Fikri Baihaqi begitu antusias mengikuti kegiatan Cafe Religi di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kebonjati Kota Bandung. Memang bukan kali pertama Fikri hadir dalam acara yang sama, namun baginya semangat toleransi harus tetap membara.
Saat Fikri mendapat undangan sebagai peserta acara cafe religi bertema 'Imah Urang Sadaya' atau rumah kita semua, Fikri langsung mengamini di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa tingkat tiga di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Cafe religi merupakan kegiatan rutin yang digelar GKI Kebonjati. Sesuai dengan tema, maka beragam agama hadir di acara itu, seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, Tao, Konghucu, Bahai dan penghayat. Mereka berkumpul, bertukar informasi, dan menjaga semangat bertoleransi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fikri tiba di GKI Kebonjati bakda Asar, Jumat (29/4/2022). Setelah melewati serangkaian pemeriksaan kesehatan, Fikri langsung mendapatkan nomor kelompok. Sekadar diketahui, cafe religi ini berkonsep tanya jawab. Para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing masing kelompok akan berkunjung ke ruangan yang di dalamnya terdapat narasumber dari berbagai agama.
Fikri bergabung dengan kelompok enam. Ia bersama rekannya awalnya masuk ke ruangan yang berisi narasumber beragama Kristen. Peserta mendapatkan tentang penjelasan soal Kristen. Kemudian dilanjutkan ke narasumber lain dengan latar belakang yang berbeda.
Usai acara tanya jawab dengan narasumber dari berbagai latar belakang agama yang berbeda, para peserta dikumpulkan di ruang utama gereja. Fikri terdiam saat duduk di bangku ruang utama gereja. Ia mengaku begitu kagum atas perbedaan yang ada.
"Perbedaan adalah rahmat, itu jelas benar menurut Islam. Perbedaan yang ada ini melahirkan kasih sayang, bukan perpecahan," kata Fikri saat berbincang dengan detikJabar.
Cafe religi membuat Fikri semakin paham soal toleransi. Fikri merupakan pemuda yang lahir di lingkungan yang mengajarkannya untuk toleran sejak dini.
"Dulu nenek saya sering menjaga anak tetangga, ya yang beragama Kristen. Nenek mengajarkan untuk berbagi ke sesama, walaupun ada perbedaan," kata mahasiswa semester enam itu.
"Tentu kegiatan ini berkesan bagi saya. Terlebih lagi, yang menggerakkan acara ini adalah anak-anak muda. Jadi kelihatan banget semangat anak mudanya dalam menggaungkan toleransi," kata Fikri menambahkan.
Kegelisahan Anak Muda
Cafe Religi bertujuan untuk menggaungkan makna Bhineka Tunggal Ika. Ketua Panitia Cafe Religi Andikha Dwi Putra mengatakan kegiatan yang melibatkan seratusan pemuda dari berbagai lata belakang yang berbeda itu bertujuan untuk lebih saling mengenal. Dengan saling kenal, maka terjalin rasa saling menghargai.
Andikha tak ingin anak muda terjebak dalam pusaran politik praktis yang mengatasnamakan agama. Andikha bersama pemuda lainnya gelisah dengan munculnya isu-isu intoleransi karena perbedaan pandangan politik.
"Memang ini kegelisahan kami. Kita dulu itu bangsa besar. Banga dengan ragam perbedaan, termasuk politik. Kita meyakini bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, bukan menghancurkan agama lain," kata Andikha yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Kerja Multi Kultural GKI Kebonjati.
Andikha sengaja mengundang para peserta dari kalangan anak muda. Sebab, lanjut dia, anak muda merupakan generasi bangsa. "Mereka kelak menjadi pemimpin bangsa. Tentunya harus menghargai perbedaan," kata Andikha.
Pria lulusan STMIK LIKMI itu mengajak agar pemuda berani melawan upaya adu domba antarkelompok demi kepentingan politik. Sebab, hal itu bisa mengikis rasa toleransi antarkelompok.
"Intoleransi karena kepentingan politik. Kenapa bawa-bawa agama. Ya kegelisahannya itu," kata Andikha.
(sud/mso)