Lesu Gerak Roda Usaha Produksi Keset di Tasikmalaya

Lesu Gerak Roda Usaha Produksi Keset di Tasikmalaya

Faizal Amiruddin - detikJabar
Jumat, 21 Jun 2024 07:00 WIB
Perajin keset kaki anyaman kain di Tasikmalaya tengah tekun bekerja
Perajin keset kaki anyaman kain di Tasikmalaya tengah tekun bekerja (Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar).
Tasikmalaya -

Perajin keset kaki di wilayah Kecamatan Purbaratu, Kota Tasikmalaya tengah kelimpungan menghadapi kondisi usahanya yang tak menentu. Bisnis daur ulang atau pemanfaatan limbah konveksi ini dikepung banyak permasalahan. Mulai dari masalah sulit bahan baku hingga pemintaan pasar yang kian menurun.

Padahal beberapa tahun lalu, bisnis ini cukup menjanjikan. Salah satu indikatornya bisa tembus pasar ekspor. Meski demikian sebagian pelaku usaha keset kaki berbahan kain ini bertekad untuk tetap bertahan, seraya berharap roda usahanya kembali berputar kencang.

"Bahan baku semakin susah, banyak penipuan juga. Saya juga berkali-kali kena tipu sampai hampir bangkrut," kata Ade Yayah didampingi suaminya Abay Bayanudin, perajin keset kaki di Kampung Cibodas Kelurahan Sukajaya Kecamatan Purbaratu, Kamis (20/6/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasangan ini merupakan perajin keset kaki anyaman dari bahan limbah kain sisa produksi atau kain perca. Mereka tak sendiri di wilayah kelurahan ini ada puluhan pelaku usaha serupa. Masalah ketersediaan bahan baku menjadi salah satu kesulitan yang dihadapi.

Bahan baku yang mereka perlukan memang kain sisa potongan atau limbah garmen, namun potongan kain itu harus memiliki panjang minimal 60 sentimeter, sesuai dengan rata-rata panjang keset kaki.

ADVERTISEMENT

"Nah waktu itu saya beli 7 ton bahan baku dari Semarang, pas datang ke sini ternyata kainnya pendek-pendek, ya mana bisa dibuat keset kaki, akhirnya jadi sampah saja," kata Ade Yayah.

Padahal bahan baku 7 ton itu nilainya mencapai Rp 20 juta. Kerugian itu membuat usahanya oleng. Ironisnya kejadian itu berkali-kali, baik pasokan dari wilayah Jawa Tengah mau pun pasokan dari Bandung.

"Ya beberapa kali tertipu, tapi yang terbesar yang 7 ton itu. Itu waktu zaman pandemi COVID-19, kerugiannya masih terasa sampai sekarang karena modalnya dulu pinjaman bank, sampai sekarang masih nyicil," kata Ade Yayah.

Yayah mengatakan, penurunan usahanya terjadi sejak pandemi hingga sekarang. Saat ini kapasitas produksinya relatif minim. Hanya sekitar 20 kodi seminggu, dengan melibatkan sekitar 5 orang pegawai.

Kondisi ini kontras jika dibandingkan sebelum pandemi. Yayah bisa memproduksi sekitar 200 kodi seminggu, karena ada pengepul yang mampu menembus pasar ekspor. "Dulu barang kita masuk ke India, Korea dan Malaysia. Sejak pandemi semuanya berhenti," kata Ade Yayah.

Dia berharap pasar potensial itu bisa kembali, sehingga usahanya menggeliat lagi sehingga bisa membantu kembali warga sekitar yang turut terlibat dalam proses produksi. "Ya inginnya bisa ekspor lagi, tapi tak tahu bagaimana caranya. Soalnya dulu juga kita tidak tahu apa-apa, hanya fokus produksi saja," kata Ade Yayah.

Kini Ade Yayah mengaku, hanya bertahan dengan memasok ke pasar lokal. 20 kodi seminggu dia jual ke pedagang di Pasar Cikurubuk. "Sekarang mah bertahan saja, asal jalan saja. 20 kodi ke Pasar Cikurubuk juga kadang-kadang tersendat, karena penjualannya sepi, banyak produk keset kaki dari luar, dari China," kata Ade Yayah.

Terkait harga jual pun sekarang kian menurun, di tingkat produsen keset kaki anyaman kain ini dijual Rp 75 ribu per kodi, jatuhnya Rp 3750 per pcs.

Mengenang Masa Kejayaan

Meski usahanya sedang lesu, Abay mengaku optimistis keset kaki anyaman kain ini akan bisa bertahan karena memiliki keunikan dan kualitas yang bagus. Produk keset kaki ini merupakan kreatifitas dari perajin anyaman mendong.

"Jadi di dekade 2000-an awal, mendong kan sepi. Ada kemarau panjang, sehingga pohon mendong habis. Akhirnya warga di sini mencoba berkreasi membuat keset kaki dari kain-kain sisa," kata Abay.

Dalam proses produksinya mereka juga menggunakan alat menganyam mendong atau warga setempat menyebutnya tustel. "Nah dari sana ternyata bagus, banyak yang berminat. Mulailah banyak warga yang terjun jadi perajin keset kaki," kata Abay.

Dari Tasikmalaya, produk keset kaki ini merajai pasar di Tanah Air. Menyebar ke berbagai daerah. "Saya juga dulu sekali ngirim pakai mobil, saya juga punya mobil. Sekarang mah mobilnya juga sudah tak ada. Dulu mah harganya bagus, sampai Rp 100 ribu per kodi, sekarang kan hanya Rp 75 ribu," kata Abay.

Terkait kondisi usahanya saat ini, Abay mengaku tak bisa berbuat banyak selain bertahan dan melayani pasar yang tersisa. Untuk menghindari risiko membeli bahan baku yang tak sesuai kebutuhan, dia memilih membeli dalam skala kecil. "Takut tertipu lagi jadi belinya sedikit-sedikit saja dan dari penjual yang dekat saja," kata Abay.

Di tempat terpisah Camat Purbaratu Yogi Subarkah mengatakan masyarakat Purbaratu mayoritas terjun di sektor industri kreatif. "Ya wilayah kami memang banyak pelaku UMKM yaang bergerak di industri kreatif atau kerajinan. Ini memang potensi besar yang harus kami maksimalkan," kata Yogi.

Selain industri kerajinan berbahan baku limbah, di wilayahnya juga banyak pelaku usaha makanan olahan dan yang paling terkenal adalah kerajinan mendong.

"Selama ini kami pun sudah berusaha untuk mendorong pengembangan usaha mereka. Misalnya untuk pelaku usaha makananan olahan, kami fasilitasi perizinan dan sertifikat halalnya. Selain itu kami juga fasilitasi pelatihan digital marketing bagi mereka," Yogi.

Khusus untuk perajin keset kaki, Yogi mengakui selama ini memang belum ada bantuan atau upaya intervensi yang dilakukan. Pihaknya menilai geliat usaha mereka baik-baik saja.

"Kalau keset kaki memang belum kami lakukan intervensi, kami mengira mereka sudah berjalan dan berkembang dengan baik. Jika memang ada kendala, dalam waktu dekat kami akan berkomunikasi untuk mencari tahu apa masalahnya, siapa tahu pemerintah bisa bantu," kata Yogi.

(mso/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads