Perburuan Gigi Hiu Purba Cikal Bakal Museum Megalodon Pertama di RI

Jejak Kehidupan Purba di Jawa Barat

Perburuan Gigi Hiu Purba Cikal Bakal Museum Megalodon Pertama di RI

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Sabtu, 20 Agu 2022 10:27 WIB
Gigi hiu purba Megalodon di Surade, Kabupaten Sukabumi
Gigi Megalodon saat diburu (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Pada tahun 2020 warga Kampung Cigintung, Desa Gunungsungging, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi geger dengan ditemukannya benda yang belakangan diketahui sebagai fosil gigi megalodon atau hiu purba yang hidup jutaan tahun silam.

Temuan yang awalnya hanya dikira batuan unik biasa itu dikenal warga dengan sebutan huntu gelap. Sampai kemudian ada warga yang mengetahui bahwa benda keras itu adalah fosil dan bernilai jual tinggi. Sontak, eksplorasi besar-besaran dilakukan warga.

Alhasil, area pesawahan hingga kebun jadi sasaran penggalian. Ramai-ramai saat itu warga membuat akun rekening virtual Paypal karena peminat fosil tersebut juga berasal dari luar negeri mulai dari Amerika, Brazil dan China. Nanang, Kades Gunungsungging, mengatakan harga tergantung pada ukuran fosil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan menurut Nanang saat itu sampai ada yang menjual fosil itu dengan harga Rp 150 juta karena memiliki ukuran panjang sampai 19 sentimeter.

"Banyak warga kaya mendadak, mulai dari bangun rumah sampai daftar haji," kata Nanang, saat disambangi detikJabar pada Rabu (13/1/2021) silam.

ADVERTISEMENT

"Dulunya dipasarkan melalui tengkulak dikirim pakai jasa kurir biasa, pembayarannya melalui Paypal. Nah yang punya paypal di sini hanya sekitar 3 orang, pembelinya dari beberapa negara namun paling mahal itu dari Amerika, negara lainnya Brazil dan China," sambung dia.

Eksplorasi gila-gilaan yang berlangsung hingga tahun 2021 itu dianggap wajar oleh sebagian pihak karena belum adanya regulasi. Namun aktivitas itu kemudian perlahan mereda seiring dengan kedatangan sejumlah peneliti ditambah dengan adanya perhatian dari Pemkab Sukabumi. Secara khusus Bupati Sukabumi Marwan Hamami mendatangi lokasi itu.

Saat itu Marwan berharap aktivitas perburuan fosil gigi hiu purba atau Megalodon oleh warga dihentikan. Menurutnya, fosil yang diperkirakan berusia jutaan tahun itu bisa tetap berada di tempatnya guna penelitian lebih lanjut.

Gigi hiu purba Megalodon di Surade, Kabupaten SukabumiGigi hiu purba Megalodon di Surade, Kabupaten Sukabumi Foto: istimewa

Marwan mengaku sudah menyambangi Kampung Cigintung, Desa Gunungsungging, Kecamatan Surade dan melihat bongkahan fosil tersebut. "Rencananya lokasi tersebut kita jadikan cagar alam geologi, guna pelestarian cagar alam geologi," kata Marwan, Rabu (13/1/2021) silam.

Tidak perlu waktu lama, aktivitas itu dihentikan. Sejumlah peneliti secara serius memetakan lokasi tersebut. Lambat laun terbangun Museum yang diinisiasi warga yang peduli dengan fosil prasejarah dan sejumlah peneliti berikut dukungan dari Museum Geologi Bandung.

"Alhamdulillah, kini sudah ada Museum di lokasi ini. Kalau bangunan masih punya Pemerintah Desa kalau etalase dan lainnya itu dari Museum Geologi Bandung. Turun dari Bandung peneliti Geologi Bandung mereka Pak Oman, Pak Andi dan Pak Johan bahkan sudah ada Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral yang merupakan kajian mendalam soal kondisi wilayah ini di masa lampau termasuk keberadaan fosil megalodon," kata Mansyur, pengelola Museum Megalodon kepada detikJabar, Selasa (16/8/2022).

Johan yang dimaksud Mansyur adalah Johan Budi Winarto yang diketahui merupakan petugas dari Badan Geologi Bandung. Nama Johan tertulis di Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral yang diberikan oleh Mansyur kepada detikJabar.

Mansyur sendiri adalah warga asli yang tinggal di Desa Gunungsungging. Berbeda dengan warga lainnya yang sempat 'demam' berburu fosil megalodon, Mansyur lebih memilih untuk memperdalam pengetahun soal fosil yang ditemuian di desanya itu. Berbekal pergaulannya dengan sejumlah peneliti, kini ia sedikit mengetahui soal asal muasal fosil tersebut.

"Lokasi tempat kami tinggali ini dulunya puluhan juta tahun silam atau di zaman Miosen adalah lautan purba,saat ada es di kutub mencair hewan purba ini bermigrasi ke kawasan ini karena mencari suhu yang hangat. Namun seiring itu terjadi letusan gunung purba yang diperkirakan di wilayah (Kecamatan) Simpenan sehingga lahar erupsinya membuat hewan purba terjebak dan akhirnya mati meninggalkan fosil gigi," ujar Mansyur, pengetahuan inilah yang kemudian membuatnya mendapat tugas sebagai pengelola di museum tersebut.

Mansyur terlihat piawai menyebut sejumlah istilah dalam geologi, namun ia berusaha menyederhanakan istilah itu agar mudah dimengerti. Hal itu yang juga ia praktikan kepada para pengunjung termasuk wisatawan yang mampir ke Museum Megalodon pertama di Indonesia tersebut.

Mansyur mengatakan sejak ekplorasi fosil hingga berdirinya museum itu juga mendapat perhatian dari Profesor Mega Fatimah Rosana, Guru Besar dalam Ilmu Geologi Eksplorasi pada Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran.

Profesor Mega juga salah satu tokoh sentral yang mempelajari kawasan Ciletuh hingga ditetapkan oleh UNESCO sebagai bagian dari jaringan Global Geopark dunia.

"Beliau beberapa kali ke lokasi kami, karena bagaimanapun tempat ini secara resmi menjadi bagian dari kawasan Geoheritage di dalam Geopark Ciletuh Palabuhanratu. Bahkan saat validasi kemarin, pihak UNESCO menyambangi lokasi ini beberapa waktu lalu terlihat terpukau dengan fosil yang tertata di museum ini," paparnya.

Gigi hiu purba Megalodon di Surade, Kabupaten SukabumiGigi hiu purba Megalodon di Surade, Kabupaten Sukabumi Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar

Kini seiring dengan perhatian berbagai pihak, aktivitas perburuan dihentikan. Warga mulai menikmati keberadaan museum yang kini menjadi salah satu sektor penunjang infrastruktur kawasan. Jalanan kini sudah mulus teraspal, berbagai landmark wisata kreatif satu persatu tumbuh.

"Keberadaan museum kini membuat masyarakat bangga, mereka mulai menyadari bahwa desa bisa maju dengan adanya peninggalan masa lampau yang bisa diwariskan nantinya. Mereka tidak tergoda lagi dengan uang penjualan fosil. Jalan di lapen di aspal, masyarakat melihat berarti adanya museum pembangunan bisa dirasakan," ujarnya.

(sya/yum)


Hide Ads