Di pertengahan bulan November, musim di Jepang mulai beralih ke musim gugur. Cuaca di Negeri Sakura jadi terasa sangat dingin, suhu terendahnya bisa mencapai 10 derajat celcius.
Suhu dingin membuat suasana di Jepang semakin cantik. Daun-daun mulai berganti warna menjadi warna oranye dan kemudian berguguran, menjadi pemandangan yang menghibur hati para siswa disabilitas dari SLBN Cicendo.
Rasa gugup 10 siswa-siswi SLBN Cicendo yang hendak menampilkan harmonisasi angklung, jadi sirna melihat keindahan kota-kota di Jepang. Para murid disabilitas itu terbang membawa nama Kota Bandung dan bertandang ke Gifu, Jepang untuk unjuk kepiawaian memainkan angklung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini bukan kali pertama sekolah legendaris yang terkenal dengan Tim Angklung-nya, mengirim murid untuk ke Jepang. Tahun lalu, SLBN Cicendo juga punya kesempatan dalam program yang sama.
Pebimbing dan Pengisyarat SLBN Cicendo, Witri Erdiawati menjelaskan, bahwa ada banyak hal spesial yang dipersembahkan para siswa di tahun ini. Jumlah anak yang lebih banyak, memungkinkan mereka untuk memainkan harmoni musik yang lebih kaya dan kompleks.
"Ini jadi tahun kedua kami tampil di Jepang, masih di Gifu, dalam rangka Festival Seni dan Budaya Nasional Penyandang Disabilitas di Jepang. Alhamdulillah tahun lalu yang berangkat 7 anak, sekarang 10 anak. Perwakilan SMPLB ada 2 murid, SMALB 7 murid, dan satu orang alumni yang baru saja lulus, tapi dia masih jadi bagian Tim Angklung," cerita Witri pada detikJabar.
Ia menceritakan, betapa gembiranya anak-anak saat ke Jepang, ini menjadi pengalaman pertama untuk sebagian besar anggota Tim Angklung. Kesepuluh anak itu tidak sendiri, mereka juga didampingi Kepala Sekolah dan 4 guru SLBN Cicendo.
"Pastinya excited banget mereka, sangat senang. Kami juga sangat senang, mereka waktu ke sana belajar budaya Jepang. Terus mengenal kedisiplinan seperti antri, tidak buang sampah sembarangan, termasuk membangun motivasi belajar mereka ke sana," ujar Witri.
Mereka berada di Jepang selama lima hari, yakni tanggal 14-19 November 2024. Pasa tanggal 17 November, para murid tampil di Gifu University dan Juroku Plaza. Lalu keesokan harinya, mereka melakukan study tour dan tampil di Tsukuba University of Technology.
Para murid membawakan beberapa lagu Jepang dan Indonesia di ketiga tempat tersebut. Seperti Ooki Na Kuri No Ki No Shita De, Sukiyaki, Anpanman March, Mirai e, Ooki Na Kuri No Ki No Shita De, dan lagu Merakit yang dipopulerkan oleh Yura Yunita.
"Jadi memang secara program sama saja, karena ini memang agenda tahunan di Jepang dan kami diundang sebagai perwakilan delegasi Indonesia, yang mempromosikan budaya Indonesia di Jepang. Beberapa yang jadi pembeda adalah anak yang dikirim lebih banyak, jadi materi lagunya juga lebih berat, musiknya sekarang pakai dua layer gitu istilahnya," kata Witri.
Dengan alunan musik yang lebih kompleks, ia menyebut persiapan para murid hanya butuh waktu sebulan latihan. Tak ada kesulitan yang berarti juga dalam latihan tersebut. Sebab, mereka tampil di hadapan para akademisi dan hadirin menggunakan aplikasi pembaca notasi bernama 'Galung'.
Witri mengatakan dengan bantuan aplikasi tersebut, bahkan anak juga bisa langsung diminta tampil memainkan lagu baru. Aplikasi inovatif 'Galung' tersebut mempermudah pengajaran agar anak tunarungu bisa langsung memainkan angklung. Aplikasi itu sudah mampu menunjukkan notasi yang harus dimainkan, melalui penunjuk warna. Contohnya do warna merah, sol dengan warna hijau, dan lainnya.
"Di jepang kami gunakan teknis Galung, aplikasi yang sama dan dipakai juga tahun lalu. Kalau ada warna apa membunyikan apa, jadi latihannya sebulan saja dan nggak terlalu sulit karena pakai aplikasi. Hari H pakai pun sebetulnya masih bisa," tutur Witri.
"Yang dilatih adalah dinamikanya, halus kerasnya, jadi dulu kami nggak pakai konduktor, sekarang ada pelatih kami Pak Yan," imbuhnya.
Para murid SLBN Cicendo pergi ke Jepang bukan hanya membanggakan nama Kota Bandung dan Indonesia, atau sekedar jalan-jalan, melainkan juga melakukan study tour. Para guru dan murid mencari tahu, apa yang bisa mereka lakukan untuk memperoleh beasiswa di Tsukuba University of Technology.
"Kita kan juga menampilkan angklung di Tsukuba University of Technology, kami ke sana juga membawa misi untuk mencari tahu peluang mengirim peserta didik untuk melanjutkan sekolah ke sana. Karena Tsukuba University of Technology adalah sekolah khusus tunarungu dan tunanetra," cerita Witri.
Witri mengungkapkan, saat ini langkah mereka barulah pengenalan dan mencari tahu kriteria kerja sama ke depan. Para murid diminta terus belajar dengan tekun dan mengembangkan motivasi, sembari para guru memupuk harapan mereka dengan beragam usaha.
"Jadi ya kami berusaha membuka peluang itu, selain tampil ya mereka menyatakan bisa menerima, asalkan kemampuan anaknya bisa menyeimbangi pembelajaran di sana. Kualifikasinya itu anak-anak harus menguasai bahasa isyarat Jepang, hurufnya, tulisannya, karena bahasa pengantarnya di sana pakai bahasa Jepang," katanya.
"Jadi setelah ini kami akan diskusi dan koordinasi dengan relasi dosen Bahasa Jepang yang kami miliki. Kami ingin membuat kamus isyarat Jepang-Indonesia untuk bisa mencapai itu. Proses ini juga kan masih jalan bertahap, jadi ya kami berdoa semoga 2 tahun paling cepat, kami sudah bisa mengirim siswa lanjut sekolah ke sana," sambung Witri mengamini ucapannya.
(aau/mso)