Harapan Para Pakar Perubahan Iklim untuk Presiden RI Mendatang

Harapan Para Pakar Perubahan Iklim untuk Presiden RI Mendatang

Wisma Putra - detikJabar
Jumat, 15 Des 2023 17:00 WIB
Konferensi Pers Simposium Pusat Perubahan Iklim ITB 2023
Konferensi Pers Simposium Pusat Perubahan Iklim ITB 2023 (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Proses pemilihan Capres-Cawapres untuk Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2024-2029 masih bergulir. Presiden RI mendatang diharapkan dapat menciptakan transisi energi yang berkeadilan di Indonesia. Hal tersebut dikatakan Kepala Pusat Perubahan Iklim ITB Prof Djoko Santoso Abi Suroso.

"Saya hanya bisa mengatakan bahwa, hasil riset kami itu menyimpulkan kepemimpinan nasional ini tidak cukup kuat mendorong transisi energi terbarukan. Sebenarnya, hari ini masuk dalam nawacita, tapi tidak kuat," kata Djoko Santoso di Gedung Pusat Perubahan Iklim ITB.

Seperti diketahui, pemerintah berencana bakal menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pada 2025. Namun menurut Djoko, hal itu juga belum tentu baik dalam transisi energi ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau kita dapat new leader ke depan, yang mampu memandu kita bahwa harus hati-hati dan dipahami, bukan berarti langsung menghentikan batu bara itu bagus, itu juga tidak adil energi trasisi," ungkap Djoko.

"Transisi energi perspektif globalnya adalah negara yang mengemisi, dia harus tanggungjawab menurunkan, kan gitu," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Djoko berharap, pemerintah mendatang memberikan aturan ketat terhadap pengusaha dalam fase transisi energi.

"Dari pandangan saya, ini tidak bisa dilepaskan ketika kita bicara transisi energi. Terlalu memberi ruang kepada pengusaha dan kemudian jadi pengusa dan mudah memengaruhi kebijakan," ujarnya.

Dalam proses transisi energi, anggota Tim Penelitian SNAPFI PPI-ITB Dr Niken Prilandita memberikan sorotan terhadap Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) yang direncanakan rampung tahun depan.

Niken menyebut, keberadaan RUU EBET ini dinilai penting, apalagi pemerintah menargetkan penurunan emisi 29 persen di tahun 2022.

"Makannya itu kemungkinan pentingnya undang-undang EBET bahwa salah satu kontributor penurunan energi baru dan terbarukan. Dengan ada undang-undang ada turunan aturan, seperti aturan pemerintah dan menteri dan disosialisaikan ke masyarakat," ujarnya.

Niken menuturkan, pentingnya RUU EBET, karena sudah diset salah satu penurunan emisi itu diatur dalam undang-undang ini dan untuk menciptakan transisi energi yang berkeadilan di Indonesia dibutuhkan payung hukum yakni undang-undang.

"Namanya undang-undang merupakan payung hukum tertinggi," tuturnya.

Jabar Progresif Dalam Transisi Energi

Guru Besar Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB Prof Pradono mengatakan, Provinsi Jawa Barat termasuk provinsi yang progresif menuju transisi energi ini.

"Dengan berbagai langkah baik di level kebijakan dan peraturannya. Langkah nyata dan optimasi sudah dilakukan dan beberapa kegiatan lain yang mendukung itu sehingga dapat dikatakan Jabar sudah mulai, menuju dan mungkin progresif di dalam implementasinya," paparnya.

"Jawa Barat telah melakukan berbagai penyesuaian dan merespon akan perlunya transisi energi. Walaupun tidak memiliki wewenang lebih jauh, tetapi setidaknya menunjukan bahwa (kebijakan) terus disesuaikan dan direvisi untuk menyesuaikan kebutuhan di Jawa Barat dan ini sudah sampai Prolegda," tuturnya.

Menurutnya, Jabar sudah menunjukan upaya serius dalam tata kelola energi dan transisi.

"Dibanding provinsi lain, Jabar ini termasuk selangkah lebih maju dan beberapa pencapaian misalnya Jawa Barat ini bahwa target yang dicanangkan itu lebih cepat dicapai misal dalam 2025 target efisiensi 28 persen, sementara 2022 tinggal 22 persen, ini salah satu indikator Jawa barat dalam trasisi energi," pungkasnya.

(wip/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads