Mang Koko (53) seniman sekaligus perajin angklung di Pangandaran, tetap bertahan di tengah kemerosotan peminat. Pemilik Saung Angklung Mang Koko di Desa Kertayasa, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran itu telah menjadi perajin angklung sejak tahun 1997.
Demi menghidupi keluarga dan anaknya, Mang Koko sampai saat ini masih menjadi perajin dan seniman angklung. Mang Koko mengatakan, meskipun peminatnya dianggap kurang, Koko tetap berkarya menciptakan angklung bambu yang menjadi warisan budaya.
"Kalau menjadi perajin angklung mah, laku gak laku tetap berkarya bikin," kata Koko kepada detikJabar, Kamis (16/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, keluhan sebagai pengusaha angklung setiap tahun tidak ada perubahan, apalagi selepas COVID-19. "Usaha mah masih gini-gini aja kami mah berkarya aja, " katanya.
Ia mengatakan turunnya peminat angklung saat ini didasari karena tidak adanya pengenalan pelajaran angklung secara khusus. "Jadi masih dianggapnya warisan aja, padahal kan mesti dipertahankan," katanya.
Pada tahun 2018, Mang Koko sempat ikut rapat nasional bersama seniman angklung se-Indonesia yang bertempat di Bandung.
"Waktu itu menyampaikan bagaimana meningkatkan minat seni angklung di Indonesia. Saya sarankan yang jadi sasaran itu siswa, penikmat seni dan lain-lain," ucapnya.
Ia meminta agar ada kurikulum Angklung di sekolah, sehingga bisa mengenalkan siswa lebih dekat dengan kesenian musik daerahnya.
"Keterlibatan kemajuan angklung oleh pemerintah itu penting, meski kemajuan angklung ada di keuletan senimannya masing-masing," kata dia.
![]() |
Bahkan, Koko mendapatkan kabar jika sahabatnya di luar negeri membuka kurikulum angklung, sehingga mereka mengenal kesenian warisan budaya Indonesia.
"Guru yang mengajarkan itu asli orang Bandung Kang Yayan Udjo," kata Koko.
Jenis Angklung di Pangandaran
Mang Koko mengatakan, angklung Pangandaran memiliki panjang 4 meter, dan merupakan yang terpanjang di Indonesia.
"Hanya ada di Saung Angklung Mang Koko," katanya.
Jenis angklung raksasa yang dibuat Koko merupakan jenis pentatonis dan dikeluarkan saat pertunjukan seni.
"Kalau soal harga angklung relatif, tidak bisa dikatakan oleh harga standar, karena ada yang pesen angklung sisipan dan sejenisnya itu harganya beda," katanya.
Adapun jenis angklung yang Koko jual merupakan angklung pentatonis dan diatonis. "Jadi harga pesanan itu tergantung kebutuhan mulai dari 1 paketnya Rp 750 ribu hingga Rp 4 juta," ucapnya.
Penjualan angklung Mang Koko mengalami penurunan permintaan usai pandemi. "Setelah COVID-19 mah ngaruh pendapatan gak ada pertunjukan, di samping tidak ada yang beli angklung," katanya.
Dia mengatakan jika menghitung omset tidak tentu, bingung menghitungnya. "Kalau kita mah yang penting cukup hidupi keluarga, anak sekolah dan kebutuhan sehari-hari," ucapnya.
Koko mengaku karena hobi dan ingin tetap melestarikan kesenian ini, bakalan tetap hidup walaupun penghasilan per bulan tidak tentu. Untuk menjual angklung biasanya Mang Koko menawarkan ke sekolah dan sanggar yang ada di Pangandaran.
"Kalau penjualan angklung di Pangandaran ke sekolah-sekolah, sanggar, kalau keluar daerah ke Kalimantan ada komunitas Sunda di sana dan Papua juga sama ada Komunitas Sunda," katanya.
(yum/yum)