisi itu ditambah dengan tidak tersedianya formasi khusus untuk guru bahasa Sunda pada program perekrutan ASN (Aparatur Sipil Negara) baik berstatus PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) maupun PNS (Pegawai Negeri Sipil) saat ini.

Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Sunda SMA Provinsi Jawa Barat Ari Andriansyah menilai nihilnya formasi guru bahasa Sunda lantaran disatukan ke dalam formasi guru seni dan budaya. Hal itu menurutnya langkah keliru.

"Jadi begini, formasinya seni dan budaya tapi yang daftar guru bahasa daerah (bahasa Sunda) yang punya ijazah bahasa daerah, kan itu salah, karena kompetensinya berbeda antara yang ingin mengajarkan seni dan yang ingin mengajarkan bahasa daerah," ungkap Ari yang juga sebagai pengajar di SMAN Jatinangor, Sumedang saat dihubungi detikJabar belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terkait hal itu, lanjut Ari, pihaknya telah mengonfirmasi kepada pihak Disdik Jabar. Dengan jawabannya bahwa hal tersebut telah sesuai sebagaimana formasi yang diajukan oleh pusat.

"Lalu pas kami tanyakan ke pusat, kata pusat bilangnya mereka pun sebagaimana ajuan formasi dari Disdik Jabar, jadi silih teumbleuhkeun (saling lempar jawaban/tanggungjawab)," paparnya.

ADVERTISEMENT

Ia menyebut nihilnya formasi khusus untuk guru bahasa Sunda itu terjadi dari mulai sejak tahun 2020 atau sejak adanya kebijakan pengangkatan ASN dengan status PPPK.

Menurutnya, dengan kebijakan tersebut sudah barang tentu berpengaruh kepada kopetensi guru dalam hal sistem pengajaran.

"Sekarang, nasib rekan-rekan yang sudah diterima jadi ASN PPPK dengan ijazah Bahasa Sunda, itu mengajarnya jadi bingung, jadi ada kebijakan dari pemerintah daerah dari BKD (Badan Kepegawaian Daerah) melalui Disdik Jabar, jadi ketika sekolah tersebut tidak ada guru bahasa Sundanya maka boleh mengajarkan bahasa Sunda tapi kalau di sana tidak ada guru seni budaya maka itu yang diprioritaskan, yaitu mengajar seni budaya karena sebagaimana SK-nya yang tertulis sebagai guru seni budaya," terangnya.

"Jadi sampai sekarang solusinya masih seperti itu dari BKD Jabar, jadi katanya silahkan tergantung kepada sekolahnya. Semisal kalau di sekolah itu sudah ada guru seni budaya maka yang lolos penerimaan PPPK boleh mengajar Bahasa Sunda, tapi kalau di sana tidak ada seni budaya, jangan mengajar Bahasa Sunda tapi dahulukan pelajaran seni budaya," paparnya menambahkan.

Ari mengungkapkan, terkait persoalan tersebut MGMP Bahasa Sunda pun sudah beberapa kali melakukan audiensi bahkan hingga ke tingkat DPR RI. "Namun sejauh ini belum ada jawaban yang memuaskan," terangnya.

Ia menyebut, jumlah guru berstatus ASN yang mengajar bahasa Sunda sekaligus mengajar seni budaya ada sekitar 400 orang untuk setingkat SMA/SMK pada pendataan tahun 2018.

"Jumlah itu mungkin berkurang karena banyak juga yang sudah pensiun," ujarnya.

Sementara untuk guru berstatus non ASN atau honorer yang mengajar bahasa Sunda sekaligus seni budaya, jumlahnya lebih banyak atau ada sekitar 600 orang mencakup semua tingkatan dari mulai SD, SMP hingga setingkat SMA. Jumlah itu, kini bahkan kemungkinan ada ribuan.

"Itu saya melihatnya dari angka lulusan sarjana (bahasa Sunda), UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) saja tiap tahunnya meluluskan sekitar 90 sampai 100 orangan sarjana," terangnya.

Ari menambahkan, para sarjana bahasa Sunda yang ingin menjadi guru pun tantangannya semakin berat . Hal itu lantaran, saat ini ada kebijakan dari pemerintah pusat yang melarang pemerintah daerah untuk merekrut tenaga guru honorer atau non ASN yang baru.

"Jadi sarjana (bahasa Sunda) sekarang itu tidak senyaman dulu, malah ada kewajiban bersertifikasi juga yang mana mereka harus melakukan kuliah lagi PPG (Program Pendidikan Profesi Guru) satu tahun," terangnya.

"Jadi guru sekarang harus bersertifikasi melalui program PPG," ucap Ari menambahkan.

Sekadar diketahui, dalam pembahasan bertajuk Kemampuan Berbahasa Indonesia dan Penggunaan Bahasa Daerah Menurut Generasi, BPS mencatat generasi Pre Boomer (lahir 1945 dan sebelumnya) masih cukup tinggi menggunakan bahasa daerah, terutama Bahasa Sunda di Jabar dengan persentase 84,73 %. Dominasi bahasa Sunda ini masih digunakan generasi Pre Boomer dalam komunikasinya di lingkungan keluarga.

Tapi kemudian, persentase penggunaan Bahasa Sunda mulai menurun ke generasi Baby Boomer (lahir 1946-1964) menjadi 79,9 %. Terus menurun lagi ke generasi Millenial (lahir 1981-1996) menjadi 73,92 %, Gen Z (lahir 1997-2012) 72,44 % dan makin menurun tajam ke generasi Post Gen Z (lahir 2013 hingga sekarang) menjadi 63,99%.

Di pembahasan selanjutnya, BPS juga mencatat persentase penduduk yang menggunakan bahasa daerah di lingkungan tetangga/kerabat mengalami penurunan dari generasi ke generasi selanjutnya. Generasi Pre Boomer yang paling tinggi dengan 83,06 %, kemudian Baby Boomer 78,16 %, Millenial 70,59 %, Gen Z 70,96 % dan menurun drastis penggunaan Bahasa Sunda ini di kalangan generasi Post Gen Z menjadi 63,20%.

Halaman 2 dari 2
(mso/mso)


Hide Ads