Setiap pagi, Pasar Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, selalu ramai dengan aktivitas jual-beli. Sesekali para pedagang sibuk melayani pembeli. Dari hiruk-pikuk geliat ekonomi, warga setempat selalu ramah dalam berkomunikasi. Saat berinteraksi, tak jarang ada satu atau dua kata yang dituturkan terdengar menarik untuk dicermati.
Ya, logat orang Kuningan saat berbicara punya kekhasan tersendiri. Hal ini jadi bentuk distingtif pada gaya berbicara masyarakat setempat yang jarang diketahui.
Wartawan detikJabar mencoba mencari tahu seperti apa keunikan penutur asli di daerah ini. Bila ditelisik lebih jauh lagi, penggunaan bahasa ibu asal Jawa Barat ini sedikit berbeda ketimbang daerah lainnya di Tanah Pasundan, khususnya ketika mereka berkomunikasi.
Lantas bagaimana bahasa ibu asli Jawa Barat tersebut berkembang di Kota Kuda? Seperti apa keunikan penutur aslinya? Berikut pembahasan lengkapnya.
Berkembangnya Bahasa Sunda Orang Kuningan
Untuk mengawali pembahasan ini, kurang elok rasanya jika tidak sedikit membedah prosa yang termaktub dalam naskah kuno karya leluhur orang Sunda. Sebab, gaya bahasanya turut berkontribusi membentuk struktur linguistik yang berkembang sampai saat ini.
Ditilik dari sisi historis, secara umum bahasa Sunda mengalami banyak perkembangan. Di mulai dari era kerajaan, para pujangga di tanah Pasundan memakai aksara untuk menyiratkan pesan moral penuh makna lewat karyanya.
Penggunaan aksara dalam naskah-naskah tersebut, dapat digolongkan menjadi beberapa jenis tergantung pada masanya. Ambil contoh, Sunda Nusantara memakai aksara Dewanagari yang bahasanya adalah Sansekerta. Ada juga aksara Jawi, Kawi, Sunda Kuno, dan Kagana yang termuat dalam manuskrip di era lampau.
"Ada yang namanya bahasa Sunda Kiwari, Bihari dan Kamari, memang berbicara bahasa itu dinamis. Ada pergeseran dan perluasan makna. Itu biasa terjadi di dalam keilmuan linguistik," kata Filolog Kuningan Rany Febriani kepada detikJabar belum lama ini.
Perempuan lulusan magister di Universitas Padjadjaran (Unpad) bidang Filologi ini sudah beberapa kali mengkaji naskah-naskah kuno berbahasa Sunda. Dari hasil temuannya, setiap naskah punya gaya bahasanya tersendiri.
Misalkan seperti wawacan yang menggunakan sistem pupuh. Rany menerangkan, pupuh yang tergolong sebagai prosa kuno itu menerapkan aturan dengan sebutan Purwakanti. Di mana pemakaian kosakatanya lebih halus.
Sedangkan di Kabupaten Kuningan, lanjut Rany, rata-rata manuskrip yang ditemukan ditulis memakai aksara Pegon. Salah satu jenis huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Sunda. Kebanyakan naskah tersebut mayoritasnya adalah produk dari pondok pesantren.
"Kalau yang pernah saya temukan itu masih pakai aksara Jawa dan ada juga naskah produk pesantren yang Pegon," jelas Rany.
Seiring berkembangan zaman, beberapa kosakata atau kecap bahasa Sunda di masa lalu masih digunakan oleh penutur sekarang, termasuk di Kabupaten Kuningan. Meskipun jumlahnya tidak sampai 50 persen.
Seperti yang disebutkan di awal, pergeseran dan perluasan makna kata merupakan hal lumrah yang terjadi dalam ilmu linguistik. Ini juga berlaku pada bahasa Sunda. Sehingga kedinamisan tersebut acap kali melahirkan penutur asli dengan logat dan gaya bahasa yang unik.
Beda Gang Beda Logat, Uniknya Dialek Sunda Orang Kuningan
Secara geografis, hampir sebagian besar wilayah Kabupaten Kuningan terletak di kaki Gunung Ciremai. Umumnya, orang dataran tinggi dikenal sebagai masyarakat ramah dan memiliki intonasi berbicara yang terdengar halus.
