Menyingkap Makna Filosofis Rumah Rangken Khas Indramayu

Menyingkap Makna Filosofis Rumah Rangken Khas Indramayu

Sudedi Rasmadi - detikJabar
Selasa, 06 Des 2022 09:00 WIB
Rumah rangken Indramayu yang hampir punah.
Rumah rangken Indramayu yang hampir punah. (Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar)
Indramayu -

Eksistensi rumah rangken khas Indramayu, Jawa Barat yang kian punah memiliki sejarah panjang peradaban masyarakat Indramayu. Bentuk rumah tradisional yang unik ini pun konon sarat akan makna filosofis.

Salah satunya rumah tinggal Sukanto (50) warga Pabean Ilir, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu yang tinggal di rumah rangken. Meski nyaman, namun Sukanto dan keluarga berharap bisa membangun rumah modern dengan mengganti bentuk tempat tinggal orang tua terdahulu.

"Kepingin rumah seperti umumnya. Tapi nggak ada biaya. Dan terkadang malu karena sering dianggap rumah orang miskin banget," kata Sukanto saat ditemui detikJabar, Senin (5/12/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rumah rangken ini, berdiri sekitar seratusan tahun silam. Terbukti, kerangka rumah milik Sukanto ini masih menggunakan kayu jati yang konon sejak zaman kakek-buyutnya.

"Kalau saya sih baru tinggal 24 tahunan. Tapi katanya tiang atau saka kayu jati ini sudah berusia seratus tahunan dari semenjak buyut," lanjut Sukanto.

ADVERTISEMENT

Asal-Usul Rumah Rangken

Selain pengakuan warga, salah satu pemerhati budaya Indramayu, Ucha M. Sarna, belum lama ini menjelaskan bahwa rumah rangken tak lepas dari peradaban masyarakat setempat dengan disesuaikan potensi alam sejak seratusan tahun silam.

Wilayah yang berada di pesisir tumbuh pepohonan yang kemudian dimanfaatkan warga sebagai bahan material tempat tinggal. Terutama pohon jati dan kelapa yang dijadikan saka atau kerangka utama serta daun nipah dari pohon jembatu sebagai bahan atapnya.

"Itu tadi, mungkin cara berfikir warga dulu yang penting rumah aman dan nyaman. Dan di sekitar situ banyak pepohonan terutama daun nipah dari pohon jembatu yang dijadikan atapnya," kata Ucha M. Sarna belum lama ini.

Bentuk Rumah dan Bagiannya

Rumah rangken yang populasinya hampir punah ini memiliki bentuk yang khas. Model rumah rangken lebih mirip rumah tradisional Jawa pada umumnya. Yakni berbentuk limasan namun menggunakan kearifan lokal Indramayu.

Kata warga Ramun (50) rumah rangken terbuat dari bahan utama kayu jati, kelapa atau kayu lainya sebagai kerangka utama (Saka). Terdapat 4 kayu utama sebagai tiang atau saka dengan tinggi 4 meter untuk membentuk kerangka utama di bagian tengah bangunan.

Bambu juga sebagai material dominan dalam pembuatan rumah rangken tersebut. Dimana, pager atau dinding memakai anyaman bambu atau geribig. Dan sejumlah tiang penyangga (Wengkilas) yang juga dari bambu.

Rumah rangken Indramayu yang hampir punah.Rumah rangken Indramayu yang hampir punah. Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar

Bentuk rumah semakin terlihat eksotis pada bagian atap. Dimana, atap rumah rangken memakai bahan daun nipah dari pohon jembatu. Kemudian di tata menjadi welit sebelum dilakukan tradisi memayu atau memasang atap sehingga disebut rangken.

"Yang punya kebun bisa ambil sendiri daun nipah nya, tapi yang gak punya harus beli, harganya Rp. 3.000,- per welit. Dinding pakai pager (geribig) dan kayu sebagai kerangka. Ini kayunya sudah 100 tahun mah ada sejak buyut," kata Ramun.

Dikatakan Ramun, bagian luar rumah terdapat latar (halaman depan rumah). Juga terdapat emper (teras) sebagai bagian tampak depan rumah. Dan grimah atau tritis (samping dan belakang rumah).

Bagian dalam rumah rangken tidak banyak variasi. Mayoritas, rumah tradisional ini hanya terdapat bagian utama ruang tamu yang disebut blandongan. Kemudian jobong atau kamar sebagai tempat istirahat dan pawonan atau dapur.

"Di dalamnya sih blong aja, tapi kita pakai sekat-sekat untuk dijadikan kamar. Dan biasanya kita buat gembolan sebagai dapurnya," kata Ramun sambil menunjukan denah rumah rangken.

Sarat Makna Filosofis

Kesederhanaan bentuk rumah rangken ternyata memiliki sarat makna filosofi hidup. Warga setempat mempercayai bahwa bentuk dan bahan rumah rangken juga menggambarkan perilaku maupun tuntutan hidup.

Ramun jelaskan, konon, rangkaian utama rumah pada 4 pilar penyangga atau saka dan 1 kayu bagian atas yang disebut suhunan, tergambar dalam kehidupan sehari-hari.

"Istilahnya 4 sedulur lima pancer, yang pancernya itu menunjuk pada diri kita," ujar Ramun.

Ramun tidak menjelaskan rinci. Namun, ia menyakini bahwa nama setiap rangka dan bentuknya punya makna. Seperti halnya tiang penyangga (wengkilas) yang selalu berjumlah genap dari 4 sampai 8 tiang. Tingginya pun tidak lebih dari 1,5 meter.

"Jadi tinggi wengkilas itu lebih rendah dari kita hanya memperhitungkan kemiringan emper agar air mudah jatuh ketika hujan. Namun di sisi lain, itu pun menuntun agar tamu menghormati tuan rumah karena ketika orang dewasa masuk pasti nunduk," kata Ramun.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads