Kampung Adat Cireundeu di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, punya sebuah tradisi unik. Di sini kebiasaan warganya mengonsumsi beras dari singkong atau dikenal dengan rasi.
Sejak 1918 silam, warga kampung adat yang dikelilingi perbukitan itu mengonsumsi singkong dan berbagai macam olahannya sesuai dengan tuntunan dari leluhur.
Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya menyebut leluhur mereka sudah berada beberapa langkah lebih maju dibanding dengan masyarakat modern saat ini. Sebab seolah-olah mereka tahu kalau masyarakat suatu saat bakal ketergantungan pada beras di kemudian hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebiasaan itu awalnya dari tahun 1918, jadi baru sekitar 100 tahun lebih. Tujuan dari leluhur kami itu lebih ke sebuah tuntunan supaya tidak ketergantungan (pada beras)," ujar Abah Widiya kepada detikJabar, belum lama ini.
Namun tradisi turun-temurun itu mulai terkikis perkembangan zaman. Itu erat kaitannya dengan sebagian masyarakat di Kampung Adat Cireundeu yang mulai mengonsumsi beras padi atau olahannya berbentuk nasi.
Berdasarkan penuturan Abah Widi, kini sekitar 50 persen masyarakat Kampung Adat Cireundeu sudah mengonsumsi beras padi. Memang, kebanyakan merupakan mereka yang datang dari luar atau menikahi orang 'Cireundeu'.
"Ada yang makan nasi, bahkan menantu dan cucu abah juga makannya nasi (beras padi). Ya itu kan pilihan, tapi kalau abah, istri, dan anak-anak sejak zaman dulu makannya rasi sesuai tuntunan leluhur," kata Abah Widi.
Upaya Melestarikan Tradisi dan Adat Istiadat
Melestarikan tradisi menjadi tugas berat bagi segenap warga Kampung Adat Cireundeu. Gempuran teknologi dan perkembangan zaman sedikit-demi sedikit mulai menampakkan hasilnya seperti yang telah disebutkan.
Padahal, tradisi di Kampung Adat Cireundeu menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung dan peneliti yang datang. Apalagi soal kebiasaan mengonsumsi singkong di tengah slogan 'belum makan kalau belum makan nasi'.
"Memang siapapun tidak bisa menolak kemajuan teknologi dan sebagainya karena itu memang kebutuhan. Tetapi adat juga memiliki konsep, memiliki aturan, dan itu juga yang ada di Cireundeu," ucap Abah Widi.
"Hal paling sederhana itu kan melalui pertemuan sesepuh, pertemuan nonoman, pertemuan anak-anak kecil. Semua itu upaya yang harus dilakukan menjaga Cireundeu ini tergerus budaya dan perkembangan zaman," ujar dia menambahkan.
![]() |
Misalnya ketika banyak generasi muda dan orang-orang baru yang bermukim di Kampung Adat Cireundeu, rasi mulai tersisihkan. Namun baginya, tuntunan leluhur punya maksud dan tujuan tertentu sehingga ia akan selalu mengonsumsi rasi.
"Abah itu tidak terpikirkan makan selain rasi. Karena yang namanya makanan itu kan bukan sekadar gaya makannya, bukan cuma soal apa yang kita makan. Tapi lebih dari itu ada tuntunan leluhur, ada nilai-nilai tradisi," ucap Abah Widi.
Saat pemerintah ketakutan masyarakatnya kelaparan, saat itu juga ia menilai ada yang salah pada sistem dan pola pikir. Sebab bentangan alam di Indonesia, tak pernah berhenti menyuguhkan sesuatu yang bakal menjauhkan seseorang dari kelaparan.
"Ngapain harus impor, ketika Indonesia ini luas. Sawah di mana-mana, kebun terhampar. Sama seperti Cireundeu, tidak pernah takut kelaparan karena tidak ketergantungan pada beras. Orang tidak sadar bahwa singkong bisa menggantikan nasi, makanya singkong melimpah karena sedikit yang mengonsumsinya," tutur Abah Widi.
"Sesepuh kami itu sudah melihat negara ke depannya akan seperti apa, dibarengi dengan pertumbuhan manusia yang semakin banyak dan melihat sisi pengikisan alam, itu kan bisa menjadi masalah. Berbicara tentang kelaparan itu orang bodoh karena ketergantungan dengan beras," ujar Abah Widi.