Hal tersebut juga berlaku bagi masyarakat di Kabupaten Kuningan. Sebab, jika dibandingkan dengan kota tetangga seperti Cirebon, maka akan sangat terasa perbedaannya. Di mana beberapa daerah di Cirebon juga memakai bahasa Sunda untuk berkomunikasi.
Baca juga: 5 Lirik Lagu Sunda Terpopuler |
Lebih jauh lagi, orang Kuningan ternyata punya ciri khas dan keunikan tersendiri ketimbang masyarakat Sunda di Jawa Barat. Bahkan di sini, beda desa saja logatnya tidak akan serupa.
Masih disampaikan Rany, kekhasan bahasa Sunda yang dituturkan masyarakat asli Kuningan terletak pada lentong, dialek dan logatnya. Di mana saat berbicara, intonasinya akan terdengar lebih tegas.
"Dibandingkan dengan Sunda Parahyangan jelas berbeda. Kalau dari logat, dialek dan lentong itu orang Sunda pada umumnya halus dan mendayu. Kalau Kuningan lebih tinggi serta tegas," ujar Rany.
Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh penjelasan yang disampaikan Kabid Kebudayaan Disdikbud Kabupaten Kuningan, Emup Muplihudin. Menurutnya, jangankan di satu kabupaten, antar desa di satu kecamatan juga punya keunikan.
Emup mencontohkan, dialek orang Darma, dengan Paru atau Cikupa sangat berbeda. Ciri khasnya terletak pada kecap dan dialek yang dituturkan.
Disamping itu, beberapa kosakata Sunda di Kuningan ada yang berkembang hanya di daerah ini dan terdapat juga kecap yang seringkali punya makna berbeda di daerah lain. Emup menyebut, kekhasan diberi nama Sunda Wewengkon Kuningan.
Misalnya saja kecap seperti gendul, senteung, menit, kemudian teoh, doli, dan ageh, hanya diketahui oleh orang Kuningan dan sekitarnya.
"Definisi Sunda Wewengkon Kuningan itu pertama kecap atau kosakata yang hanya ada dan berkembang di Kuningan. Jadi di daerah lain tidak ada. Kemudian ada kecap yang berkembang di Kuningan dan di daerah lain juga ada. Tapi punya makna berbeda," jelas Emup.
Tidak hanya itu saja, Kabupaten Kuningan memiliki kecap paneges dan panganteur. Kosakata tersebut memiliki fungsi teramat penting saat orang Kuningan berkomunikasi dengan lawan bicaranya.
"Persoalan kasar atau tidaknya, tinggal dilihat dari undak-usuknya. Misalnya bagaimana kita berbicara dengan orang yang lebih tua," papar Emup.
Secara kuantitatif jumlah kecap Sunda Wewengkon Kuningan memiliki sekitar 2.227 kosakata. Mengingat sifat bahasa ini arbiter dan dinamis, maka kemungkinan ada penambahan 17 kecap baru. "Kita akan coba dokumentasikan dalam bentuk kamus di dalam edisi yang ketiga," ungkapnya.
Upaya Melestarikan Bahasa Sunda Khas Orang Kuningan
Setiap tanggal 21 Februari, menjadi momen yang tepat untuk melestarikan bahasa Sunda. Sebab tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.
Diakui Emup, tanggal tersebut dapat dijadikan sebagai momen yang pas dalam mengenalkan program-program yang dipandang mendukung terhadap pelestarian bahasa Sunda. "Kaitan masalah penutur bahasa Sunda itu menjadi kekhawatiran, sebab penutur hilang maka bahasanya akan hilang," tuturnya.
Di Kuningan, tambah dia, meskipun banyak keluarga yang memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi tetapi kecap Sunda masih sering dipakai. Hanya saja, dari tata bahasanya kurang tepat.
Atas dasar itulah, perlu adanya upaya kampanye penguatan pentingnya pelestarian bahasa Sunda. "Kita di bidang kebudayaan juga selalu berusaha, meskipun ikhtiar pelestarian bahasa Sunda tetap menjadi prioritas," pungkasnya.