Jauh sebelum menjadi komplek sarana olahraga, kawasan Dadaha Kota Tasikmalaya sejak dulu telah menjadi ruang publik yang menjadi pusat keramaian dan hiburan bagi masyarakat. Salah satu kegiatan paling melegenda dari kawasan Dadaha adalah pacuan kuda atau masyarakat Tasikmalaya menyebutnya ngadu kuda.
Aktivitas ngadu kuda ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1920-an. Hal ini merujuk kepada dokumen koran-koran zaman dulu yang memberitakan kegiatan ini. Diantaranya pemberitaan koran Sipatahoenan edisi 9 September 1937 yang mengulas lengkap acara pacuan kuda di Dadaha yang digelar pada 4 September 1937.
Disebutkan pacuan kuda mendapatkan antusiasme yang tinggi dari masyarakat Tasikmalaya dan sekitarnya, karena sudah 9 tahun tak digelar. Bahkan sosialisasi dan persiapan event tersebut dilakukan 3 bulan sebelum hari H. Latihan pra event digelar setiap hari Minggu dan selalu menjadi tontonan masyarakat. Harga tiket dibanderol seharga f-10 atau 10 gulden dari Juragan Sule di sekretariat Jalan Dokterstraat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Balapan kuda ini digelar dalam berbagai kelas, di sela acara dimeriahkan oleh balap sepeda. Selain itu dimeriahkan juga oleh perhelatan Carnaval Show yang digelar oleh Tuan Manook yang digelar sejak tanggal 3 September 1937.
Carnaval Show ini menampilkan berbagai tontonan seperti Orpheus Opera sebagai bintang tamu atau hoofdschotel. Kemudian ada juga eksibisi pencak silat, Ketoprak Darmowaloejo serta berbagai permainan ketangkasan seperti alung gelang dan sejenisnya.
Kemeriahan pacuan kuda yang dikombinasikan dengan hiburan rakyat ini bahkan sampai dikritisi oleh koran Sipatahoenan. "Mokaha kantong oerang Tasikmalaja beuki kempes bae, dina waktoe ieu euweuh reureuhna digejer ku laladjoaneun (Saku warga Tasikmalaya semakin kempes saja, akhir-akhir ini terus diguyur oleh tontonan),'" demikian tulis Sipatahoenan.
Hal ini jelas menggambarkan betapa acara ngadu kuda dengan segala kemeriahannya telah menyedot perhatian masyarakat. Diketahui pula para peserta datang dari berbagai daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Menak-menak Belanda, Tionghoa dan pribumi datang membawa kuda balapan kebanggaannya.
Lintasan pacuan kuda di Dadaha ini mengitari hampir semua kawasan komplek Dadaha yang ada. Dimulai dari garis start yang saat ini menjadi stadion memutar terus ke selatan yang saat ini menjadi Jalan Lingkar Dadaha. Kemudian ke belakang yang kini menjadi Gedung Creative Center dan GOR Susi Susanti. Sebagaimana diketahui, dulu belum banyak bangunan yang berdiri di kawasan Dadaha. Pada saat itu Dadaha hanya berupa tanah lapang yang berbatasan dengan area pesawahan.
"Saking terkenalnya event balap kuda di Tasikmalaya, sampai ada nama Jalan Pangaduan Kuda. Walau pun sejak tahun 1988, Jalan Pangaduan Kuda itu diganti namanya menjadi Jalan Tentara Pelajar," kata Nunu Nazaruddin Azhar, salah seorang budayawan sekaligus pegiat sejarah di Tasikmalaya, Rabu (15/11/2023).
Event ngadu kuda di Dadaha itu terus berlangsung hingga era tahun 1970-an. Tak heran jika masih banyak masyarakat Tasikmalaya yang memiliki cerita tentang event balap kuda di Dadaha.
Saat itu Tasikmalaya juga memiliki tim balap kuda yang tersohor karena prestasinya di berbagai event. Salah satunya adalah seorang juragan bernama Jong Wat serta dr. Utoyo. "Dokter Utoyo adalah pemilik si Fortun, seekor kuda jantan tinggi besar yang kerap menjadi juara," kata Nunu.
Kuda-kuda milik orang Tasikmalaya itu ditempatkan di sebuah istal yang berada di belakang Gedong Peteng, bangunan peninggalan Belanda. Bangunan bekas gudang senjata ini disebut Gedong Peteng karena gelap dan berhawa dingin karena dinding temboknya tebal sekali.
"Nah bagian atap Gedong Peteng ini rata, maka dijadikan tribun VIP tempat para pejabat menonton balap kuda. Gedong Peteng ini sudah dibongkar dan menjadi GOR Susi Susanti," kata Nunu.
Embing (70) warga sekitar Dadaha mengaku masih mengingat nama-nama kuda dan joki jagoan asal Tasikmalaya. "Kuda yang paling terkenal ada si Fortun, si Januar si Hanter, si Dudut banyaklah. Kalau jokinya ada Elan, Oos, Uus dan Endang," kata Embing.
Dia menambahkan GOR Sukapura dan lapang tenis Dadaha dulunya merupakan lapangan tempat kuda berlatih atau dilepaskan untuk merumput. "Di sana juga jadi kuburan kuda, pernah ada kuda "pateuh" (cedera kaki) ditembak mati pemiliknya dan dikuburkan di sana," kata Embing.
Memasuki era tahun 80-an, kemeriahan pacuan kuda di Tasikmalaya akhirnya redup seiring pembangunan kawasan Dadaha. Sehingga Tasikmalaya tak lagi memiliki arena yang memadai. "Pernah dipindahkan ke daerah Cilembang, tapi kurang ramai karena jalurnya kurang panjang," kata Embing.